KOMPAS

Kliping artikel Opini KOMPAS, sejak 2001

Sunday, April 16, 2006

Tragedi Hidup Berbangsa

KOMPAS, 18 Februari 2005

NEGERI yang dihuni ratusan juta penduduk ini selalu dihantui oleh dilema. Krisis dan tragedi tak henti terjadi. Kali ini, pasca-100 hari pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, ketegangan terjadi perihal kinerja para menteri. Mengenai tim ekonomi, ada dilema antara orientasi kebijakan propasar dan prorakyat. Itu cerita lama.

Persoalannya bukan sekadar pro atau kontra terhadap kebijakan pemerintah. Bukan pula sekadar kesan masyarakat atau kesan lembaga pemeringkat tentang kinerja pemerintahan ini sehingga yang tersisa bukan semata bagaimana mengelola harapan dan kekecewaan masyarakat. Lebih dari itu, jika dilema-dilema yang sedang melanda pemerintah saat ini tidak teratasi, tragedi akan menimpa hidup bersama kita (tragedy of the commons).

Garrett Hardin, ahli biologi, di Jurnal Science (1968) menulis sebuah metafora: pada sebuah ladang milik bersama (commons), warga senantiasa leluasa merumput demi menopang kehidupan mereka. Karena tak dipungut biaya, warga saling berebut mengambil dan menumpuk di rumahnya. Hingga suatu saat, di ladang tak ada lagi rumput, sementara tumpukan di gudang mulai membusuk. Sejak saat itu, sirnalah masa depan warga.

Ilmu ekonomi klasik mengusulkan sistem kepemilikan (property rights) sebagai cara untuk merawat "ladang bersama" (lihat misalnya: Principles of Microeconomics, John B Taylor). Dengan sistem kepemilikan yang jelas, hanya "sang pemilik" yang berhak memanfaatkan sumber daya. Dalam sistem kepemilikan pribadi, konflik kepentingan terjadi antar-individu dalam menguasai dan memanfaatkan sumber daya yang terbatas. Pemecahannya? Melalui simulasi game-theory benturan kepentingan atas pilihan-pilihan para individu yang mengandung dilema (prisoner’s dilemma) bisa dipecahkan dengan cara bekerja sama.

Memang teori tak lebih dari metafora. Penyederhanaannya yang luar biasa telah membuatnya menjadi karikatural belaka. Meski begitu, dia bisa mengantar kita pada refleksi atas realitas. Apa makna bagi persoalan kita di hari-hari ini? Kita sudah terlalu lama berada dalam dilema-dilema. Begitu kita salah mengatasinya, tragedi akan menimpa kita.

Dilema

Pada saat kabinet disusun, sudah terasa adanya dilema. Perihal tim ekonomi, presiden memilih orang-orang yang dianggap "ramah terhadap pasar" dan bisa bekerja sama dengan institusi/pihak internasional, seperti Dana Moneter Internasional (IMF). Dampak dari dilema tersebut hingga kini masih terasa.

Dalam hal pilihan kebijakan, pemerintah menghadapi dilema pencabutan subsidi. Tidak ada pilihan lain, subsidi harus dicabut. Sebab, pemerintah menghadapi dilema lain yang tak kalah pelik, yaitu anggaran yang terbatas. Dalam pencabutan subsidi, pemerintah tampak ragu mengambil keputusan. Gubernur Bank Indonesia sempat mengingatkan, ketidakpastian pencabutan subsidi akan berdampak pada inflasi. Keraguan yang lain muncul dalam diplomasi mengenai penundaan pembayaran utang (moratorium) yang hingga kini tidak begitu jelas: kadang menyatakan perlu, kadang tidak.

Rupanya, dilema-dilema dalam kebijakan pemerintah tersebut bukanlah sekadar persoalan teknis. Publik mendakwa ada perpecahan paradigma dan kepentingan di tubuh pemerintahan. Dan dari semua itu, sebenarnya, presiden sedang menghadapi dilema yang cukup besar, yaitu perombakan kabinet.

Penentu sejarah

Sejarah selalu ditulis oleh sang pemenang, begitu kata Jawaharlal Nehru. Begitu pun Jeffrey D Sachs (Harvard University) mengakui, sejarah tentang krisis ditulis oleh negara donor. Demikian pula sejarah bangsa ini akan ditentukan oleh para pemimpin. Keputusan mengenai utang luar negeri, moratorium, pencabutan subsidi, pengentasan kemiskinan, semuanya akan menjadi bagian penting sejarah bangsa ini ke depan.

Di sinilah letak krusial masalahnya. Betapa pemerintah menghadapi tugas yang sangat berat, sementara di sisi lain membiarkan diri terseret dalam dilema yang makin parah. Pada saat tertimpa krisis pertama kali, para penguasa menyerukan, ini adalah dering jam peringatan untuk segera bangun dan berbenah diri. Dan, pesan yang sama selalu dilantunkan setiap pergantian presiden.

Mengapa negara lain (Thailand, Korea, Filipina, Malaysia) sudah berangsur-angsur pulih, kita masih saja terpuruk? Mengapa Thailand bisa menyatakan menolak moratorium sejak awal dan kita tidak? Seperti biasa, kita mendapatkan penjelasan yang rumit mengenai hal ini. Misalnya, karena krisis perbankan terjadi sangat parah, sistem penjaminan sangat membebani, proses restrukturisasi berbelit-belit, dan sebagainya, dan sebagainya. Kita terus-menerus dibelit oleh dilema-dilema itu.

Krisis telah membuat kita kehilangan segalanya. Aaron Tornell dan Andreas Valesco dalam the Journal of Political Economy (Th 1992/Vol.100/No.6) mengutip metafora Hardin: di negara miskin, sistem kepemilikan tidak dilindungi dengan baik sehingga ketika terjadi guncangan, modal cepat berlari menuju negara maju. Setelah itu, rakyat di negara miskin akan mengalami tragedy of the commons.

Ladang kita memang begitu rapuh, dan badai krisis telah menyapu rumput serta membawanya pergi. Kini, kita kehilangan sebagian dari masa depan kita bersama.

Berharap

Untuk kesekian kalinya, kita mencoba berharap dengan janji penguasa. Pemerintah menyatakan krisis sudah usai, kini tinggal mengelola harapan saja. Benarkah? Benar bahwa kita sudah tidak dilanda krisis. Tetapi, bukan berarti kita sudah pulih. Tingkat penanaman modal asing (PMA) mengalami penurunan dari 5,4 miliar dollar AS pada tahun 2003 menjadi 4,6 miliar dollar AS pada tahun 2004. Ini salah satu indikator jangka panjang.

Penanaman modal asing langsung lebih kita butuhkan karena lebih tahan terhadap guncangan krisis. Dengan penelitian jangka panjang dan dengan sampel dari banyak negara, Aaron Tornell dan Frank Watermann (2003) membuktikan asumsi tersebut. Mereka memilah dua sektor dalam perekonomian, yaitu sektor yang bisa diperdagangkan (tradable sector/T) dan tidak bisa (nontradable sector/N). Sebelum terjadinya liberalisasi sektor finansial, sektor-T (manufaktur, barang ekspor, dan sebagainya) relatif mudah mendatangkan aliran modal masuk dari pasar uang internasional, sementara sektor-N (jasa, perbankan, asuransi, dan sebagainya) relatif sulit.

Pascaliberalisasi finansial, sektor-N kebanjiran aliran modal. Akibatnya, sektor-N tumbuh sangat pesat dan kemudian membuka risiko terjadinya krisis, mengikuti siklus naik turunnya (boom-bust cycle) aliran modal. Pendeknya, aliran modal ke sektor-sektor jasa (tidak bisa diperdagangkan) lebih berisiko terhadap krisis (crisis prone), ketimbang aliran modal menuju sektor-sektor produksi (bisa diperdagangkan).

Selain itu, kedalaman krisis juga ditentukan oleh baik buruknya kualitas kelembagaan suatu negara, seperti jaminan hukum bagi investor dalam jaminan bagi pengembalian kredit. Sebuah pendapat yang khas dalam sistem kepemilikan pribadi. Semakin lama sebuah negara bangkit dari krisis, bisa berarti kualitas kelembagaannya lebih parah.

Membangun harapan memang bukan pekerjaan jangka pendek. Meski begitu, pekerjaan ini tidak bisa dilakukan dengan terus membiarkan diri dililit oleh dilema. Jadi, sekarang ini yang dibutuhkan bukanlah sekadar mengelola harapan. Melainkan melepaskan diri dari dilema-dilema yang membelit dengan keputusan-keputusan (discretions) yang bisa dipertanggungjawabkan, termasuk misalnya merombak kabinet.

Jangan lupa, tugas terpenting pemerintah adalah merawat hidup bersama agar tidak terjadi tragedi. Dan, tentang tragedi ini, Whitehead, seperti dikutip Hardin, mengatakan: the essence of dramatic tragedy is no unhappiness. It resides in the solemnity of the remorseless working of thing.

A Prasetyantoko Mahasiswa Doktoral di Departemen Ekonomi, Ecole Normale Supérieure (ENS) de Lyon, Perancis

0 Comments:

Post a Comment

<< Home