KOMPAS

Kliping artikel Opini KOMPAS, sejak 2001

Thursday, November 01, 2007

Bayang-bayang Depresi Ekonomi

Selasa, 30 Oktober 2007

Menjelang pesta Halloween yang diperingati secara meriah, terutama di Amerika Serikat, dunia dihantui bayang-bayang depresi ekonomi global yang menakutkan. Akankah depresi ekonomi, seperti tahun 1930-an, terjadi lagi?
Ada dua kejadian yang terjadi bersamaan. Pertama, dampak krisis kredit perumahan di AS telah merembet ke berbagai sektor serta akan menyumbang ketidakpastian global. Kedua, harga minyak telah mencapai level mengerikan, 92 dollar AS per barrel. Kedua faktor itu tak mudah diisolasi karena akarnya amat kompleks.
Tentang pertanyaan apakah depresi ekonomi akan terjadi lagi, saya teringat buku klasik Hyman Minsky berjudul Can "It" happens again? Essays on instability and finance (1982). Buku ini bercerita tentang gelombang krisis yang datang silih berganti menyusul depresi ekonomi tahun 1930. Misalnya, runtuhnya industri real estate investment trust (REIT), kegagalan Penn Central dan Penn Square (krisis surat utang), lonjakan harga minyak, kenaikan inflasi dan suku bunga, serta berbagai masalah dalam sistem keuangan global lainnya.
"It" adalah depresi 1930. Minsky berargumen, hiruk-pikuk gelombang krisis selama beberapa dekade setelah depresi besar (great depression) itu sebenarnya akarnya sama, yaitu perilaku spekulasi. Minsky yang meninggal 1996, persis sebelum krisis Asia meledak, oleh para pengikutnya juga dianggap mampu menjelaskan berbagai krisis yang masih terus bermunculan hingga hari ini.
Krisis perkreditan
Apa akar krisis kredit perumahan kelas dua di AS? Majalah The Economist edisi 20-26/10/2007 menyebut krisis itu menunjukkan keberhasilan sekaligus kegagalan The Fed.
Selama dua dekade terakhir bank sentral di hampir semua negara di dunia berhasil menciptakan stabilitas dan pertumbuhan ekonomi yang baik. Salah satunya melalui politik inflasi terkendali (inflation targeting).
Menurut Teori Siklus Bisnis, saat booming ekonomi, kredit akan bergerak tak terkendali, moral hazard tumbuh, sehingga masa kemakmuran akan berbalik menjadi krisis. Menurut Minsky, akar instabilitas adalah stabilitas itu sendiri. Saat ekonomi berjalan baik, spekulasi yang berbuntut instabilitas akan terjadi.
Krisis subprime mortgage harus dibayar amat mahal. Pada Agustus, The Fed telah menurunkan suku bunga sebesar 50 basis poin. Bulan Oktober ini suku bunga diturunkan lagi 25 basis poin. Dampaknya, nilai kurs dolar AS terpuruk pada titik terendah atas euro dan defisit perdagangan juga kian sulit dibendung.
Menurut prediksi World Economic Outlook (IMF), pada tahun 2008 AS hanya akan tumbuh 1,9 persen. Tentu dampaknya akan sangat signifikan karena selama ini AS menyumbang sekitar 25 persen produksi global.
China dan India diprediksi menggantikan pelemahan peran AS. Beberapa waktu lalu, Goldman Sachs Group Inc mengeluarkan analisis yang berisi berpisahnya (decoupling) perekonomian AS terhadap perekonomian global. Brasil, Rusia, India, dan China (BRIC) dianggap mampu menggantikan peran AS itu.
Krisis kredit perumahan juga telah menyeret Merrill Lynch dalam kerugian amat besar, delapan miliar dollar AS, sehingga memaksa CEO Stanley O’Neal mengundurkan diri. Salah satu bank investasi terbesar di Jepang, Mizuho, juga terkena dampaknya.
Guna menyelamatkan gejolak itu, Menteri Keuangan AS Henry Paulson mengambil prakarsa mendirikan semacam lembaga penjaminan swasta yang disebut superfund. Lembaga ini didukung Citigroup Inc, JP Morgan Chase dan Co, dan Bank of America Corp. Sayang, langkah ini juga banyak dipertanyakan, termasuk oleh Alan Greenspan, mantan Ketua The Fed yang masih amat berpengaruh. Mekanisme "nonpasar" itu dikhawatirkan akan menutupi borok yang ada di pasar.
Krisis minyak
Menghadapi ketidakpastian ekonomi AS, banyak perusahaan besar yang mulai berpaling ke negara lain. Misalnya, konglomerat di bawah payung General Electric (GE) ke depan menargetkan perluasan pangsa pasar di luar AS sebesar 10-15 persen per tahun. "Selama China dan India masih tumbuh, kami akan survive," kata petinggi GE.
Masalahnya, jika gejolak minyak tak terhindarkan, semua negara harus merevisi pertumbuhan ekonominya. Harga minyak saat ini sudah amat tidak realistis. IMF membuat prediksi pertumbuhan ekonomi dunia dengan asumsi harga minyak 75,50 dolar AS per barrel. APBN kita, asumsinya adalah 60 dolar AS per barrel.
Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) menengarai adanya spekulasi dari para pemain besar, selain faktor peningkatan permintaan. China menambah permintaan untuk tahun 2007 ini rata-rata 400.000 barel per hari (barrel/day), sementara permintaan di negara-negara di Timur Tengah sendiri meningkat 300.000 barrel per hari. Menanggapi lonjakan harga minyak itu, 40 persen kartel penghasil minyak telah sepakat akan meningkatkan pasokan 500.000 barrel per hari.
Dilihat dari postur permintaan dan penawaran, harga dimungkinkan masih bisa naik. Faktor spekulasi yang selalu memanfaatkan ruang sempit di sela-sela mekanisme pasokan dan permintaan menjadi amat penting pengaruhnya. Apalagi, jika di ruang sempit itu diliputi ketidakpastian yang bersumber pada konflik politik, seperti sering terjadi dalam hal pasokan minyak bumi.
Mungkin benar, di tengah gelombang krisis yang datang silih berganti dalam berbagai wujudnya, semangat dan muasalnya tetap sama, yaitu sikap spekulasi. Spekulasi sering ditempatkan berlawanan dengan sifat fundamental ekonomi.
Hari-hari ini sifat fundamental telah bercampur dengan spekulasi, ekonomi riil sudah tidak bisa dipisahkan lagi dari ekonomi virtual. Minsky dalam bahasa formal mengatakan, faktor keuangan (finance) tidak bisa dipisahkan dari ekonomi makro. Tak mungkin lagi bicara ekonomi tanpa uang (sirkulasi kapital) dan spekulasi.
A Prasetyantoko Pengajar Unika Atma Jaya; Partner pada Strategic Indonesia, Jakarta

1 Comments:

Blogger anis said...

Bravo Prast..... (anis --> anisfuad.wordpress.com)

9:55 PM  

Post a Comment

<< Home