KOMPAS

Kliping artikel Opini KOMPAS, sejak 2001

Tuesday, April 18, 2006

Alter-ego....



JALAN SUTRA: Etosha.
(Bondan Winarno)

Mungkin Anda pun sering bingung. Ada seorang kolumnis bernama A Prasetiantono, dan ada pula yang bernama A Prasetyantoko. Dua-duanya pakar ekonomi. Yang pertama sedang meneruskan studi di Canberra, Australia, yang lain di Perancis. Dua-duanya berasal dari Muntilan. Tetapi, ternyata mereka bukan kakak beradik. A striking coincidence!

Tulisan Agustinus Prasetyantoko berikut ini dikirim dari Paris, tentang pengalamannya berlibur ke Namibia.

Eksotisme! Itulah kesan pertama sewaktu mendarat di bandara nasional Windhoek, Namibia. Dari jendela pesawat terlihat betapa hanya padang gurun dan semak yang terhampar di bawah sana.

Dari bandara ke pusat kota Windhoek masih harus menyusuri lorong jalanan yang sepi sepanjang kurang lebih 60 kilometer. Meskipun jalan raya sudah senyaman tol Jakarta-Bogor, jangan coba-coba melaju dengan kecepatan tinggi. Banyak binatang mondar-mandir melintas di sepanjang jalan menuju pusat kota tersebut.

Sebelum masuk kota Windhoek, ada baiknya menyusur sebentar ke kawasan Katutura. Ini adalah pemukiman yang dibangun khusus untuk penduduk kulit hitam. Dan kegetiran akan segera terasa, karena pemilik benua ini lebih memilih tinggal di gubug-gubug - nyaris seperti pemandangan di sepanjang rel kereta Senen-Jatinegara.

Sesampai di pusat kota, seakan tak percaya bahwa ini adalah kota di Afrika. Selain karena fasilitasnya tak kalah dengan kota-kota Eropa, juga karena hampir semua orang yang lalu-lalang adalah berkulit putih. Ini adalah kota Eropa di Afrika, begitulah kesan yang segera muncul. Perilaku yang teratur, ekonomi yang maju, barang-barang mewah, dan bahasa Inggris, adalah warna di seluruh sudut kota.

Di pusat kota Windhoek, bisa ditemui sebuah hotel berbintang yang cukup dikenal turis manca negara. Nama hotel tersebut adalah Kalahari. Hampir semua tamu berdarah Eropa - Prancis, Italia, Spanyol, Belanda, dan yang paling banyak adalah Jerman. Maklum Namibia pernah dijajah Jerman. Di Hotel Kalahari inilah kita bisa sedikit melepas dahaga di tengah keramaian bar, restoran, dan juga Casino. Dari hotel ini pula, berbagai program wisata ke berbagai penjuru Namibia ditawarkan. Paket yang paling terkenal adalah mengunjungi Taman Nasional Etosha.

Jika ingin mengunjungi tempat wisata paling favorit di Namibia ini, lebih baik berangkat sepagi mungkin dari Windhoek. Selain udara masih segar, pemandangan pagi hari sungguh eksotis di sepanjang perjalanan. Jika kesiangan, sinar mahahari akan terasa membakar kulit. Bahkan ketika di dalam mobil sekalipun.

Jarak Windhoek-Etosha kurang lebih 400 km. Jadi, kira-kira perjalanan akan memakan waktu sekitar 3,5 jam. Jalanan di Afrika umumnya sepi, bagus dan lurus. Bosan? Mampir saja sebentar di salah satu kota, misalnya saja di Otjiwarongo, karena di situ ada warung yang terkenal membuat biltong (semacam dendeng yang bisa dimakan sepanjang jalan).

Begitu tiba di gerbang Etosha National Park, kita akan segera melihat sebuah kawasan menginap yang luar biasa eksotisnya. Nama kawasan tersebut adalah Okaukuejo. Anda bisa memilih hotel, cottage, atau berkemah di tepi hutan. Meskipun terlihat nyaman, jangan dikira daerah ini tidak berbahaya. Ingat, kawasan ini sudah masuk dalam kawasan taman nasional. Pernah suatu ketika, seorang turis Jerman menginap di kawasan berkemah dengan mendirikan tenda, dan malam harinya seekor singa yang lapar menghampirinya dan tentu saja memangsanya.

Mengapa kawasan penginapan (rest camp) Okaukuejo menarik? Karena persis di sebelahnya terdapat waterhole, semacam kubangan air yang disediakan untuk kawanan hewan yang berada di kawasan liar tersebut. Dari sana bisa dilihat berbagai macam binatang. Kalau beruntung, kita bisa melihat sekawanan gajah datang ke waterhole tersebut. Sekawanan singa dan binatang buas lainnya seperti bergiliran datang minum ke sana. Bisa dibayangkan betapa merindingnya. Tetapi, inilah eksotisme yang justru dicari-cari oleh banyak turis. Buktinya, sudah seluruh hari di bulan Agustus sampai pertengahan September, kamar-kamar di Okaukuejo Lodge terpesan habis.

Jika tidak bisa menginap di kawasan ini, jangan kecewa dulu. Masih banyak tempat menarik lainnya. Taman nasional ini luasnya 22.270 kilometer persegi. Ini adalah salah satu taman wisata terbesar di Afrika. Taman wisata ini diresmikan pada tahun 1907 oleh Von Lindeauist, seorang gubernur Jerman untuk kawasan Afrika Barat Daya.

Di Etosha National Park tersedia jalur-jalur jalan tak beraspal untuk mencari binatang yang ingin dilihat. Tidak seperti Taman Safari Cisarua yang sudah well-organized, di sini setting-nya masih dibiarkan liar. Setiap saat kita bisa bertemu dengan sekawanan Cheetah, Leopard, Singa, Badak atau Gajah di lorongnya masing-masing. Untuk itu, membawa peta adalah keharusan supaya bisa masuk ke kawasan dan bisa keluar juga.

Liarnya taman nasional Etosha bukan isapan jempol. Selain turis Jerman yang dimangsa singa, pernah juga mobil pengunjung porak-poranda dipermainkan seekor gajah yang "tersinggung".

Setelah lelah berputar-putar ke sebagian penjuru Etosha, kita bisa menemukan tempat menginap yang enak, hanya sekitar lima menit dari pintu keluar taman nasional. Sebenarnya, persis di pintu keluar, ada tempat menginap yang lumayan, yaitu Namutomi Lodge. Tapi jika Anda menginginkan hotel berbintang empat, datang saja ke Mokuti Lodge, sedikit di luar kawasan taman nasional.

Di Mokuti Lodge, kita bisa memanjakan diri dengan berenang, minum bir, duduk bersantai dan memesan makan malam. Di sini disediakan menu yang mungkin belum Anda temukan sebelumnya. Menu paling favorit di sini adalah daging springbok (hewan sejenis rusa). Jika memesan daging ini, jangan lupa ditemani dengan Amarula! Inilah minuman beralkohol khas Afrika, Amarula dengan campuran susu segar dan es batu. Sajian makan malam yang sungguh eksotis!

Meskipun menginap di hotel berbintang empat, jangan kendurkan kewaspadaan. Sejak datang, pihak pengelola sudah mengingatkan bahwa kawasan di sekitar hotel masih liar. Tak jarang tamu hotel bertemu dengan ular dan reptil lainnya.

Sebelum kembali ke Windhoek, jangan lupa mampir ke Okahandja untuk mencari suvenir buat famili, kenalan, pacar, maupun calon mertua. Oleh-oleh yang terkenal dari daerah ini adalah dompet dari kulit burung unta. Atau, kalau tiba-tiba lapar lagi, di kota in ada restoran daging buaya yang lezat. Ditanggung tidak ketularan jadi buaya!

Overdosis Kebijakan Perburuhan

Rabu, 19 April 2006

Di antara kerumunan mahasiswa yang menolak UU Kontrak Kerja Pertama (Contrat Première Embouche/CPE) di Perancis beberapa waktu lalu, ada spanduk unik, "anti-CPE = anti-selibat!" Apa hubungannya?

Dalam sebuah reportase, seorang siswa SMA di tengah demonstran berujar, "tanpa kepastian kerja, bagaimana nasib kami setelah lulus... tanpa pekerjaan, hidup tak mandiri... tanpa pacar...". Kebijakan ketenagakerjaan, berbeda dengan kebijakan ekonomi, terlibat langsung sisi kemanusiaan. Dia terkait masalah psikologi, sosiologi, gaya hidup, dan bahkan ideologi.

Di Indonesia, terkait penolakan rencana revisi UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003, seorang ekonom menjelaskan dengan logika klasik. Fleksibilitas tenaga kerja dibutuhkan untuk meningkatkan penyerapan tenaga kerja, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan akhirnya mengatasi masalah kemiskinan. Dengan sistem ketenagakerjaan yang kaku, setiap satu persen pertumbuhan ekonomi hanya akan menyerap 200.000-300.000 tenaga kerja. Sementara dengan sistem fleksibel, penyerapan diharapkan mencapai 400.000–500.000 pekerja, bahkan lebih.

Tidak ada yang salah dari penjelasan ini, apalagi jika disertai model ekonomi yang kadang rumit. Masalahnya, model ekonomi dan dunia nyata bisa merupakan dua hal berbeda. Jika fisikawan atau ahli kimia bermain-main dengan formula di laboratorium tanpa mengganggu orang lain, ekonom harus bertaruh dengan nasib orang banyak dalam menerapkan model.

Itulah mengapa Olivier Blanchard dalam buku teks Makroekonomi, yang menjadi salah satu buku teks (wajib) bagi mahasiswa fakultas ekonomi, mengakui ekonomi sebagai ilmu yang tidak menyenangkan (dismal science).

Perburuhan

Olivier Favereau dari Universitas Paris-X menganalogikan kebijakan ketenagakerjaan di Perancis baru-baru ini sebagai pemberian vaksin yang overdosis (Le Monde, 30/3/2006). Akibatnya, bukan membuat perekonomian menjadi makin sehat, sebaliknya justru membahayakan bahkan mematikan. Sebagai ekonom beraliran neo-institusi, dia memahami perekonomian sebagai hasil kesepakatan (convention) dari para pihak yang terkait.

Kembali pada kasus Indonesia, meski dalam modelisasi ditunjukkan fleksibilitas tenaga kerja akan meningkatkan efisiensi, pertumbuhan ekonomi dan akhirnya pengentasan rakyat miskin, tetapi jika para buruh menolak mau apa? Kecuali kita akan kembali pada model Orde Baru (sistem pasar + negara otoriter).

Bagi pendukung fleksibilitas pasar tenaga kerja, argumennya bisa dibalik, seharusnya para buruh bisa mengerti kesulitan dunia usaha. Bahkan, isu fleksibilitas tenaga kerja juga dikaitkan dengan masalah keadilan dalam kesempatan kerja. Menjadi rumit karena memberi pilihan pada pihak yang tidak memiliki. Bagi para buruh, hanya ada dua opsi: bekerja atau tidak makan. Maka kepastian kerja juga dibutuhkan (demi keadilan) untuk memastikan dirinya bisa hidup.

Kita perlu mendudukkan perkara ketenagakerjaan dalam konteks lebih luas. Filosofi utama penerapan fleksibilitas pasar tenaga kerja adalah mendorong daya saing ekonomi. Untuk itu, perlu dilihat potensi kebijakan di bidang lain yang sesuai tujuan utama itu. Sebagaimana sudah banyak ditunjukkan, masalah yang menggerogoti daya saing ekonomi kita bukan (saja) masalah perburuhan, tetapi (lebih penting) masalah ekonomi biaya tinggi.

Menarik membuat analogi kebijakan ketenagakerjaan sebagai pemberian vaksin. Pertama, seperti seorang balita yang akan menerima vaksin, dia harus sehat betul. Dokter akan menolak memberikan imunisasi jika anak sedang batuk, pilek, atau menunjukkan indikasi tidak sehat.

Setelah dihantam dua kali kenaikan harga bahan bakar minyak supertinggi dalam satu tahun demi menyelamatkan fiskal pemerintah, apakah masih tega memberi (lagi) vaksin melalui revisi UU Ketenagakerjaan yang lebih fleksibel?

Kedua, demi meningkatkan daya saing ekonomi, bukankah vaksin dengan dosis tinggi perlu diberikan pada sektor lain (bukan ketenagakerjaan). Birokrasi, dalam rangka mendukung iklim investasi, termasuk bidang yang perlu mendapat vaksin tinggi, karena dia sudah terlalu kebal dengan vaksin ringan.

Usul mereformasi birokrasi dalam rangka mengurangi ekonomi biaya tinggi sering tidak populer karena dampaknya bersifat jangka panjang (tidak langsung). Ada alternatif lain. Penurunan suku bunga, pemberian skema pembiayaan khusus dengan bunga diskon, pembebasan pajak pada sektor terpilih yang diberikan secara terukur merupakan beberapa alternatif solusi yang langsung berdampak pada peningkatan kinerja sektor industri.

Kita percaya skema ini pasti sudah ada, tetapi sejauh mana efektif diterapkan? Bagaimana pula dampaknya? Kita sudah terbiasa membuat rencana, tanpa tahu evaluasi penerapannya di lapangan. Padahal, "hantu"-nya ada di sana.

Sektor industri

Dari sampel perusahaan di Bursa Efek Jakarta (BEJ), setelah krisis, tingkat investasi perusahaan menurun drastis, bahkan terhadap sektor-sektor yang mestinya mendapat keuntungan dari depresiasi rupiah. Tingkat investasi dihitung dengan membandingkan stok kapital tahun ini (t) dengan tahun sebelumnya (t-1), dan sebagai deflator digunakan stok kapital tahun sebelumnya (t-1).

Misalnya, sektor pertanian (sektor satu), pada 1996 nilai tengah (median) investasi mencapai 45,07 persen, tetapi pada 2004 hanya 16,62 persen. Juga sektor pertambangan (sektor dua) pada 1996 mencapai 25,68 persen, tetapi tahun 2004 hanya 14,12 persen.

Tentu saja, sektor-sektor lain yang dirugikan dengan depresiasi rupiah mengalami keruntuhan lebih drastis. Misalnya, sektor industri dasar dan kimia (sektor tiga) pada 1996 investasinya mencapai 45,61 persen, pada 2004 hanya 7,17 persen. Demikian juga sektor manufaktur (sektor empat) turun dari 18,15 persen pada 1996 menjadi 6,74 persen pada tahun 2004. Dua sektor ini amat dirugikan dengan depresiasi rupiah karena komponen impornya tinggi.

Dari data itu, ada dua hal penting. Pertama, peningkatan daya saing ekonomi harus disertai strategi sektoral yang rinci, mengingat karakteristik masing-masing sektor berbeda. Ada yang menarik diamati, mengapa sektor-sektor yang mestinya diuntungkan dengan depresiasi rupiah tetap memiliki kinerja investasi relatif buruk?

Kedua, data itu bias dengan perusahaan besar (perusahaan di BEJ) yang masih mengalami musim gugur panjang. Dalam konteks ini strategi pengembangan usaha kecil dan menengah (UKM) menjadi prioritas penting sehingga aktivitas ekonomi bisa digerakkan dengan kelompok industri "komplementer".

Strategi pengembangan UKM juga relevan karena program restrukturisasi perusahaan besar pascakrisis boleh dikata tidak terlalu berhasil. Hingga kini, industri besar masih dalam tahap konsolidasi. Hanya beberapa yang sudah mulai melakukan ekspansi. Dalam situasi seperti ini, instrumen suku bunga bisa tidak efektif, bahkan ketika kredit perbankan tersedia sekalipun (penurunan suku bunga) sektor korporasi memilih untuk tidak meminjam uang dari bank, tetapi menggunakan modal internal (retained earning).

Apa implikasi bagi kebijakan ketenagakerjaan? Hanya dalam kerangka kebijakan yang menjamin terjadinya perbaikan ekonomi secara meyakinkan, kebijakan sektor ketenagakerjaan memiliki ruang sedikit lebih luas untuk dikompromikan. Dan kalaupun penerapan fleksibilitas pasar tenaga kerja tak terelakkan, ibarat vaksin, dia harus diberikan dalam dosis yang sangat terukur dan proporsional agar tidak justru berdampak mematikan.

Logika klasiknya, ketika ekonomi mulai bergerak, maka mobilitas tenaga kerja akan lebih banyak memiliki alternatif peluang kerja. Jangan sampai terjadi, untuk menyelesaikan masalah struktural ekonomi, dosis fleksibilitas lebih dulu disuntikkan pada sektor ketenagakerjaan. Dan karena mungkin saja masalahnya tidak terletak di sana, dampaknya tidak signifikan. Jika begitu, sama saja dengan menyuntik mati dunia perburuhan.

A Prasetyantoko Mahasiswa PhD Departemen Ekonomi, Ecole Normale Supérieure (ENS) Lsh-Lyon, Perancis

Sunday, April 16, 2006

Rubrik Finansial: Perbankan, dari Korporasi Menuju Konsumsi

KOMPAS, Selasa, 21 Oktober 2003

KELUAR dari mulut buaya, masuk mulut singa. Inilah istilah paling cocok untuk menggambarkan dunia perbankan kita. Jika dulu kredit banyak disalurkan ke korporasi sehingga macet, kini mereka berlomba memompa kredit konsumsi. Apa risikonya?

PADA tahun 1998, total penyaluran kredit perbankan kepada sektor konsumsi adalah sebesar Rp 31,754 miliar. Dan pada bulan Juni 2003, nilainya sudah melonjak menjadi Rp 89,725 miliar. Lonjakan tersebut, secara kasat mata muncul dalam fenomena di sekeliling kita. Bisa dipastikan, di setiap mal atau tempat perbelanjaan akan ditemukan counter yang menawarkan, mulai kartu kredit baru, pinjaman lunak untuk rumah, mobil, TV, kulkas hingga pesawat radio.

Dalam jangka pendek, melonjaknya sektor konsumsi ini bisa diartikan sebagai mulai pulihnya perekonomian. Orang sudah mulai berbelanja kembali barang konsumsi. Logikanya, jika permintaan di pasar naik, produksi juga akan terdorong naik, dengan asumsi cateris paribus (faktor-faktor lainnya tetap). Masih ditambah berbagai indikator utama (leading indicators) lainnya, seperti tingkat penjualan sepeda motor, mobil, semen, dan sebagainya. Pemulihan ekonomi terasa makin mantap. Jangan lupa, ini hanyalah gejala sesaat.

Meriahnya pembangunan mal dan tempat belanja di hampir seluruh sudut Kota Jakarta adalah bukti geliat sektor konsumsi. Dalam jangka panjang, gejala ini akan menjadikan perekonomian kita terjebak kembali dalam pertumbuhan yang bongsor. Besar, tapi tak berisi (bubble economy). Dan jika dulu, krisis dipicu sektor finansial, bisa jadi nanti ancaman akan datang dari sektor riil.

Arsitektur finansial

Dilihat secara arsitektural, perbankan menguasai aset industri keuangan sangat signifikan. Pada tahun 2002, aset total perbankan menguasai 90,46 persen pangsa pasar keuangan di Indonesia. Pangsa pasar perbankan tersebut ternyata hanya dikuasai 20 bank terbesar. Dari potret ini, sudah muncul indikasi adanya ketimpangan dalam pasar finansial.

Dari total jumlah bank sebanyak 138 bank, 20 bank telah menguasai pangsa pasar 82,81 persen. Sisanya, 118 buah bank hanya menguasai 17,19 persen pangsa pasar. Di antara daftar ke-20 bank tersebut, muncul nama-nama bank asing, seperti Citibank, HSBC (The Hongkong & Shanghai Bank Corporation), ABN-Amro, Deutsche Bank, dan Standard Charterd. Kenyataan ini menunjukkan sektor finansial kita merupakan pasar potensial bagi investor asing.

Di antara bank asing ini, Citibank menempati ranking ke-5 sebagai bank terbesar memberikan kredit konsumsi. Sementara itu bank asing yang masuk ke sektor kredit konsumsi lainnya adalah HSBC, Standard Charterd, ABN-Amro, American Express, Deutsch Bank, Bank of Tokyo-Mitsubhisi, Chase Manhattan, Bank America, dan Bangkok Bank.

Rupanya, kredit konsumsi sangat menggairahkan para pengelola perbankan asing. Sekali lagi, kenyataan ini menunjukkan betapa sektor konsumsi telah menjadi "ladang baru" pencarian laba bisnis perbankan dalam skala global.

Perilaku dunia perbankan sama seperti petani tradisional. Jika tetangga menanam padi, semuanya ikut. Kalau ada yang mencoba menanam kentang, yang lainnya turut pula. Justru karena perilaku inilah, petani tidak pernah menuai hasil memuaskan. Karena seragamnya produksi tanaman, setiap kali panen, pasar mengalami kejenuhan pasokan (oversupply). Harga produksi pun turun.

Hampir semua bank sekarang ini berlomba-lomba meningkatkan kredit konsumsinya. Lihat saja sederet acara di TV yang disponsori bank, semuanya berujung pada iklan untuk menggunakan kartu kredit dan memanfaatkan kemudahan kredit untuk keperluan konsumsi. Demikian juga daya tarik yang ditawarkan ke nasabah baru. Jika di antara deretan para penabung baru di bank itu ditanya apa motivasinya menabung di bank tertentu, jawaban kebanyakan adalah untuk mendapatkan BMW, Jaguar, Mercedez atau sekadar door price.

Dalam hal ini, perbankan berhasil menyetrum perilaku masyarakat untuk kian konsumtif. Masyarakat pun semakin terasa ringan mendapatkan berbagai pinjaman (kredit).

Sederet iklan yang semakin menggoda (seductive), perluasan tempat perbelanjaan (mal, ITC, dan sebagainya) serta layanan kredit untuk kepentingan konsumsi, adalah tiga pilar penting bagi pertumbuhan ekonomi yang bergerak artifisial. Perekonomian sedang meniti buih-buih sambil terus menjauhi faktor fundamentalnya.

Komitmen perbankan

Jika ditanya, mengapa bank tidak menyalurkan kredit ke sektor korporasi? Jawabannya akan klise. Dunia usaha sedang tidak berkembang. Siklus bisnis tengah berhenti. Perbankan masih trauma dengan pengalaman masa lalu, kredit macet di sektor korporasi yang telah memicu krisis perbankan. Lalu, kredit konsumsi adalah sasaran logis, empuk, dan menggiurkan.

Sejak krisis, perbankan memang enggan memberikan kredit untuk kepentingan investasi dan modal kerja. Pada tahun 1998, komposisi pemberian kredit perbankan adalah 64,5 persen modal kerja, 29 persen investasi, dan konsumsi menempati proporsi yang kecil, yaitu sebesar 6,5 persen. Namun, data Bank Indonesia bulan Juni 2003 menunjukkan kenaikan kredit konsumsi menjadi 23 persen. Proporsi untuk modal kerja turun menjadi 54,6 persen.

Secara signifikan, perbankan telah mengalihkan kreditnya dari sektor korporasi ke sektor konsumsi. Bank tidak lagi berorientasi meningkatkan sisi produksi (supply side), tetapi mendongkrak sisi konsumsi (demand side). Memang jika sisi konsumsi terus berkembang, produksi juga akan turut terangkat. Tetapi jangan lupa, daya konsumsi masyarakat hanya bersifat sementara, sehingga siklus hidupnya (life cycle) akan pendek. Jika tidak dibarengi usaha mendongkrak sisi produksi, bisa jadi bumerang.

Inovasi pemberian kredit sebenarnya bisa dilakukan melalui pengembangan sektor usaha kecil dan menengah (UKM). Memang dari tabel 1 terlihat bahwa sejak tahun 1999 portofolio kredit yang disalurkan kepada UKM meningkat drastis. Porsi UKM berkisar antara 16 -20 persen dari total kredit. Salah satu penyebabnya adalah krisis yang menyebabkan kolapsnya sektor korporasi. Mengingat masih berisikonya penyaluran kredit usaha menengah apalagi besar, telah membuat sektor perbankan mulai melirik UKM sebagai sasaran pemberian kredit. Meskipun demikian, hingga bulan Mei 2003, tetap saja proporsi yang diberikan masih jauh lebih besar kepada sektor menengah dan atas, sebesar 80-84 persen.

Sementara itu, kontribusi masing-masing kelompok perbankan dapat dilihat pada tabel 2. Secara garis besar bisa dilihat bahwa Bank Pembangunan Daerah (BPD) telah menaikkan porsi kredit UKM dari 7,8 persen pada tahun 1998 menjadi 18 persen hingga Maret 2003. Bank persero/pemerintah paling agresif menyalurkan kredit UKM, dengan porsi 55,39 persen.

Dari data ini juga, terlihat betapa bank asing tidak berminat menyalurkan kreditnya ke UKM. Hal itu bisa dilihat dari porsi pemberian kreditnya, hanya 0,005 persen. Dapat disimpulkan, perbankan asing cenderung tidak peduli persoalan kemiskinan dan ketimpangan sosial. Orientasinya cuma menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya, dengan membatasi segmen pasar hanya pada kelompok pengusaha menengah ke atas.

Melihat sederet fakta ini, layak dikhawatirkan perbankan yang tengah melepaskan diri dari mulut buaya korporasi, segera masuk ke mulut singa. Sektor konsumsi, bidang yang riskan untuk dijadikan tumpuan perkembangan kredit, apalagi jika pertumbuhan hanya didorong konsumsi. Kita memang senang terhadap sesuatu yang artifisial ketimbang yang fundamental. Jangan sampai perekonomian kita jadi seperti ini.

A Prasetyantoko Analis Riset The Center for Financial Policy Studies, Jakarta

Buruh dan Realitas Dunia Usaha

KOMPAs, Selasa, 04 April 2006

Terhadap rancangan amandemen UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003, para buruh bersikap keras. Pemogokan pun digelar sebagai tanda perlawanan. Inilah salah satu dilema yang sedang kita hadapi bersama.

Minggu lalu, akhir Maret 2006, Bank Dunia merilis East Asia Update, dengan subjudul Solid Growth, New Challenges. Ada yang menarik mengenai Indonesia. Di sana tertulis, "Indonesia currently has one of the least business-friendly environments in the region…". Ini bukan isu baru, dan kita sudah lama mengetahui. Hal yang tak pernah kita ketahui, bagaimana cara keluar dari situasi ini.

Merespons buruknya daya tarik investasi negeri ini, pemerintah mengeluarkan paket kebijakan peningkatan iklim investasi melalui Instruksi Presiden No 3/2006. Dalam rangka peningkatan iklim investasi inilah revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan dilakukan. Tampaknya kali ini pemerintah tak main-main. Mereka menyiapkan paket kebijakan yang komprehensif, setidaknya pada tiga pilar utama.

Pertama, paket kebijakan untuk menggerakkan pembangunan infrastruktur dan investasi pada umumnya. Kedua, perbaikan sistem kepabeanan, perpajakan, perizinan investasi, dan berbagai prosedur birokrasi guna mempercepat proyek-proyek besar yang tertunda. Kesepakatan ExxonMobilOil dengan Pertamina menjadi salah satu realisasinya. Paket selanjutnya terkait berbagai skema pembiayaan guna mendukung peningkatan kapasitas investasi dunia usaha.

Cukup menyakinkan. Tetapi, tampaknya ini bukan akhir dari musim gugur yang ganas dan panjang dalam perekonomian kita. Masih ada banyak dilema yang jika tidak hati-hati diselesaikan justru berdampak kontraproduktif. Salah satunya, revisi UU Ketenagakerjaan.

Dunia usaha

Laporan Bank Dunia berisi perkembangan terkini ekonomi kawasan Asia Tenggara. Perkembangan sektor korporasi juga menjadi perhatian penting. Singkatnya, dunia usaha sudah mengalami perbaikan berarti akhir-akhir ini, setelah mengalami masa-masa sulit menghadapi krisis. Sayang, di tengah gairah ekonomi kawasan, lagi-lagi Indonesia berada pada gerbong paling belakang.

Dari sisi beban utang yang diukur dengan rasio antara utang dan ekuitas perusahaan (Debt-Equity Ratio), meski Indonesia (bersama negara-negara di kawasan Asia lainnya) sudah mencapai level yang lebih rendah daripada sebelum krisis (yang mencapai 71 persen), tetapi tetap jauh lebih tinggi atau sebesar 68 persen dari rasio untuk seluruh kawasan (52 persen) pada tahun 2004.

Demikian juga dengan indikator Interest Coverage Ratio (ICR) yang di Indonesia sudah meningkat pada level dua pada tahun 2004. Meski masih lebih rendah dari level sebelum krisis (level 3). Sementara itu, pada tahun 2004 ICR untuk kawasan sudah mencapai level 4.

ICR merupakan rasio pendapatan terhadap pembayaran bunga yang mengukur kemampuan perusahaan membayar utang dari penghasilan usaha mereka (firm viability). Perusahaan yang memiliki ICR di bawah level 1 pada dasarnya tidak memiliki aliran kas yang cukup untuk membayar utang. Atau mengalami gagal bayar (default).

Sementara itu tingkat profitabilitas perusahaan yang diukur dari rasio pendapatan terhadap aset perusahaan (Return-on Assets) masih di bawah posisi sebelum krisis. Indonesia sebelum krisis memiliki tingkat profitabilitas sembilan persen, sedangkan di tahun 2004 baru mencapai empat persen. Atau berada di bawah profitabilitas kawasan yang mencapai lima persen. Sebagai perbandingan, profitabilitas perusahaan di Thailand sudah mencapai sembilan persen, lebih tinggi dari profitabilitas sebelum krisis (tujuh persen).

Singkatnya, setelah tujuh tahun lebih bergulat dengan krisis, sektor korporasi di Indonesia belum keluar dari situasi krisis. Secara lebih rinci, dengan sampel perusahaan di Bursa Efek Jakarta (BEJ), penelitian saya menunjukkan pada masa pascakrisis risiko kebangkrutan (bankruptcy risk) perusahaan di Indonesia masih tergolong tinggi.

Dengan instrumen Altman Z-score (skor yang mengukur risiko kebangkrutan perusahaan), memang terlihat terjadi peningkatan kualitas perusahaan setelah krisis. Namun, pada tahun 2002 grafiknya kembali menurun, hingga tahun 2004. Hal yang lebih mengkhawatirkan, rata-rata perusahaan di Indonesia masih berada di wilayah abu-abu atau berada dalam skor 1,81 $< Z $< 2,99. Artinya, secara umum perusahaan di Indonesia masih belum masuk kriteria sehat. Dengan kata lain, risiko kebangkrutan masih amat besar.

Dilihat secara sektoral, potretnya lebih mencengangkan lagi. Dilihat dari rasio utang terhadap stok kapital (fixed-assets), sektor properti (sektor enam dalam klasifikasi BEJ) ada pada posisi teratas, jauh melampaui sektor-sektor lain. Bahkan rasio utang terhadap stok kapital melebihi level sebelum krisis.

Tampaknya sektor properti makin haus utang setelah krisis. Padahal dominasi sektor properti dan sektor tak diperdagangkan (non-tradable sector) lainnya telah menyebabkan perekonomian Asia berkembang seperti gelembung (bubble economy) yang meletus dalam wujud krisis dahsyat (Krugman, 1999).

Singkatnya, dengan bantuan indikator- indikator rasio keuangan perusahaan yang tercatat di BEJ, bisa ditarik kesimpulan, dunia usaha di Indonesia masih begitu riskan terhadap krisis (fragile) serta mudah terluka dengan gejolak makro (vulnerable). Dengan demikian, kita belum bisa mengucapkan au revoir alias selamat tinggal terhadap krisis. Karena kita masih begitu dekat dengannya.

Meski fundamental makro-ekonomi sudah membaik, tetapi fundamental mikro- ekonomi kita masih terus kedodoran.

Buruh

Potret terpuruknya sektor korporasi tidak serta-merta membiarkan buruh menjadi korban buruknya konstalasi dunia usaha itu. Berbagai kebijakan perlu diambil secara afirmatif untuk memihak para investor agar lebih meringankan beban usaha mereka. Namun, tidak berarti kepentingan buruh diabaikan.

Situasi yang mirip terjadi di Perancis saat ini. Beban ekonomi dengan tingkat pengangguran yang tinggi (9,6 persen di akhir 2005) memaksa pemerintah di bawah Perdana Menteri Dominique de Villepin mengintroduksi prinsip fleksibilitas pasar tenaga kerja dalam UU Ketenagakerjaan yang baru di Perancis. Rupanya reaksi penolakan begitu keras. Dan yang mengejutkan gerakan penolakan justru dimotori para pelajar dan mahasiswa.

Hingga hari ini blokade dalam suasana panas sebagai tanda protes masih terjadi di kampus-kampus di penjuru Perancis. Di ENS Lyon, setiap sore digelar pertemuan, debat, dan pemutaran film mengenai gerakan demokrasi dan peran mahasiswa. Penolakan itu terjadi karena secara konstitusional ada peluang pemberlakuan pekerja kontrak yang bisa diberhentikan sewaktu-waktu dalam waktu dua tahun.

Mengenai penolakan masyarakat Perancis terhadap prinsip fleksibilitas, Jacques Sapir (Ekonom EHESS) memberi penjelasan dalam kapasitasnya sebagai teoritisi ekonomi. Sebenarnya dia merujuk penolakan masyarakat Perancis pada referendum Mei 2005 terhadap Konstitusi Uni-Eropa.

Singkatnya, teori-teori ekonomi yang berkembang dewasa ini mulai bergeser pada pendekatan neo-Keynesian. Pengakuan adanya sistem informasi yang tidak seimbang, adanya biaya dalam setiap transaksi ekonomi, dan adanya hubungan tidak harmonis antara principal dan agency semakin diakui kebenarannya. Sehingga, dunia yang makin fleksibel dan liberal justru semakin tak memperoleh justifikasi teoritis. Begitu argumen Sapir.

Memang tak mudah menerjemahkan wacana teoritis dalam dunia praktis (kebijakan). Tetapi, di situlah tantangan dan seninya. Menjalankan kebijakan perlu kerangka teori memadai, selain visi yang bisa dipertanggungjawabkan.

A Prasetyantoko
Mahasiswa PhD Departemen Ekonomi, Ecole Normale Supérieure (ENS)–Lyon, Perancis

Perancis dan Perpaduan Eksplosif

KOMPAS, Kamis, 10 November 2005

Duduk di kursi rotan sebuah beranda Café, menyeruput secangkir kopi dengan aroma sedap sambil berbincang mulai dari soal parfum Channel, tas Longchamps hingga masalah puisi, kesusastraan dan teori sosial (pasca)-modern merupakan ciri khas kota Paris. Namun, kesan itu mendadak berubah dengan berita seputar kerusuhan sosial yang brutal.

Mengapa kerusuhan parah bisa terjadi? ”Kami bukan anjing, tetapi kami diperlakukan seperti binatang,” begitu sekelumit ungkapan gerombolan pemuda asal Arab, Afrika Utara, dan Eropa Timur di pinggiran Paris (Le Monde, 7/11/2005). Hingga Selasa (8/11), kerusuhan memasuki hari ke-12, telah membakar tak kurang dari 4.700 mobil di seluruh Perancis.

Kerusuhan bermula dari kematian dua pemuda (usia 15 dan 17 tahun) di daerah Clichy-sous-Bois (pinggiran Paris) yang bersembunyi dari kejaran polisi di sebuah gardu listrik. Tak jelas benar apa muasal kematian dua pemuda malang itu. Tetapi yang jelas, bak jerami tersulut api, seluruh Perancis menyala akibat kerusuhan.

Sehari setelah kematian dua pemuda itu, 400-an anak muda berhadapan secara brutal dengan 300-an polisi di Chêne-Pointu (di pinggiran Paris). Selanjutnya, kerusuhan meluas dan tak terkendali.

Di Nantes dan Strasbourg, taman kanak-kanak dan sekolah dasar dibakar massa. Di Clermont-Ferrand, pos polisi dilempari bom molotov hingga terbakar. Kantor pajak, pusat kegiatan sosial, gereja hingga tempat penitipan anak turut menjadi korban keberingasan perusuh di seluruh daerah Perancis, meliputi Lyon, Toulouse, Marseille, Lille, dan sebagainya.

Inilah kerusuhan terburuk setelah revolusi (modern) Perancis à la mahasiswa tahun 1968. Tetapi, tentu saja ”jiwa”-nya berbeda. Menurut para analis lokal Perancis—seperti tersiar dalam TV, radio, dan surat kabar—kerusuhan sosial kali ini mencerminkan ”keretakan sosial” yang akut akibat gagalnya proses integrasi para imigran generasi kedua yang umumnya berasal dari Arab dan Afrika Utara.

Para pendatang merasa diperlakukan secara rasial, sementara penduduk asli menganggap para imigran sebagai benalu. Banyak imigran menjadi penganggur dan menikmati berbagai tunjangan sosial dari pemerintah. Sebagian orang Perancis menggerutu, karena tunjangan sosial itu berasal dari pajak yang mereka bayarkan.

Inikah tanda-tanda murungnya masa depan model negara kesejahteraan à la Perancis dan negara Eropa lainnya?

Ekonomi yang murung

Tahun lalu perekonomian Perancis tumbuh sebesar 2,3 persen. Tahun ini, rasanya tak akan sampai 2 persen. Kenaikan harga minyak dunia yang menyentuh angka tertinggi dalam sejarah juga berdampak signifikan terhadap perekonomian Eropa. Pelambatan pertumbuhan ekonomi kawasan Asia dan Amerika Utara juga membuat ekonomi Eropa kian murung. Begitu juga dengan faktor China yang mengancam sektor industri, terutama tekstil.

Sementara itu, inflasi 2,2 persen dan pengangguran 9,8 persen hingga September 2005 merupakan gejala yang menambah suram prospek perekonomian.

Sejak diberlakukan mata uang tunggal Eropa (euro), negara-negara kaya seperti Jerman dan Perancis mengalami pelambatan pertumbuhan ekonomi, disertai gejala inflasi dan pengangguran yang tinggi. Tingginya pengangguran, selain karena melambatnya pertumbuhan ekonomi, juga karena meningkatnya mobilitas pasar tenaga kerja yang mengakibatkan pasar mengalami kelebihan penawaran (over supply). Pekerja murah asal Eropa Timur telah membuat tingkat upah di beberapa negara seperti Jerman dan Perancis tidak kompetitif lagi. Selanjutnya, gejala pemindahan pabrik (delokalisasi) ke kawasan Eropa Timur kian tak terbendung.

Sebaliknya, serikat-serikat buruh di Perancis kian rajin turun ke jalan, menuntut peningkatan upah, penurunan jam kerja atau berbagai tuntutan perbaikan fasilitas lainnya. Semakin keras buruh menuntut, kian banyak pabrik pindah. Konsekuensinya, pengangguran akan terus naik.

Sementara itu, defisit untuk menutup asuransi pengangguran hingga akhir 2005 mencapai 13,6 miliar euro. Diprediksi tahun 2008 nilainya akan turun menjadi 7,1 miliar euro. Penurunan defisit terkait dengan berdampaknya ”program penanggulangan pengangguran” yang diberlakukan Perdana Menteri Dominique de Villepin. Dari program itu, pemerintah berharap mampu memberi pekerjaan kepada 73.000 pekerja baru di tahun 2005.

Program pemberantasan pengangguran ini diharapkan berhasil setelah 2007, di mana jumlah peminta pekerjaan menurun, seiring berakhirnya generasi baby-boomer. Di tahun 2007 dan 2008, akan ada penambahan lapangan pekerjaan sebesar 200.000, sehingga jumlah penganggur akan turun dari 180.000 (2007) menjadi 178.000 (2008). Dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 2 persen per tahun.

Gejala kemurungan ekonomi ini sebenarnya sudah mulai berdampak pada kehidupan sosial-politik dalam Pemilu 2002 lalu. Pada saat ekonomi murung, muncul tokoh kontroversial Jean-Marie Le Pen dari Partai Front Nationale (berideologi ultranasionalis) yang mengusung isu ”pendatang sebagai pencuri lapangan pekerjaan”. Publik sempat terkesima sehingga Le Pen sempat memenangi putaran pertama pemilu presiden. Rupanya, gejala yang sama juga terjadi di negara-negara lain di Eropa: di Belanda partai berhaluan ultranasionalis memenangi pemilu.

Pendeknya, meledaknya kerusuhan sosial tak bisa dipisahkan dari kemurungan ekonomi yang disertai gejala disintegrasi sosial antara pendatang dan penduduk setempat. Setali tiga uang. It takes two. Akibatnya, keretakan sosial meledak dalam bentuk kerusuhan yang brutal.

Respons politik

Koran berhaluan kiri seperti Figaro banyak menyajikan kritik yang menegaskan kegagalan kepemimpinan Presiden Jacques Chirac. Ketika pencalonan dirinya sebagai salah satu kandidat presiden tahun 1995, Chirac meluncurkan buku berjudul La France pour tous (Perancis untuk semua). Faktanya, hari ini Perancis terfragmentasi begitu parah.

Selain meliput ”efek domino” kerusuhan, media massa domestik juga banyak menyoroti persaingan internal di tubuh pemerintahan Chirac. Perdana Menteri Dominique de Villepin dan Menteri Dalam Negeri Nicolas Sarkozy dikenal sebagai seteru yang bersaing dalam pemilu kepresidenan 2007 nanti. Menanggapi kerusuhan ini, kebijakan keduanya sering tidak sinkron.

Lebih dari itu, Sarkozy sebagai representasi partai berhaluan kanan (nasionalis) sering dianggap ekstrem dan tidak ramah terhadap pendatang. Sejak lama, dia dikenal sebagai penentang rezim tunjangan sosial. Bagi para pendatang, dia adalah figur yang membahayakan.

Dalam menghadapi kerusuhan, Sarkozy sebagai menteri dalam negeri dinilai terlalu represif, sehingga bukannya memadamkan aksi perusuh tetapi justru memperburuk situasi. Dia menerapkan prinsip kebijakan zero-tolerance dalam menghadapi kerusuhan.

Dalam wawancara TV, beberapa anggota masyarakat mengakui merebaknya kerusuhan merupakan bagian kekesalan mereka terhadap figur Sarkozy. Sayang, para perusuh menumpahkan kekesalan dengan merusak fasilitas publik. Pagi-pagi, seorang ibu yang ingin menitipkan anaknya dan mendapati tempat penitipan anak terbakar habis mengatakan, ”Meski saya paham kekesalan mereka, tetapi kerusakan fasilitas publik seperti ini tetap tidak logis.”

Begitulah faktanya, masyarakat tidak berjalan linear. Kadang dia bergerak melawan logika modernitas. Dan ternyata, selain menyimpan nilai estetika dalam mode dan kesusastraan, Perancis juga mengandung gejala rasis dan kekerasan, sehingga menghasilkan perpaduan (chemistry) yang eksplosif.

Kenyataan ini menjadi pelajaran penting bagi pemerintah kita yang kini sedang menghadapi masalah berat terkait kebijakan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Meski didukung staf ahli andal (menurut Prof M Sadli), tetapi jika gaya bicara dan respons penguasa tidak menunjukkan empati pada perasaan rakyat, bisa jadi menyulut kebencian yang muncul dalam kerusuhan brutal.

A Prasetyantoko Mahasiswa Doktoral Departemen Ekonomi, Ecole Normale Supérieure (ENS), Lyon, Perancis

BLT dan Kesepakatan Baru

(KOMPAS, 25 Oktober 2005)

Seperti halnya bahasa, ekonomi juga lahir dari kesepakatan para pihak (agencies) di dalamnya. Paling tidak, begitu yang dipahami para penganut Teori Konvensi Ekonomi (économie des conventions). Kenaikan rata-rata 107 persen harga bahan bakar minyak (BBM) dan kemudian penyaluran bantuan langsung tunai (BLT) telah menjadi bahasa yang disepakati para pengambil kebijakan. Hasilnya?
Di Jambi, gara-gara ribut soal BLT seorang ketua RT dibunuh (Kompas, 22/10/2005). Sederet kericuhan menyeruak, mulai dari perusakan kantor desa, meninggal karena antrean, hingga (beberapa) kasus bunuh diri akibat kecewa tidak memperoleh BLT. Sungguh tragis. Bagi para perancang pencabutan subsidi, rentetan peristiwa (berdarah) tersebut hanyalah efek kecil yang tak masuk dalam daftar perhatian. Padahal bisa jadi, dampak tersebut muncul akibat kebijakan yang tidak tepat karena tidak memperhitungkan faktor-faktor non-ekonomis. Lalu, butuhkan kita kesepakatan baru ?
***
Dari iklan layakan masyarakat yang prematur, terlihat pemerintah terlalu berobsesi “memaksakan” kesepakatan (bahasa) kenaikan harga BBM kepada masyarakat. Hampir seluruh ekonom dan kalangan dunia usaha memiliki bahasa yang sama; kenaikan BBM tidak terelakkan.
Jika harga minyak di pasaran dunia terus berada di kisaran 60 US$/barrel, subsidi yang harus disediakan lebih dari 100 triliun. Padahal, anggaran pemerintah juga tergerus oleh makin melemahkan nilai tukar rupiah yang berakibat pada kenaikan suku bunga, sehingga memberatkan pembayaran beban bunga obligasi.
Dalam konteks ini, pencabutan subsidi akan memberi sentimen positif yang mengangkat nilai tukar rupiah. Dan bagi dunia usaha, meski beban industri meningkat akibat pencabutan subsidi, tetapi karenanya nilai tukar menurun. Padahal, salah satu karakteristik industri kita, pada umumnya tergantung pada bahan baku impor sementara hasil produksinya tidak berorientasi ekspor. Maka dunia usaha memiliki bahasa yang sama dengan pemerintah dalam hal pencabutan subsidi.
Masalahnya, masyarakat harus menanggung beban yang terlalu berat akibat pencabutan subsidi. Sementara, mekanisme bantuan langsung tunai (BLT) memili cacat bawaan terkait dengan buruknya kualitas “institusi” masyarakat dan aparat birokrasi. Bangsa tidak sama dengan perusahaan yang hanya terdiri dari neraca “sisi kiri” (asset) dan “sisi kanan” (liabilities). Bagi pemerintah, pemberian BLT setelah pencabutan subsidi dianggap impas (seimbang sisi kiri dan sisi kanan). Logika ini mirip dengan pengertian tanggung jawab sosial perusahaan sebagai kegiatan amal belaka.
Dalam neraca, tak tergambar bagaimana seorang janda renta yang kecewa tidak memperolah BLT bisa bunuh diri masuk ke jurang. Itu masih terkait dengan mekanisme pembagiannya. Para menteri ekonomi --di bawah Menteri Koordinator Perekonomian yang juga seorang pengusaha-- tentu tidak akan perduli untuk apa bantuan langsung itu digunakan. Seorang warga menggunakan BLT untuk memproduksi mercon, lalu ditangkap polisi. Ragam cerita lainnya akan bermunculan. Secara kualitatif-karikatural, perlu diamati hubungan BLT dengan ramainya Carrefour (toko kebutuhan pokok) dan Ramayana (toko busana).
Intinya, menilik sosio-ekonomi masyarakat kita, ekspektasi pemberian BLT berisiko salah sasaran (overshooting). Akibatnya, beban hidup riil masyarakat dalam jangka panjang tidak mengalami perbaikan, seperti yang diharapkan.
Lalu, cerita seperti, “gaga-gara makanan anak tiri dicekik hingga tewas” atau “karena berisik anak 5 tahun ditikam pamannya” akan semakin sering kita dengar. Beban hidup makin tak tertanggung. Semua harga meroket naik, kecuali harga nyawa dan kehidupan yang mengalami banting harga.
***
Lalu, apakah mungkin kita membuat kesepakatan baru? Nampaknya sulit mengharapkan pembatalan pencabutan subsidi. Karena, selain beban riil pemerintah memang berat, harus diakui, dampaknya akan buruk bagi para investor lokal maupun global. Kebijakan menjadi bahasa yang dipertaruhkan karena menyangkut kredibilitas.
Namun kesepakatan harus tetap diperjuangkan. Di Eropa, di mana tradisi kesepakatan dalam pengambilan kebijakan relatif mapan; bukan berarti pemerintah berbaik hati mendengarkan suara rakyat. Melainkan, jika pemerintah tidak perduli, pemogokan akan terjadi sehingga memacetkan ekonomi. Jadi, daripada terjadi kemacetan total, pemerintah memilih untuk mencari kesepakatan terhadap tuntutan rakyat.
Dalam hal ini, ada baiknya masyarakat memiliki formula-formula yang operasional. Jika tidak mau pencabutan subsidi, lalu apa yang diusulkan? Perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan kelompok-kelompok profesional bisa menjadi katalisator dalam membuat formulasi guna mencapai kesepakatan baru dengan pemerintah.
Untuk menutup tulisan ini, saya teringat buku kecil tulisan Daniel Cohen (profesor ekonomi ENS-Paris) yang bercerita tentang globalisasi yang membuat dunia makin kaya di tengah bangsa-bangsa yang makin megap-megap. Dalam konteks domestik, nampaknya benar, agar negara lebih kaya (cadangan devisa naik, anggaran terkendali, beban obligasi turun), rakyat harus lebih miskin.
Lalu, apakah instrumen ekonomi modern memang dirancang untuk kesejahteraan riil (sebagian besar) masyarakat? Ilmu ekonomi (aliran utama) tidak pernah (akan/bisa) menjawabnya.

A.Prasetyantoko, Mahasiswa Doktoral Departemen Ekonomi, Ecole Normale Supérieure (ENS)-Lyon, Perancis

Rasionalitas Krisis

KOMPAS, Kamis, 08 September 2005

Di hari ini, kenyataan adalah soal persepsi. Faktor fundamental telah menyatu dengan faktor psikologis. Ekonomi tak lagi hanya soal statistik yang statis, melainkan juga soal dinamika perilaku para agen ekonomi.

Lihat saja realitas rupiah yang sempat tembus ke angka Rp 11.800/dollar AS, sedangkan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat terpuruk hingga ke level 994,778 poin. Krisis jilid II? Meski tidak akan separah krisis tahun 1997, tetapi sifat dasar (nature)-nya sama.

Krisis nilai tukar dipicu oleh gabungan faktor fundamental dan sekaligus sikap spekulatif para pelaku ekonomi. Gejolak rupiah serta merosotnya perdagangan saham menjadi cermin panic behavior para agen ekonomi.

Selain mengenai faktor fundamental dan faktor behavioral, krisis juga terkait dengan liberalisasi sektor finansial. Liberalisasi (finansial) dan krisis selalu datang berurutan.

Akar masalah

Studi tentang krisis finansial mengadopsi dua hal penting: munculnya masalah perilaku individu (agency problem) serta ketimpangan informasi (asymmetric information). Dalam rasionalitas yang terbatas (bounded rationality), para pelaku ekonomi sering bereaksi secara berlebihan, karena ada ketimpangan informasi. Dalam hal ini, kredibilitas akan memperburuk ketimpangan informasi.

Dalam konteks krisis finansial tahun 1997 di kawasan Asia, Corsetti, Pesenti & Roubini (1998) memberi jawaban, ekspektasi para agen ekonomi akan memburuknya fundamental ekonomi telah mendorong perilaku spekulatif (self-fulfilling prophecy). Jadi, perilaku kawanan (herd behavior) tidaklah terjadi tanpa sebab. Ekspektasi para pelaku ekonomi terhadap fundamental ekonomi merupakan pemicu hadirnya krisis yang dalam serta berkepanjangan.

Kali ini, krisis dipicu oleh melonjaknya harga minyak dunia yang menyentuh 70 dollar AS per barrel. Tentu saja, gejolak harga minyak berpotensi membebani kondisi fiskal pemerintah. Sementara itu, pasar memiliki persepsi negatif terhadap reaksi pemerintah dalam menyikapi situasi.

Dalam RAPBN 2006, harga minyak dunia masih dipatok pada harga 45 dollar AS per barrel. Sementara nilai tukar rupiah dipatok pada angka Rp 9.400/dollar AS, SBI 7 persen dan inflasi 7 persen. Asumsi-asumsi ini dianggap terlalu usang bagi para pelaku ekonomi, bukan semata-mata pada angkanya itu sendiri melainkan pada cara mencapai target (asumsi) tersebut.

Kredibilitas pemerintah (terutama tim ekonomi kabinet) adalah satu hal. Tetapi harus disadari, sistem finansial global yang makin liberal inilah yang sejatinya memungkinkan para pelaku ekonomi bergerak sentimentil tatkala kredibilitas pemerintah makin merosot.

Dalam sistem finansial global yang liberal, faktor fundamental ekonomi (cadangan devisa, neraca pembayaran, suku bunga, inflasi, pertumbuhan) terlalu rentan terhadap guncangan.

Pada tahun 1997, sebenarnya sisi fundamental makroekonomi Indonesia berada dalam situasi yang relatif baik. Tingkat inflasi yang relatif rendah, surplus neraca pembayaran lebih dari 900 juta dollar AS, cadangan devisa lebih dari 20 miliar dollar AS. Sayangnya, sisi fundamental mikronya sangat buruk.

Sektor swasta memiliki utang jangka pendek yang tidak dilindungi (hedging) dalam bentuk mata uang asing (terutama dollar AS) yang sangat besar. Ketika terjadi kepanikan dalam perdagangan valuta asing (nilai tukar), sektor korporasi kolaps karena tidak bisa bayar utang. Selanjutnya perbankan rontok karena kredit macet. Rontoknya perbankan menambah kepanikan perdagangan valas. Begitulah, efek spiral terjadi dalam sebuah tata kelola sektor finansial global yang liberal.

So what?

Pertama harus diingat, krisis merupakan dampak langsung dari sistem finansial global yang liberal. Tanpa ada keberanian mempersoalkan tata kelola ini, krisis akan terus terjadi (dalam skala yang berbeda-beda).

Sekadar untuk menanggulangi, langkah mengamankan fundamental ekonomi serta menjaga kredibilitas pemerintah (terutama tim ekonomi) agar tidak mendorong perilaku spekulatif para pelaku ekonomi tetap diperlukan. Salah satu rekomendasi para ekonom adalah mencabut subsidi BBM, agar kondisi fiskal pemerintah tidak terbebani. Tapi jangan-jangan pencabutan subsidi BBM yang diharapkan mengatasi masalah fundamental, justru memberi dampak psikologis yang negatif sehingga memicu perilaku spekulatif.

Dalam hal ini, presiden harus sangat jeli serta menunjukkan kredibilitasnya, agar persepsi pasar justru tak merusak fundamental ekonomi. Perombakan kabinet menjadi salah satu tolok ukur kejelian serta kredibilitas tersebut. Tidak mudah memang menjadi pemimpin dalam kubangan besar sistem finansial global yang liberal ini.

A Prasetyantoko Mahasiswa Doktoral Departemen Ekonomi, Ecole Normale Supérieure (ENS)-Lyon, Perancis

Kepanikan dan Perilaku Kawanan

KOMPAS, Kamis, 23 Juni 2005

CADANGAN bahan bakar minyak kritis (Kompas, 21/6/2005). Lantas apa yang terjadi? Para pengguna kendaraan bermotor melakukan antrean panjang di pompa-pompa bensin. Begitu melihat antrean panjang, kepanikan pun tersulut. Begitulah perilaku kawanan yang digerakkan oleh kepanikan.

Perilaku kawanan (herding behavior) lazim terjadi di sektor finansial. Ada yang mengatakan krisis di Asia beberapa waktu lalu lebih disebabkan perilaku kawanan (kepanikan para aktor ekonomi) ketimbang faktor fundamental ekonomi. Di Indonesia, perilaku kawanan telah meruntuhkan sektor perbankan setelah terjadi kepanikan dalam penarikan tabungan akibat berbagai proyeksi buruk yang menghantui para pelaku ekonomi (self-fulfilling prophecy).

Perilaku kawanan tidak saja terjadi di sektor finansial. Kehidupan kita begitu riskan terhadap perilaku ini. Begitu labilkah masyarakat kita sehingga mudah diserang kepanikan? Atau karena terlalu lama dalam ketidakpastian disertai ketidakpercayaan kepada pemerintah?

Fenomena antrean panjang di pompa bensin menyusul berita menipisnya cadangan bahan bakar minyak (BBM) hanya contoh kasus betapa rapuhnya kredibilitas pemerintah di mata masyarakat.

Stok BBM

Persoalan seputar ketersediaan bahan bakar minyak (bensin, solar, dan minyak tanah) terjadi karena berbagai sebab. Pertama, harga minyak dunia kian sulit diprediksi dan menjauh dari asumsi anggaran pemerintah (RAPBN) 2005. Sementara pemerintah mematok asumsi 45 dollar AS per barrel. Terakhir, harga minyak kian tak terkendali mencapai 58,60 dollar AS per barrel (Kompas, 20/6/2005).

Kedua, ketidakpastian harga minyak di pasar dunia mengakibatkan pemerintah kesulitan menyediakan subsidi dalam jumlah yang sesuai dalam waktu cepat. Dengan asumsi harga minyak 45 dollar AS per barrel, subsidi akan menjadi Rp 76,5 triliun. Bisa dibayangkan berapa pembengkakannya jika harga minyak mencapai level 58 dollar AS per barrel.

Menurut Pertamina sebagai pengelola distribusi BBM, pemerintah lamban mencairkan subsidi BBM. Pembelian BBM pun terhambat. Dalam lingkungan eksternal yang dipenuhi ketidakpastian seperti sekarang, birokrasi berbelit-belit bahkan cenderung tidak konsisten menjadi kendala yang amat mengganggu.

Di berbagai daerah, kepanikan atas ketaktersediaan BBM begitu nyata. Di pantai utara (pantura) Jawa, terutama Semarang dan sekitarnya (Demak, Pati, Kudus) serta Madura, penurunan stok BBM mengganggu distribusi. Cerita di balik stok BBM berikut kompleksitas persoalan yang melatarbelakangi bisa menjadi cermin persoalan bangsa lainnya.

Perilaku kawanan

Masalah perilaku kawanan menjadi diskusi hangat saat krisis mata uang terjadi di Asia. Ada dua pendapat saling bertentangan ihwal sebab-musabab krisis Asia. Sekelompok pendapat—dipelopori Redelet dan Jeffrey Sachs (1998)—memahami krisis sebagai kepanikan para pemegang likuiditas. Sementara Corsetti, Pesenti, dan Roubini (1998) mempercayai fundamental ekonomi yang rapuh sebagai faktor utama penyebab krisis.

Hingga kini diskusi hangat terus terjadi di antara pendukung masing-masing kubu gagasan. Selebihnya, banyak analis percaya adanya sintesis antara faktor kebobrokan sisi fundamental dan kepanikan dalam keruntuhan ekonomi Asia. Begitulah, ”krisis generasi ketiga” yang merupakan gabungan antara krisis mata uang dan krisis perbankan (finansial) telah meruntuhkan kawasan Asia.

Di Indonesia, perilaku kawanan paling hebat pernah melanda sektor perbankan. Akibat kepanikan nasabah, bank mengalami kebangkrutan dan menelan biaya besar untuk pemulihan. Dengan total biaya penyelamatan dan pemulihan perbankan sekitar Rp 600 triliun atau 58 persen dari GDP, Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki ”biaya krisis” terbesar di dunia.

Meski badai krisis telah berlalu, kini riak-riak kepanikan masih terjadi. Dalam konteks nilai tukar, perilaku kawanan mendorong tersungkurnya rupiah pada nilai 9.600 per dollar AS pada awal Juni. Sebagai respons, Bank Indonesia lalu mengambil keputusan proaktif melalui peraturan no 7/14/PBI/2005 tentang pembatasan transaksi rupiah yang bertujuan meredam perilaku spekulatif.

Kredibilitas

Rupanya perilaku spekulasi tidak saja terjadi di sektor finansial. Di sektor riil, spekulasi terlalu sering terjadi. Akibatnya, perilaku kawanan yang didorong kepanikan muncul di sana-sini. Bahkan jika diperluas perspektifnya, perilaku kawanan terjadi di berbagai bidang sekaligus menunjukkan ciri khas masyarakat kita.

Dalam konteks korupsi juga telah menjadi ”perilaku kawanan”. Dalam kasus dugaan korupsi dana haji di Departemen Agama, misalnya, muncul pernyataan, tindakan korupsi yang dilakukan para tersangka hanya meneruskan ”kebijakan terdahulu”. Tidak tanggung-tanggung, seperti dikatakan pengacara Said Agil Husin Al Munawar, pihak yang turut menikmati Dana Abadi Umat (DAU) melibatkan orang-orang penting negeri ini.

Perilaku kawanan tidak saja terjadi di sektor finansial (nilai tukar, reksa dana, indeks saham, dan sebagainya) atau seputar stok BBM. Dalam hal korupsi pun berlaku prinsip perilaku kawanan.

Dalam hal berita menipisnya cadangan BBM, masyarakat dilanda kepanikan. Pasalnya, mereka tidak bisa percaya terhadap informasi yang disampaikan pemerintah. Dikatakan, stok BBM cukup untuk 20 hari. Belakangan, tersiar berita BBM hanya cukup untuk 17 hari, 14 hari, lalu 12 hari. Mana yang benar? Masyarakat berseru, pemerintah harus jujur soal cadangan BBM yang dimiliki Pertamina.

Fenomena yang sama terjadi dalam kasus pemberitaan kasus busung lapar, polio, lumpuh layuh, muntaber, flu burung, dan sebangsanya. Kesannya, pemerintah menutupi kenyataan. Dan kadang kepanikan terjadi karena informasi resmi yang terkesan ditutup-tutupi.

Di sektor finansial, kepanikan sering bersumber pada informasi yang tidak seimbang (asymmetric information) sehingga menimbulkan distorsi. Dalam hal kebijakan publik, akar persoalannya sering ada pada kredibilitas pengambil kebijakan (pemerintah).

Rupanya, di tengah gempita berbagai upaya simpatik yang dilakukan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono masih tersimpan masalah kredibilitas. Ujian belum selesai dan akan terus dilakukan guna membuktikan kredibilitas pemerintahan dalam setiap kebijakan yang dikeluarkannya.

Dalam kebijakan ekonomi, meski serangkaian proses pembersihan korupsi terus dilakukan, sarang distorsi masih dipelihara. Para pembantu presiden masih berpotensi menjadikan distorsi melalui intervensi di tiap kebijakan ekonomi yang dijalankan. Korupsi kecil terus diberantas, tetapi distorsi-intervensi masih terus bercokol.

Sayang, kredibilitas tidak bisa dibangun dalam semalam. Layanan SMS langsung kepada presiden bisa menjadi jembatan, tetapi taruhannya kian besar karena berarti pemerintah harus konsekuen merespons keluhan dan masukan dari masyarakat. Begitu respons pemerintah dinilai lamban, ketidakpercayaan segera muncul. Dengan begitu, kepanikan masih berpotensi terjadi kapan saja seiring kian menipisnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap para pengambil kebijakan publik.

A Prasetyantoko Mahasiswa Doktoral Departemen Ekonomi, Ecole Normale Supérieure (ENS)-Lyon, Perancis

Era Baru Tata Kelola Korporasi

KOMPAS, Senin, 30 Mei 2005

KETIKA dugaan korupsi dalam penyaluran kredit di Bank Mandiri senilai lebih dari Rp 1 triliun mencuat, saya berdiskusi dengan rekan mahasiswa doktoral di Universitas Paris I yang juga seorang wartawan sebuah harian terkemuka di Jakarta. Saat itu, Neloe diperkirakan tak mungkin masuk bui.

Sungguh surprised, Neloe bersama dua direktur, I Wayan Pugeg (Wakil Dirut) dan M Sholeh Tasripan (Direktur Corporate Banking), menjadi tersangka.

Bagi orang yang tidak berada di Tanah Air, penangkapan "orang-orang penting" bagai cerita detektif. Berita penangkapan petinggi Bank Mandiri beriringan dengan langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap korupsi di Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Inilah era baru pemberantasan korupsi sekaligus penegakan tata kelola korporasi di Tanah Air. Benarkah? Karena hanya bersumber dari media, sebagian besar publik di luar negeri kadang dihinggapi keraguan: tidakkah ini hanya bagian permainan politik atau "manajemen kesan" yang sedang dijalankan pemerintah berkuasa? Namun, daripada digerogoti rasa apriori, lebih baik berpartisipasi mendorong usaha yang sudah dimulai ini.

Terhadap perkembangan terakhir pemberantasan korupsi, ada dua hal penting pantas disorot. Pertama, pemberantasan korupsi menjadi bagian penting mewujudkan tata kelola korporasi pada tiap perusahaan. Selama ini, meski waktu terus berlalu dan zaman terus berganti, korupsi dan inefisiensi terus terjadi. Maka, pemberantasan korupsi menjadi urgensi kini dan di sini.

Kedua, ke mana sebaiknya mulut pemberantasan korupsi diarahkan guna mendapat kualitas kelembagaan memadai di tingkat manajemen pemerintahan (good governance) dan tata kelola korporasi (good corporate governance)?

"Macro-governance"

Sejak krisis ekonomi, wacana tata kelola korporasi mengemuka. Tetapi lain wacana lain realitanya. Survei Corporate Governance Perception Index (CGPI) yang dilakukan Indonesian Institute for Corporate Governance (IICG) bersama majalah SWA menunjukkan realita menyedihkan. Belum lagi masuk substansi survei, tingkat partisipasi responden menunjukkan begitu inferiornya isu tata kelola di kalangan perusahaan publik.

Pada survei keempat tahun 2004, dari sekitar 330 perusahaan yang tercatat di BEJ, hanya 22 perusahaan yang bersedia menjadi responden. Sejak survei pertama, perusahaan yang bersedia mengikuti survei selalu kurang dari 10 persen dari total perusahaan publik di BEJ. Tahun 2001 responden hanya 22 emiten, tahun 2002 menjadi 33 emiten, dan tahun 2003 hanya 34 emiten yang bersedia menjadi responden.

Bagi orang yang sedikit belajar tentang tata kelola korporasi, kenyataan ini tidak terlalu mengejutkan. Di mana pun, tata kelola korporasi pada setiap perusahaan secara individual merupakan cermin sistem tata kelola secara nasional. Dengan kata lain, tata kelola secara mikro (micro- governance) amat ditentukan tata kelola secara makro (macro-governance). Sehingga, di tengah amburadulnya tata kelola pemerintahan selama ini, wajar tata kelola korporasi tidak berkembang baik.

Selama ini, tata kelola korporasi sering hanya direduksi dalam pengertian mikro, seperti didefinisikan dalam prinsip-prinsip tata kelola, seperti transparansi, independensi, kewajaran, akuntabilitas, dan responsibilitas. Ada pula penilaian tata kelola korporasi, masih dalam skala mikro, dari struktur kepemilikan (ownership structure), kehadiran komisaris independen atau sistem penggajian eksekutif.

Pertama-tama, tata kelola korporasi merupakan konsep makro. Kita mengira model perusahaan negara (BUMN) dan perusahaan keluarga menjadi masalah utama inefisiensi sebagaimana terjadi di negara kita. Padahal, BUMN lazim di Singapura, sementara di Taiwan dan Hongkong model perusahaannya berbasis keluarga. Mengapa mereka tetap efisien dan kita tidak? Jawabannya, mereka memiliki sistem nasional yang baik dalam tata kelola korporasi. Tata kelola korporasi tidak semata ditentukan oleh kualitas tiap perusahaan, tetapi terlebih oleh sistem makro yang melingkupinya.

Dengan begitu, asumsi di balik privatisasi sejumlah BUMN sering tidak relevan. Privatisasi dan tata kelola korporasi adalah dua hal berbeda dan bisa tidak saling berhubungan. Dalam sistem nasional yang korup, privatisasi justru menimbulkan persoalan baru. Pertama, privatisasi berisiko menjadi ladang korupsi. Kedua, masuknya investor asing melalui privatisasi kemungkinan besar akan berdampak positif bagi kinerja individu perusahaan, tetapi jika sistem nasional masih korup, bisa jadi investor baru akan memindahkan usahanya ke negara lain.

Kerangka macro-governance amat penting menanggapi indikasi korupsi di sejumlah BUMN yang kini berkasnya di tangan Tim pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Tugas utama tim baru yang dibentuk melalui Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2005 ini menguak tindak pidana korupsi di sejumlah BUMN dan lembaga pemerintah lainnya.

Tentang BUMN, dari 158 perusahaan dengan aset Rp 1,313 triliun, hanya menghasilkan laba Rp 25 triliun. Bahkan ada 13 BUMN terus merugi. Dikorupsi atau tidak, faktanya BUMN sebagai unit bisnis amat buruk. Parahnya, kinerja buruk menimpa BUMN besar seperti Pertamina, Garuda Indonesia, PT Perusahaan Listrik Negara, dan Perhutani.

BUMN perlu diprivatisasi, tetapi privatisasi bukan satu-satunya solusi. Dalam macro-governance yang baik, siapa pun pemilik perusahaan: negara atau keluarga, swasta asing atau lokal, tidak penting. Yang lebih penting, membangun tata kelola secara makro. Dan dalam konteks ini, peran lembaga seperti KPK dan Tipikor menjadi sangat signifikan.

Ke mana kita?

Dua hal perlu diperhatikan dalam membangun tata kelola korporasi. Secara mikro perlu dilakukan penataan ulang, seperti privatisasi dan divestasi guna memengaruhi kepemilikan, mengganti dirut, menghadirkan komisaris independen, menyusun sistem penggajian, dan sebagainya. Juga penerapan prinsip "normatif" tata kelola korporasi, seperti transparansi, independensi, kewajaran, akuntabilitas, dan responsibilitas perlu digalakkan.

Namun, tak ada artinya mengembangkan micro-governance tanpa membangun macro-governance. Pemburuan terhadap koruptor perlu dilanjutkan di segala level, baik di BUMN maupun lembaga pemerintah. Pada gilirannya, sektor swasta akan terpengaruh secara positif.

Saat ini, Tipikor tengah berkonsentrasi membenahi BUMN. Namun, pemerintah juga pernah amat menentukan nasib perusahaan swasta melalui BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional). Cukup beralasan dalam usaha membangun kualitas kelembagaan yang baik, pemberantasan korupsi juga diarahkan ke lembaga yang pernah begitu berkuasa ini.

Bisa dipastikan, seluk-beluk korupsi di KPU tidak sebanding dengan rumit dan besarnya indikasi korupsi yang melanda BPPN. Tidaklah adil bagi anggota KPU yang harus menghadapi tuduhan dan cercaan, sementara petinggi BPPN, meski sudah berlalu, tidak pernah disentuh.

Kita menunggu langkah pemberantasan korupsi hingga ke akarnya yang sebagian besar bersarang di lembaga bentukan pemerintah bernama BPPN.

A Prasetyantoko Mahasiswa Doktoral Departemen Ekonomi, Ecole Normale Supérieure (ENS) de Lyon, Perancis

Kemiskinan dan Kualitas Kelembagaan

KOMPAS, Selasa, 26 April 2005

POTRET kemiskinan sudah sangat mengerikan bukan saja dilihat dari segi angka. Realitas keseharian kita telah menjadi saksi betapa implikasi dari tingkat kemiskinan yang tinggi sudah sangat mengkhawatirkan kita semua.

Bayangkan saja, hutan kecil di tengah Kampus Universitas Indonesia, Depok, sudah beberapa kali menjadi saksi usaha perampokan yang disertai dengan pembunuhan terhadap mahasiswa. Kalau mahasiswa saja sudah menjadi target perampokan, bisa dibayangkan betapa kejahatan sudah sangat dekat dengan kehidupan keseharian siapa pun yang tinggal di negeri ini.

Tidak perlu model ekonometri dan teori ekonomi yang rumit untuk menghubungkan realitas kemiskinan dengan tingkat kejahatan. Keterimpitan kebutuhan hidup sehari-hari bisa memicu tindak kriminalitas yang meluas. Bagi penganut ekonomi "aliran utama" (mainstream), berbicara tanpa data beserta metode penghitungan kuantitatifnya sering didakwa sebagai sebuah retorika belaka. Padahal, pengamatan kualitatif sama pentingnya dengan pemahaman kuantitatif. Apalagi jika menyangkut kualitas kelembagaan: konteks di mana transaksi ekonomi yang bisa diukur lewat angka- angka itu terjadi.

Kemiskinan yang merajalela sangat terkait dengan kualitas kelembagaan ekonomi kita sehingga untuk mengatasi kemiskinan tidak bisa sekadar memberi subsidi. Kualitas kelembagaan itu sendiri harus diperbaiki.

Korupsi

Dalam sebuah wawancara dengan jaringan televisi BBC-London, Jeffrey D Sachs, ekonom lulusan Universitas Harvard yang kini menjadi Direktur Earth Institute-Universitas Columbia, menunjukkan betapa korupsi di Asia sudah menjadi penghalang penting bagi penanggulangan kemiskinan. Sama dengan kemiskinan, korupsi harus ditanggulangi dengan cara-cara yang tidak biasa.

Gagasannya tentang penanggulangan kemiskinan dunia tertuang dalam buku terbarunya The End of Poverty : Economic Possibilities for Our Time. Sebagai ekonom, gaya berpikirnya tidak konvensional (heterodox). Penasihat khusus Sekjen PBB Kofi Annan ini bertanggung jawab atas program penanggulangan kemiskinan dunia yang tertuang dalam Millennium Development Goals (MDGs).

Presiden Yudhoyono mengusulkan kepada Kofi Annan untuk mengajak serta Jeffrey D Sachs menghadiri Konferensi Asia-Afrika. Dan secara khusus Presiden ingin mendengarkan gagasan-gagasannya dalam rangka mengatasi kemiskinan di Indonesia. Tentu saja, gagasannya mengenai penanggulangan kemiskinan (dan korupsi) sangat relevan dengan kehidupan kita dewasa ini.

Kita sedih dan gembira mendengar penangkapan Mulyana W Kusumah dalam rangka pengungkapan korupsi di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sedih karena bahkan orang-orang yang kita kira akan mendorong perubahan ke arah yang lebih baik akhirnya terjebak pula dalam lumpur korupsi. Gembira karena sudah mulai terasa usaha untuk memerangi korupsi dengan cara tidak biasa. Kita terus menunggu langkah-langkah "tidak biasa" lainnya untuk memecahkan masalah korupsi dan kemiskinan yang sudah kian merajalela ini.

Korupsi telah membuat kualitas kelembagaan ekonomi kita menjadi demikian buruknya. Untuk kesekian kalinya, Country Director Bank Dunia Andrew Steer mengingatkan iklim investasi di Indonesia masih terhambat masalah korupsi dan birokrasi yang rumit. Misalnya, guna menembus kebijakan birokrasi di Indonesia dibutuhkan biaya melampaui 20 persen total penjualan. Sementara untuk memulai bisnis di Jakarta dibutuhkan waktu penyiapan administrasi tak kurang dari 150 hari.

Akibatnya, satu per satu industri pergi meninggalkan ladang investasi di negeri ini sehingga angka pengangguran pun semakin sulit diatasi. Beban pemerintah memerangi kemiskinan dan pengangguran teramat berat. Dari target pertumbuhan ekonomi sebesar 6,1 persen di tahun 2005, masih tersisa tak kurang dari 8,9 persen angka pengangguran.

Padahal, sebagaimana ditekankan oleh Prof Mubyarto, pengangguran sama sekali tidak mereprentasikan kemiskinan. Jika pengangguran didefinisikan sebagai orang yang tidak mampu memiliki pekerjaan secara formal, banyak orang yang bahkan tidak bisa masuk dalam kategori penganggur karena hidupnya berada di sektor informal. Di tahun 2005 diperkirakan jumlah penduduk yang taraf hidupnya di bawah garis kemiskinan, menurut ukuran Bank Dunia (2 dollar AS/hari), masih sebesar 49,5 persen.

Dalam rumus ekonomi, satu-satunya cara menanggulangi pengangguran (dan kemiskinan) adalah dengan menaikkan pertumbuhan ekonomi. Padahal, anggaran pemerintah (APBN) sudah tidak mampu lagi mendorong pertumbuhan ekonomi. Sementara sektor swasta masih belum bergerak maksimal. Usaha pemerintah mendorong pembangunan infrastruktur, yang diharapkan mampu mendorong bergeraknya sektor swasta, masih mengalami kendala pendanaan.

Untuk menopang tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, Bank Dunia mengusulkan diversifikasi sektor finansial dengan menekankan peran lembaga keuangan bukan bank, seperti asuransi, dana pensiun, dan reksa dana. Namun, untuk mewujudkannya diperlukan sebuah lembaga pasar modal yang kuat sehingga tidak justru menambah risiko terjadinya kerawanan keuangan (financial fragility) di masa depan.

Tanpa penguatan kelembagaan, segala macam target dan perhitungan kuantitatif ekonomi hanya akan mengantar kita pada siklus naik turunnya dinamika ekonomi (boom-bust cycle) yang sangat mungkin berakhir pada krisis ekonomi.

Institusi dan organisasi

Pendekatan institusional dalam ekonomi, salah satunya dipelopori oleh Douglass C North dalam bukunya Institutions, Institutional Change and Economic Performance (Cambridge University Press). Dia membedakan institusi, organisasi, dan aktor ekonomi dalam membahas perubahan kelembagaan dalam ekonomi. Institusi merupakan konteks (landasan) di mana organisasi bekerja: dia menyangkut aturan yang tampak (hukum) dan yang mengakar (norma).

Dalam organisasi para aktor berinteraksi dengan dibatasi oleh aturan hukum dan norma. Interaksi ketiganya (institusi, organisasi, dan aktor ekonomi) akan menentukan kualitas kinerja ekonomi.

Konkretnya, memenuhi target pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak bisa hanya dengan mengutak-atik indikator makro-ekonomi. Selain harus merancang aturan formal yang memadai, kebijakan pemerintah juga harus memengaruhi tindakan para aktor ekonomi. Korupsi yang masih terus terjadi merupakan bukti, kebijakan pemerintah masih berhenti pada formalitas aturan dan belum sampai memengaruhi tindakan para aktor ekonomi. Hukuman berat bagi para koruptor, termasuk para menteri yang terlibat korupsi, akan membantu mendisiplinkan perilaku para aktor ekonomi.

Tanpa perbaikan kualitas institusi ekonomi, mustahil kemiskinan bisa ditanggulangi. Untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi pemberantasan korupsi harus digalakkan. Sebagaimana dikatakan Jeffrey D Sachs, kemiskinan yang dahsyat bisa kita atasi dalam generasi kita, asal ditangani dengan cara tidak biasa. Soal korupsi, jangan berdalih untuk menghilangkankannya dibutuhkan beberapa generasi. Korupsi bisa diberantas di generasi kita asalkan menggunakan metode nonkonservatif (heterodox).

Tidak ada tawar-menawar lagi: untuk menyelesaikan kemiskinan, korupsi harus ditekan. Dengan demikian, akan tercipta kerangka kelembagaan yang memadai untuk menopang kinerja ekonomi dengan kualitas tinggi.

Kualitas kelembagaan secara nasional akan memengaruhi kualitas kelembagaan unit-unit organisasi secara individual. Tata kelola korporasi (corporate governance) tidak pernah tercapai tanpa ada sistem tata kelola secara nasional (national governance). Baru-baru ini usaha pencairan dana sebesar Rp 1,017 triliun oleh PT Timor Putra Nasional dari Bank Mandiri bisa dibatalkan dengan koordinasi antara Kementerian BUMN, Menteri Keuangan, dan Kejaksaan Agung. Tanpa ada pejabat publik yang bisa dipercaya, mustahil tata kelola korporasi akan tercapai meskipun di setiap unit organisasi sudah ada dewan komisaris yang galak sekalipun.

Keinginan kita sangat sederhana: bisa menjalani kehidupan keseharian kita dengan aman dan sentosa. Masalahnya, cita- cita sederhana ini tidak mungkin tercapai di tengah tingkat kemiskinan yang telah mendongkrak tingkat kriminalitas hingga begitu merajalela. Banyak pula pelaku kejahatan yang terpaksa melakukan kriminalitas hanya karena mempertahankan kebutuhan hidupnya yang paling dasar.

Semoga, hadirnya ekonom Sjahrir sebagai penasihat ekonomi Presiden mampu membawa wacana kelembagaan menjadi lebih nyata dalam kebijakan ekonomi pemerintah kita.

A Prasetyantoko Mahasiswa Doktoral Departemen Ekonomi Ecole Normale Supérieure (ENS) de Lyon, Perancis

Perangkap Neoliberal

KOMPAS, Senin, 28 Maret 2005

BAGI ahli sejarah setiap kejadian adalah unik. Sebaliknya, minat para ekonom menemukan kejadian-kejadian yang berulang dalam sejarah. Sejarah bersifat partikular dan ekonomi bersifat general. Begitu kata Charles Kindelberger (1978).

Para ekonom tengah memperdebatkan hasil penelitian Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM-UI) tentang dampak pengurangan subsidi bahan bakar minyak/BBM (baca: kenaikan harga BBM) terhadap angka kemiskinan. Kisahnya agak lain dari sekadar perdebatan akademis di kampus.

Kali ini, secara terbuka angka-angka temuan penelitian dipampang untuk meyakinkan orang akan sebuah kebijakan. Dengan angka-angka itu pula sekelompok intelektual merasa memiliki legitimasi moral untuk merekomendasi sebuah kebijakan kepada pemerintah melalui sebuah iklan. Yang terpenting, angka-angka hasil penelitian tersebut telah menjadi referensi penting dari kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak.

Tim LPEM-UI meyakini pencabutan subsidi BBM yang disertai dengan pemberian kompensasi subsidi (pangan, pendidikan, dan kesehatan) akan berdampak pada penurunan angka kemiskinan. Sementara itu, sama-sama menggunakan model computable general equilibrium (CGE), Rina Oktaviani dari Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor (FEM-IPB) memiliki hasil perhitungan yang berbeda. Kompensasi subsidi hanya akan mendongkrak daya beli masyarakat sebesar 0,6 persen, sementara dampak pencabutan subsidi BBM akan mendorong inflasi sebesar 2,80-3,02 persen (Kompas, 14/3).

Tim Indonesia Bangkit mempersoalkan legitimasi penelitian LPEM-UI. Terlepas dari masalah metodologis yang tengah diperdebatkan itu, tampaknya ada pula persoalan epistemologis di dalamnya. Selain dari sudut pandang metodologis, sebuah penelitian umumnya dikaji dari sudut pandang perumusan konsep yang berhubungan dengan sebuah kriteria "kebenaran" tertentu (relatif). Karena pada prinsipnya, sebuah metode (model) bisa diatur untuk melayani (menggugat atau menguatkan) sebuah konsep kebenaran tertentu.

Neoliberal

Daoed Joesoef (Kompas, 16/3) membuat analogi pernyataan Menteri Koordinator Perekonomian tentang ketidakmampuan rakyat membeli elpiji dengan kata-kata sinis Ratu Marie Antoinette (istri Raja Louis XVI) di hadapan rakyat Paris yang lapar. Kita tahu, Antoinette-putri Raja Francois I dari Austria-harus menemui ajal secara mengenaskan di papan guillotine. Dia berada di dalam sistem kekuasaan yang diidamkannya pada saat yang tidak tepat. Rakyat sedang kelaparan, negara sedang dilanda krisis keuangan yang parah, sementara warga Paris tengah marah pada simbol kekuasaan yang mewah.

Di mata sejarah setiap kejadian penting dan kita bisa banyak belajar darinya. Kisah tragis Ratu Antoinette bisa bertutur banyak atas kejadian aktual di masa sekarang ini. Sayangnya, para ekonom hanya peduli pada kejadian yang berulang karena di sana bisa ditemukan model guna memprediksi masa depan.

Di mata ekonom krisis tak lebih dari sekadar kejadian yang berulang, bisa terjadi kapan saja dan di mana saja. Studi Tornell & Westernmann (2004) menunjukkan, krisis yang melanda negara sedang berkembang merupakan efek samping (by product) dari liberalisasi sektor finansial. Meskipun ada risiko krisis, liberalisasi sektor finansial tetap diperlukan bagi perekonomian karena dia mendorong pertumbuhan.

Di negeri kita sebagian besar ekonom juga meyakini krisis disebabkan oleh tidak bekerjanya sistem pasar dengan baik. Jadi, solusinya: deregulasi, liberalisasi, dan privatisasi (Washington Concensus). Sama halnya dengan Dana Moneter Internasional (IMF) yang datang dengan rumus yang klasik: krisis harus diakhiri dengan cara menaikkan suku bunga, menurunkan defisit serta melakukan gerak stabilisasi dan privatisasi.

Dalam logika ini setiap kegagalan liberalisasi hanya bisa dipecahkan dengan kebijakan liberalisasi yang lebih maju. Sejarah pun terus berulang; liberalisasi terus-menerus dijalankan sebagai proyek berkesinambungan. Dalam kasus pencabutan subsidi BBM tampaknya kita terperangkap dengan logika ala neoliberal ini. Masalahnya, pencabutan subsidi BBM terkait langsung dengan masalah "rakyat yang lapar" dan kali ini proyek liberalisasi justru menyeret kita pada masalah politik dan sosial yang kompleks.

Bernard Walleser (2000), dosen di EHESS-Paris, dalam bukunya L’économie Cognitive mengkritik pendekatan ekonomi atas dua ketimpangan utama; rasionalitas individual dan keseimbangan kolektif. Pendekatan utama (mainstream) ilmu ekonomi terlalu meyakini, secara individu manusia memiliki rasionalitas yang sempurna dan akibatnya, secara kolektif akan selalu terjadi keseimbangan umum (general equilibrium).

Pada dasarnya, rasionalitas manusia bersifat terbatas (bounded rationality). Karena itu, keseimbangan kolektif akan terjadi secara evolutif dan tidak tunggal (multiple equilibria). Aktor ekonomi, bukan semata pencari kepuasan maksimal (homo economicus), tetapi juga pemikir (homo cogitans) dan juga pembelajar (homo adaptans). Kelemahan epistemologis inilah yang membuat pendekatan ekonomi terkadang cedera karena terlalu meyakini rasionalitas, informasi, dan mekanisme pasar yang dianggap selalu berjalan dengan sempurna, sementara faktor-faktor kelembagaan sering dilalaikan begitu saja.

Kelembagaan

Kalkulasi dampak pencabutan subsidi oleh LPEM-UI sama halnya dengan kebijakan menaikkan harga BBM itu sendiri, terlalu berorientasi pada tujuan akhirnya dalam jangka panjang dan mengabaikan realitas jangka pendeknya. Dalam logika ilmu pengetahuan, gejala ini dinamai gejala teleologis.

Mungkin benar bahwa tujuan akhir pencabutan subsidi BBM tak mungkin dielakkan lagi. Tapi mungkin juga tidak tepat melakukannya sekarang. Ibarat seorang dokter harus mengoperasi kanker dalam situasi pasien yang tidak sehat. Persoalannya bukan tindakan melakukan operasi itu sendiri, tetapi pilihan momentumnya. Argumen pemerintah, penundaan pencabutan berarti potensi kerugian negara karena harus terus memberi subsidi, justru menyulut kemarahan rakyat. Etiskah jika memberi subsidi kepada rakyat yang hidupnya sudah berat dianggap beban, sementara penjaminan perbankan dianggap sebagai biaya krisis?

Dan lagi, di antara jajaran kabinet ada pengusaha yang dulunya masuk dalam daftar 200 debitur terbesar di bawah kendali Aset Manajemen Kredit Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Dengan kata lain, mereka juga turut menikmati fasilitas penjaminan pemerintah meski tidak langsung. Dalam daftar panjang debitur tersebut terdapat nama-nama perusahaan, seperti Bakrie & Brothers PT (manufaktur), Bakrie International Finance (industri jasa), Bakrie Investindo PT (industri jasa), dan Bakrie Nirwana Resort PT (hotel/restoran).

Pantas saja, keraguan atas kredibilitas kebijakan publik dari pemerintah begitu kuat terasa di kalangan rakyat. Tim Indonesia Bangkit secara tegas merekomendasikan pengganti- an menteri, sebelum kredibilitas menggerogoti posisi presiden sendiri. Bisa jadi, rekomendasi ini memiliki agenda politis. Meskipun begitu, masyarakat luas merasakan urgensinya.

Faktor kelembagaan luput dalam kalkulasi para penganjur pencabutan subsidi BBM. Pencabutan subsidi dilakukan dalam situasi penuh korupsi yang tampak belum meyakinkan diatasi sehingga membuka luka lama di kalangan mahasiswa. Selain itu, kenaikan harga BBM telah menjadi momentum bagi terbukanya tarik-menarik kepentingan di parlemen. Karena itu, perdebatan menjadi sangat panjang dan melelahkan. Sudah pasti realitas seperti ini tidak akan teradopsi dalam sebuah model ekonomi secanggih apa pun.

Mungkin benar, para ekonom perlu banyak belajar dari ahli sejarah agar kisah tragis di akhir kehidupan Antoinette tak perlu menjadi model yang terulang kembali.


A Prasetyantoko Mahasiswa Doktoral Departemen Ekonomi, Ecole Normale Supérieure (ENS) de Lyon, Perancis

Fakta di Balik Angka

KOMPAS, Kamis, 10 Maret 2005

CLIVE WJ Granger, ahli ekonometri pemenang Hadiah Nobel Ekonomi 2003, berkata, "Purpose of economics is to help decision makers make better decision." Memang tugas ilmu ekonomi membantu pengambilan keputusan (kebijakan), baik di tingkat individu, kelompok (perusahaan), maupun negara.

Dampak keputusan pencabutan subsidi bahan bakar minyak (BBM) masih mendera kita. Para ekonom yang mendorong keputusan itu berargumen dengan sederet angka. Pemerintah harus memberi subsidi BBM sekitar Rp 200 miliar per hari, setara dengan Rp 72 triliun per tahun. Logikanya, pengalihan subsidi kepada rakyat miskin "otomatis" akan menurunkan jumlah kemiskinan. Sesederhana itukah?

Seorang ekonom berujar, "Saya membayangkan harga BBM naik, tetapi sekolah gratis... dan jumlah kemiskinan berkurang". Gaya berpikir lugas khas ekonom. Jika ditilik dari rekaman angka hasil simulasi, tidak ditemukan fakta, pengalihan subsidi akan berdampak negatif. Namun, harus diingat, fakta itu disodorkan oleh rentetan angka yang tidak berjiwa. Dia sudah mengalami penyederhanaan sehingga bisa mereduksi fakta.

Meski demikian, harus diakui angka adalah peta. Jika tidak berdasar angka, bisa jadi pengambilan keputusan kian salah arah. Hanya saja, angka harus ditempatkan sebagai data yang memberi makna atas suatu fakta.

Soal BBM

Para penganjur pencabutan subsidi, khususnya yang diorganisasi Freedom Institute, sepertinya benar. Subsidi kita salah arah, dinikmati kalangan menengah-atas. Namun, bukan berarti pencabutan subsidi tidak akan menekan kelas bawah. Tidak bisa dikatakan pencabutan subsidi akan menurunkan jumlah orang miskin. Bisa jadi keduanya menjadi realitas yang berbeda.

Benar, pemerintah berjanji mengalihkan subsidi BBM untuk bantuan beras miskin, pendidikan, dan kesehatan. Sebesar Rp 3,3 triliun dianggarkan untuk pembangunan fasilitas infrastruktur di 11.000 desa miskin yang tersebar di 419 kabupaten. Selain itu, dana kompensasi akan disalurkan melalui skema pemberian beras miskin kepada 8,6 juta. Di bidang kesehatan, pemerintah mematok target 36,1 juta jiwa akan menerima jatah dari dana kompensasi BBM. Di bidang pendidikan, 9,6 juta siswa (SD, SMP, dan SMA) akan menerima beasiswa.

Angka itu memberi fakta, banyak orang miskin yang akan diringankan hidupnya melalui pencabutan subsidi BBM. Tetapi terlalu dini mengatakan kenaikan BBM akan mengurangi jumlah orang miskin. Belum lagi dana kompensasi tiba, derita telah lebih dulu ada. Ongkos angkutan kota naik, PLN pun meminta tarif dasar listrik (TDL) juga naik.

Atas fakta ini, para ekonom akan berseru, "mana buktinya kenaikan BBM mendorong kenaikan harga?" Lihat angka statistik inflasi. Studi Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM-UI) menunjukkan, kenaikan rata-rata 30 persen harga BBM akan berdampak pada peningkatan laju inflasi sebesar "hanya" 0,7 hingga 1,2 persen. Dengan hasil sedikit beda, Bank Dunia menemukan kenaikan harga BBM 20-30 persen hanya akan meningkatkan inflasi sebesar 1-2 persen.

Secara makro, pengaruh kenaikan BBM tidak signifikan. Salah satu indikasi penting, para penanam modal portofolio (domestik dan asing) tetap membubuhkan optimisme pada masa depan perusahaan-perusahaan publik di Indonesia. Kalaupun kenaikan BBM akan mendongkrak biaya operasi, tingkat keuntungan perusahaan diperkirakan masih tetap tinggi sehingga saham-saham masih terus diminati. Pascakenaikan harga BBM, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Jakarta (BEJ) masih terus bertengger di atas 1.100 poin (angka tertinggi dalam sejarah BEJ).

Sampai di sini seluruh logika yang disusun dengan serentetan angka tidak perlu diragukan kebenarannya. Sehingga, para pendukung (khususnya Freedom Institute) kenaikan harga BBM layak optimistis dengan sikapnya.

Pelembagaan

Persoalan pelik dan problematis akan muncul pada proses pelembagaan kebijakan. Ada sebuah konteks sosial-politik serta pranata-pranata tipikal dalam sistem ekonomi kita yang menentukan berhasil tidaknya sebuah kebijakan. Apa pun alasannya, proses politik di parlemen telah menimbulkan biaya. Belum lagi serentetan demonstrasi, baik mahasiswa, sopir angkot, maupun kelompok lain dalam masyarakat. Biaya kesempatan yang hilang (opportunity cost) dengan terjadinya mogok secara nasional maupun lokal, misalnya, tidak pernah bisa disajikan dalam angka, apalagi nilai nominalnya.

Douglass C North penerima Hadiah Nobel Ekonomi 1993 mengingatkan, sebaiknya ekonom tak hanya peduli dengan bekerjanya keseimbangan (mekanisme) pasar saja, tetapi juga melihat mekanisme pasar dari waktu ke waktu (evolutionary approach). Dia penggagas "ekonomi institusi" versi baru (new institutionalism) yang menekankan konteks dari sebuah mekanisme pasar.

Belajar dari gagasan ini, kenaikan harga BBM juga perlu diletakkan dalam konteksnya. Di Bengkulu, misalnya, begitu ada tanda-tanda kenaikan harga BBM, harga eceran minyak tanah langsung melonjak hingga Rp 1.500 per liter. Padahal, harga eceran tertinggi (HET) sesuai dengan Surat Keputusan (SK) Gubernur Rp 900 per liter. Di tempat lain, fenomena yang sama tak sulit ditemukan. Sopir angkutan yang menaikkan tarif jauh di atas peraturan pemerintah, pedagang yang menaikkan harga kebutuhan pokok secara tidak proporsional, dan sebagainya.

Institusi ekonomi kita masih diwarnai gejala pasar gelam yang tidak terekam dalam perhitungan angka statistik (underground economy). Sehingga, sulit memercayai angka-angka sebagai satu-satunya kebenaran. Senada dengan itu, kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Choiril Maksum mengingatkan, meski kenaikan harga BBM hanya akan berdampak langsung terhadap peningkatan inflasi antara 0,37 persen hingga 1,3 persen, namun dampak psikologisnya bisa dua kali lipat.

Terkait pelembagaan dari kebijakan pencabutan subsidi, the Economist (edisi 3/3/2005) mengingatkan, di tubuh pemerintahan ada persoalan internal yang pelik: "the economics team is an unconfortable mix of technocrats and politically-connected businessmen". Mungkin saja, pencabutan subsidi justru akan menunjukkan kepada publik, keputusan kabinet tidak bias pada kepentingan pengusaha. Namun, begitu adanya, kenaikan harga BBM tidak berpenaruh pada kelompok menengah-atas. Sementara dampaknya bagi masyarakat miskin, masih diperdebatkan.

Dilema terbesar ilmu ekonomi terletak pada tujuannya, membantu pengambilan keputusan (kebijakan). Dalam hal kenaikan harga BBM ini, kita belum tahu, apakah kebijakan yang diusulkan dengan berasumsi dari perhitungan angka akan bisa bekerja. Karena fakta di balik angka, cukup rumit dipahami. Salah satu agenda para pengkritik kebijakan pencabutan subsidi, tidak diselesaikannya masalah korupsi. Korupsi menjadi salah satu masalah penting dalam sistem kelembagaan kita. Meski dia bukan satu-satunya.

Kita tunggu janji para penganjur kenaikan harga BBM untuk turut mendorong perbaikan institusi ekonomi, termasuk di antaranya pemberantasan korupsi.

A Prasetyantoko Mahasiswa Doktoral Departemen Ekonomi, Ecole Normale Supérieure (ENS) de Lyon, Perancis

Tragedi Hidup Berbangsa

KOMPAS, 18 Februari 2005

NEGERI yang dihuni ratusan juta penduduk ini selalu dihantui oleh dilema. Krisis dan tragedi tak henti terjadi. Kali ini, pasca-100 hari pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, ketegangan terjadi perihal kinerja para menteri. Mengenai tim ekonomi, ada dilema antara orientasi kebijakan propasar dan prorakyat. Itu cerita lama.

Persoalannya bukan sekadar pro atau kontra terhadap kebijakan pemerintah. Bukan pula sekadar kesan masyarakat atau kesan lembaga pemeringkat tentang kinerja pemerintahan ini sehingga yang tersisa bukan semata bagaimana mengelola harapan dan kekecewaan masyarakat. Lebih dari itu, jika dilema-dilema yang sedang melanda pemerintah saat ini tidak teratasi, tragedi akan menimpa hidup bersama kita (tragedy of the commons).

Garrett Hardin, ahli biologi, di Jurnal Science (1968) menulis sebuah metafora: pada sebuah ladang milik bersama (commons), warga senantiasa leluasa merumput demi menopang kehidupan mereka. Karena tak dipungut biaya, warga saling berebut mengambil dan menumpuk di rumahnya. Hingga suatu saat, di ladang tak ada lagi rumput, sementara tumpukan di gudang mulai membusuk. Sejak saat itu, sirnalah masa depan warga.

Ilmu ekonomi klasik mengusulkan sistem kepemilikan (property rights) sebagai cara untuk merawat "ladang bersama" (lihat misalnya: Principles of Microeconomics, John B Taylor). Dengan sistem kepemilikan yang jelas, hanya "sang pemilik" yang berhak memanfaatkan sumber daya. Dalam sistem kepemilikan pribadi, konflik kepentingan terjadi antar-individu dalam menguasai dan memanfaatkan sumber daya yang terbatas. Pemecahannya? Melalui simulasi game-theory benturan kepentingan atas pilihan-pilihan para individu yang mengandung dilema (prisoner’s dilemma) bisa dipecahkan dengan cara bekerja sama.

Memang teori tak lebih dari metafora. Penyederhanaannya yang luar biasa telah membuatnya menjadi karikatural belaka. Meski begitu, dia bisa mengantar kita pada refleksi atas realitas. Apa makna bagi persoalan kita di hari-hari ini? Kita sudah terlalu lama berada dalam dilema-dilema. Begitu kita salah mengatasinya, tragedi akan menimpa kita.

Dilema

Pada saat kabinet disusun, sudah terasa adanya dilema. Perihal tim ekonomi, presiden memilih orang-orang yang dianggap "ramah terhadap pasar" dan bisa bekerja sama dengan institusi/pihak internasional, seperti Dana Moneter Internasional (IMF). Dampak dari dilema tersebut hingga kini masih terasa.

Dalam hal pilihan kebijakan, pemerintah menghadapi dilema pencabutan subsidi. Tidak ada pilihan lain, subsidi harus dicabut. Sebab, pemerintah menghadapi dilema lain yang tak kalah pelik, yaitu anggaran yang terbatas. Dalam pencabutan subsidi, pemerintah tampak ragu mengambil keputusan. Gubernur Bank Indonesia sempat mengingatkan, ketidakpastian pencabutan subsidi akan berdampak pada inflasi. Keraguan yang lain muncul dalam diplomasi mengenai penundaan pembayaran utang (moratorium) yang hingga kini tidak begitu jelas: kadang menyatakan perlu, kadang tidak.

Rupanya, dilema-dilema dalam kebijakan pemerintah tersebut bukanlah sekadar persoalan teknis. Publik mendakwa ada perpecahan paradigma dan kepentingan di tubuh pemerintahan. Dan dari semua itu, sebenarnya, presiden sedang menghadapi dilema yang cukup besar, yaitu perombakan kabinet.

Penentu sejarah

Sejarah selalu ditulis oleh sang pemenang, begitu kata Jawaharlal Nehru. Begitu pun Jeffrey D Sachs (Harvard University) mengakui, sejarah tentang krisis ditulis oleh negara donor. Demikian pula sejarah bangsa ini akan ditentukan oleh para pemimpin. Keputusan mengenai utang luar negeri, moratorium, pencabutan subsidi, pengentasan kemiskinan, semuanya akan menjadi bagian penting sejarah bangsa ini ke depan.

Di sinilah letak krusial masalahnya. Betapa pemerintah menghadapi tugas yang sangat berat, sementara di sisi lain membiarkan diri terseret dalam dilema yang makin parah. Pada saat tertimpa krisis pertama kali, para penguasa menyerukan, ini adalah dering jam peringatan untuk segera bangun dan berbenah diri. Dan, pesan yang sama selalu dilantunkan setiap pergantian presiden.

Mengapa negara lain (Thailand, Korea, Filipina, Malaysia) sudah berangsur-angsur pulih, kita masih saja terpuruk? Mengapa Thailand bisa menyatakan menolak moratorium sejak awal dan kita tidak? Seperti biasa, kita mendapatkan penjelasan yang rumit mengenai hal ini. Misalnya, karena krisis perbankan terjadi sangat parah, sistem penjaminan sangat membebani, proses restrukturisasi berbelit-belit, dan sebagainya, dan sebagainya. Kita terus-menerus dibelit oleh dilema-dilema itu.

Krisis telah membuat kita kehilangan segalanya. Aaron Tornell dan Andreas Valesco dalam the Journal of Political Economy (Th 1992/Vol.100/No.6) mengutip metafora Hardin: di negara miskin, sistem kepemilikan tidak dilindungi dengan baik sehingga ketika terjadi guncangan, modal cepat berlari menuju negara maju. Setelah itu, rakyat di negara miskin akan mengalami tragedy of the commons.

Ladang kita memang begitu rapuh, dan badai krisis telah menyapu rumput serta membawanya pergi. Kini, kita kehilangan sebagian dari masa depan kita bersama.

Berharap

Untuk kesekian kalinya, kita mencoba berharap dengan janji penguasa. Pemerintah menyatakan krisis sudah usai, kini tinggal mengelola harapan saja. Benarkah? Benar bahwa kita sudah tidak dilanda krisis. Tetapi, bukan berarti kita sudah pulih. Tingkat penanaman modal asing (PMA) mengalami penurunan dari 5,4 miliar dollar AS pada tahun 2003 menjadi 4,6 miliar dollar AS pada tahun 2004. Ini salah satu indikator jangka panjang.

Penanaman modal asing langsung lebih kita butuhkan karena lebih tahan terhadap guncangan krisis. Dengan penelitian jangka panjang dan dengan sampel dari banyak negara, Aaron Tornell dan Frank Watermann (2003) membuktikan asumsi tersebut. Mereka memilah dua sektor dalam perekonomian, yaitu sektor yang bisa diperdagangkan (tradable sector/T) dan tidak bisa (nontradable sector/N). Sebelum terjadinya liberalisasi sektor finansial, sektor-T (manufaktur, barang ekspor, dan sebagainya) relatif mudah mendatangkan aliran modal masuk dari pasar uang internasional, sementara sektor-N (jasa, perbankan, asuransi, dan sebagainya) relatif sulit.

Pascaliberalisasi finansial, sektor-N kebanjiran aliran modal. Akibatnya, sektor-N tumbuh sangat pesat dan kemudian membuka risiko terjadinya krisis, mengikuti siklus naik turunnya (boom-bust cycle) aliran modal. Pendeknya, aliran modal ke sektor-sektor jasa (tidak bisa diperdagangkan) lebih berisiko terhadap krisis (crisis prone), ketimbang aliran modal menuju sektor-sektor produksi (bisa diperdagangkan).

Selain itu, kedalaman krisis juga ditentukan oleh baik buruknya kualitas kelembagaan suatu negara, seperti jaminan hukum bagi investor dalam jaminan bagi pengembalian kredit. Sebuah pendapat yang khas dalam sistem kepemilikan pribadi. Semakin lama sebuah negara bangkit dari krisis, bisa berarti kualitas kelembagaannya lebih parah.

Membangun harapan memang bukan pekerjaan jangka pendek. Meski begitu, pekerjaan ini tidak bisa dilakukan dengan terus membiarkan diri dililit oleh dilema. Jadi, sekarang ini yang dibutuhkan bukanlah sekadar mengelola harapan. Melainkan melepaskan diri dari dilema-dilema yang membelit dengan keputusan-keputusan (discretions) yang bisa dipertanggungjawabkan, termasuk misalnya merombak kabinet.

Jangan lupa, tugas terpenting pemerintah adalah merawat hidup bersama agar tidak terjadi tragedi. Dan, tentang tragedi ini, Whitehead, seperti dikutip Hardin, mengatakan: the essence of dramatic tragedy is no unhappiness. It resides in the solemnity of the remorseless working of thing.

A Prasetyantoko Mahasiswa Doktoral di Departemen Ekonomi, Ecole Normale Supérieure (ENS) de Lyon, Perancis

Prinsip Kesetaraan

KOMPAS, Selasa, 25 Januari 2005

TERKAIT dengan persetujuan penundaan pembayaran utang (debt-relief) oleh Paris Club (12/1), salah satu isu yang mengemuka adalah penerapan prinsip kesetaraan (comparability) pinjaman pemerintah dengan utang swasta. Inilah salah satu pokok keprihatinan pemerintah.

Dalam KTT tsunami di Jakarta (6/1), yang dihadiri 25 kepala negara dan para menteri serta sembilan petinggi organisasi regional/internasional (seperti Bank Dunia, Perserikatan Bangsa-Bangsa/ PBB, dan ADB), disepakati berbagai paket bantuan (hibah dan pinjaman) dengan alasan kemanusiaan. Namun, dalam Paris Club (konsorsium 21 negara kreditor), penangguhan pembayaran 3 miliar dollar AS utang Pemerintah Indonesia yang jatuh tempo pada tahun ini mensyaratkan kesetaraan dengan utang swasta. Adakah kontradiksi di sana?

Sebenarnya, prinsip kesetaraan menjawab kerisauan beberapa ekonom dan pejabat teras soal moratorium. Mereka khawatir penundaan pembayaran utang akan menurunkan peringkat utang Indonesia sehingga kredibilitas Indonesia di mata investor dan pemerintah asing akan menurun. Jika peringkat utang turun, pemerintah akan kesulitan meminta komitmen pinjaman baru, sementara pasar finansial bisa bereaksi negatif dan brutal. Menteri Ekonomi Jerman Wolfgang Clement dan Menteri Keuangan Jerman Hans Eiclel mengatakan, prinsip kesetaraan dengan utang swasta ditempuh agar moratorium tidak menurunkan peringkat utang Indonesia. Jadi, siapa yang tidak konsisten?

Kalau para pejabat konsisten dengan keprihatinannya, mereka seharusnya menerima prinsip kesetaraan tersebut. Kita mau moratorium, tetapi tidak ingin peringkat utang melorot. Kita sangat peduli dengan "penilaian pasar", tetapi kita menolak prinsip-prinsip pasar.

Logika pasar

Sudah sejak semula, terkait dengan komitmen bantuan sebesar 3 miliar dollar AS dari peserta KTT tsunami di Jakarta, Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan mengingatkan adanya gejala adu kecantikan (beauty contest). Uni Eropa memberi komitmen pinjaman dan hibah sebesar 1,5 miliar euro (2 miliar dollar AS), sementara Jepang 500 juta dollar AS, Inggris 180 juta dollar AS, dan Singapura 10 juta dollar AS. Kita seperti dibuai oleh janji para pemimpin negara maju.

Begitu bertemu dalam forum Paris Club, suasananya menjadi berbeda. Bersama Sri Lanka dan Seychelles, Indonesia mendapat persetujuan penjadwalan utang (moratorium) sebesar 3 miliar dollar AS yang jatuh tempo pada tahun 2005 ini. Sebagaimana ditegaskan oleh Presiden Paris Club Jean-Pierre Joyuet, moratorium mencakup total utang senilai 270 miliar dollar AS. Dia menambahkan, penangguhan tersebut diberikan tanpa syarat apa pun.

Terhadap tawaran tersebut, Thailand dan India menyatakan menolak. Sementara Indonesia menerima tawaran tersebut dan sekarang berupaya keras menagih janji para kreditor yang katanya "dermawan" itu. Dan kali ini, kita harus berhadapan dengan "logika pasar" sebagai latar belakang dari seluruh keputusan terebut.

Prinsip kesetaraan diberlakukan dengan maksud agar penangguhan pinjaman tidak diselewengkan untuk keperluan yang lain. Negara yang pernah memperoleh moratorium adalah Irak. Selain memiliki utang kepada negara-negara yang tergabung dalam Paris Club, Irak juga memiliki utang terhadap Arab Saudi dan pihak-pihak swasta lain. Prinsip kesetaraan diterapkan agar penangguhan utang dari Paris Club tidak digunakan Irak untuk membayar utang mereka terhadap Arab Saudi atau kreditor swasta lainnya.

Dalam kasus Irak, JP Morgan (salah satu lembaga pemeringkat utang) menyatakan, "..., non-Paris Club officials creditors will provide a similar level of debt relief."Artinya, ada kesetaraan antara skema penundaan utang yang diberikan oleh Paris Club dan pihak lain. Hanya dengan cara ini, kredibilitas Irak dalam sistem finansial global dapat terpelihara, demikian menurut JP Morgan.

Dalam kasus moratorium terhadap negara-negara korban gempa bumi dan tsunami, para kreditor (Paris Club) menginginkan agar penangguhan tersebut benar-benar digunakan untuk membantu para korban, bukan untuk membayar utang pada kreditor lain. Tanpa prinsip kesetaraan, manfaat yang akan didapat Indonesia akan jauh lebih kecil ketimbang biaya yang muncul akibat hilangnya reputasi di pasar finansial global.

Sementara itu, kredibilitas sangat dibutuhkan manakala pemerintah berniat menerbitkan surat utang baru (obligasi pemerintah), misalnya. Demikian para analis keuangan menggunakan logika pasar mereka.

Kredibilitas

Pasar finansial telah menjadi hukum tertinggi abad ini. Tak salah jika banyak ahli menyebut metamorfosis sistem kapitalisme telah memasuki generasi ketiga, yaitu "kapitalisme finansial". Rajan & Zingales (2003) menjelaskan, berkembangnya sistem pasar finansial global merupakan parameter semakin sempurnanya pengakuan terhadap hak milik pribadi (private property right). Hanya dalam sistem di mana hak milik pribadi diakui secara penuh, sistem finansial akan tumbuh secara pesat.

Bahkan di Amerika, di awal tahun 1970-an, pasar uang belum ada, tetapi sekarang mencapai 2 triliun dollar AS. Di kuartal keempat tahun 2001 saja, omzet (turn-over) perdagangan seluruh produk derivasi pasar uang telah mencapai 163 triliun dollar AS (setara dengan 16 kali pendapatan domestik bruto tahunan AS). Demikian juga di awal 1960-an, pasar kartu kredit nyaris belum muncul, tetapi pada akhir 2001 sudah mencapai 700 miliar dollar AS.

Sama halnya dengan perusahaan penyalur modal bagi pembukaan usaha-usaha baru (venture capital). Di tahun 2000, sudah tersalur sekitar 100 miliar dollar AS untuk membiayai 5.606 perusahaan baru. Perkembangan ini menandai semakin sempurnanya sistem kapitalisme finansial global.

Melihat konstelasi ini, institusi negara, korporasi, apalagi individu tak lagi bisa mengelak dari hukum pasar finansial global. Jadi, reputasi dalam pusaran finansial global menjadi orientasi utama setiap pilihan kebijakan. Dalam konteks ini, prasyarat kesetaraan (comparability treatment) yang diterapkan para kreditor dalam kasus moratorium utang Indonesia merupakan sesuatu yang wajar saja. Kalau tidak ingin masuk dalam logika ini, lebih baik mengambil sikap seperti Thailand dan India yang menolak moratorium.

Meski sudah menerima tawaran moratorium, ada baiknya jika pemerintah tidak tunduk begitu saja dengan berbagai prasyarat yang diminta para kreditor. Asalkan, pemerintah berani memberikan jaminan (collateral) berupa kredibilitas dalam pengelolaan pinjaman. Sayangnya, media barat telanjur memiliki keraguan terhadap Pemerintah Indonesia dalam rangka rekonstruksi Aceh.

Michael Vatikiotis (International Herald Tribune, 11/1/ 2005) ragu Pemerintah Indonesia mampu mengelola seluruh pasokan dana ke Aceh secara benar mengingat korupsi sudah merajalela di seluruh birokrasi. Sementara The Financial Times (10 dan 11/1/2005) menyangsikan integritas Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait dualisme kepemimpinan sipil- militer di Aceh. Mengingat latar belakang militer sang presiden, sedangkan Aceh pernah menjadi daerah tertutup yang menyembunyikan sejarah kekejaman militer di daerah itu.

Pendeknya, media Barat pada umumnya tidak begitu percaya akan kredibilitas Pemerintah RI dalam rangka memulihkan Aceh, termasuk di dalamnya mengenai pengelolaan bantuan (hibah/pinjaman). Dengan demikian, ketika pemerintah masuk dalam skema tawaran moratorium, mau tidak mau harus menerima prinsip kesetaraan. Kecuali, pemerintah masih akan memobilisasi kekuatan politisnya untuk menolak logika pasar tersebut.

Dalam sistem pasar finansial global ini, tidak mudah berkelit dan mengelak dari prinsip- prinsip fleksibilitas pasar. Sekali masuk dalam pusaran itu, dan mencoba mengikuti hukumnya, tak lagi bisa menghindar untuk tersedot masuk sampai ke pusat pusarannya. Hanya dengan kemauan dan kesungguhan yang didukung oleh kredibilitas yang tinggi, pemerintah bisa terlepas dari arus tersebut.

A Prasetyantoko Pengajar di Universitas Atma Jaya-Jakarta