KOMPAS

Kliping artikel Opini KOMPAS, sejak 2001

Sunday, April 16, 2006

Buruh dan Realitas Dunia Usaha

KOMPAs, Selasa, 04 April 2006

Terhadap rancangan amandemen UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003, para buruh bersikap keras. Pemogokan pun digelar sebagai tanda perlawanan. Inilah salah satu dilema yang sedang kita hadapi bersama.

Minggu lalu, akhir Maret 2006, Bank Dunia merilis East Asia Update, dengan subjudul Solid Growth, New Challenges. Ada yang menarik mengenai Indonesia. Di sana tertulis, "Indonesia currently has one of the least business-friendly environments in the region…". Ini bukan isu baru, dan kita sudah lama mengetahui. Hal yang tak pernah kita ketahui, bagaimana cara keluar dari situasi ini.

Merespons buruknya daya tarik investasi negeri ini, pemerintah mengeluarkan paket kebijakan peningkatan iklim investasi melalui Instruksi Presiden No 3/2006. Dalam rangka peningkatan iklim investasi inilah revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan dilakukan. Tampaknya kali ini pemerintah tak main-main. Mereka menyiapkan paket kebijakan yang komprehensif, setidaknya pada tiga pilar utama.

Pertama, paket kebijakan untuk menggerakkan pembangunan infrastruktur dan investasi pada umumnya. Kedua, perbaikan sistem kepabeanan, perpajakan, perizinan investasi, dan berbagai prosedur birokrasi guna mempercepat proyek-proyek besar yang tertunda. Kesepakatan ExxonMobilOil dengan Pertamina menjadi salah satu realisasinya. Paket selanjutnya terkait berbagai skema pembiayaan guna mendukung peningkatan kapasitas investasi dunia usaha.

Cukup menyakinkan. Tetapi, tampaknya ini bukan akhir dari musim gugur yang ganas dan panjang dalam perekonomian kita. Masih ada banyak dilema yang jika tidak hati-hati diselesaikan justru berdampak kontraproduktif. Salah satunya, revisi UU Ketenagakerjaan.

Dunia usaha

Laporan Bank Dunia berisi perkembangan terkini ekonomi kawasan Asia Tenggara. Perkembangan sektor korporasi juga menjadi perhatian penting. Singkatnya, dunia usaha sudah mengalami perbaikan berarti akhir-akhir ini, setelah mengalami masa-masa sulit menghadapi krisis. Sayang, di tengah gairah ekonomi kawasan, lagi-lagi Indonesia berada pada gerbong paling belakang.

Dari sisi beban utang yang diukur dengan rasio antara utang dan ekuitas perusahaan (Debt-Equity Ratio), meski Indonesia (bersama negara-negara di kawasan Asia lainnya) sudah mencapai level yang lebih rendah daripada sebelum krisis (yang mencapai 71 persen), tetapi tetap jauh lebih tinggi atau sebesar 68 persen dari rasio untuk seluruh kawasan (52 persen) pada tahun 2004.

Demikian juga dengan indikator Interest Coverage Ratio (ICR) yang di Indonesia sudah meningkat pada level dua pada tahun 2004. Meski masih lebih rendah dari level sebelum krisis (level 3). Sementara itu, pada tahun 2004 ICR untuk kawasan sudah mencapai level 4.

ICR merupakan rasio pendapatan terhadap pembayaran bunga yang mengukur kemampuan perusahaan membayar utang dari penghasilan usaha mereka (firm viability). Perusahaan yang memiliki ICR di bawah level 1 pada dasarnya tidak memiliki aliran kas yang cukup untuk membayar utang. Atau mengalami gagal bayar (default).

Sementara itu tingkat profitabilitas perusahaan yang diukur dari rasio pendapatan terhadap aset perusahaan (Return-on Assets) masih di bawah posisi sebelum krisis. Indonesia sebelum krisis memiliki tingkat profitabilitas sembilan persen, sedangkan di tahun 2004 baru mencapai empat persen. Atau berada di bawah profitabilitas kawasan yang mencapai lima persen. Sebagai perbandingan, profitabilitas perusahaan di Thailand sudah mencapai sembilan persen, lebih tinggi dari profitabilitas sebelum krisis (tujuh persen).

Singkatnya, setelah tujuh tahun lebih bergulat dengan krisis, sektor korporasi di Indonesia belum keluar dari situasi krisis. Secara lebih rinci, dengan sampel perusahaan di Bursa Efek Jakarta (BEJ), penelitian saya menunjukkan pada masa pascakrisis risiko kebangkrutan (bankruptcy risk) perusahaan di Indonesia masih tergolong tinggi.

Dengan instrumen Altman Z-score (skor yang mengukur risiko kebangkrutan perusahaan), memang terlihat terjadi peningkatan kualitas perusahaan setelah krisis. Namun, pada tahun 2002 grafiknya kembali menurun, hingga tahun 2004. Hal yang lebih mengkhawatirkan, rata-rata perusahaan di Indonesia masih berada di wilayah abu-abu atau berada dalam skor 1,81 $< Z $< 2,99. Artinya, secara umum perusahaan di Indonesia masih belum masuk kriteria sehat. Dengan kata lain, risiko kebangkrutan masih amat besar.

Dilihat secara sektoral, potretnya lebih mencengangkan lagi. Dilihat dari rasio utang terhadap stok kapital (fixed-assets), sektor properti (sektor enam dalam klasifikasi BEJ) ada pada posisi teratas, jauh melampaui sektor-sektor lain. Bahkan rasio utang terhadap stok kapital melebihi level sebelum krisis.

Tampaknya sektor properti makin haus utang setelah krisis. Padahal dominasi sektor properti dan sektor tak diperdagangkan (non-tradable sector) lainnya telah menyebabkan perekonomian Asia berkembang seperti gelembung (bubble economy) yang meletus dalam wujud krisis dahsyat (Krugman, 1999).

Singkatnya, dengan bantuan indikator- indikator rasio keuangan perusahaan yang tercatat di BEJ, bisa ditarik kesimpulan, dunia usaha di Indonesia masih begitu riskan terhadap krisis (fragile) serta mudah terluka dengan gejolak makro (vulnerable). Dengan demikian, kita belum bisa mengucapkan au revoir alias selamat tinggal terhadap krisis. Karena kita masih begitu dekat dengannya.

Meski fundamental makro-ekonomi sudah membaik, tetapi fundamental mikro- ekonomi kita masih terus kedodoran.

Buruh

Potret terpuruknya sektor korporasi tidak serta-merta membiarkan buruh menjadi korban buruknya konstalasi dunia usaha itu. Berbagai kebijakan perlu diambil secara afirmatif untuk memihak para investor agar lebih meringankan beban usaha mereka. Namun, tidak berarti kepentingan buruh diabaikan.

Situasi yang mirip terjadi di Perancis saat ini. Beban ekonomi dengan tingkat pengangguran yang tinggi (9,6 persen di akhir 2005) memaksa pemerintah di bawah Perdana Menteri Dominique de Villepin mengintroduksi prinsip fleksibilitas pasar tenaga kerja dalam UU Ketenagakerjaan yang baru di Perancis. Rupanya reaksi penolakan begitu keras. Dan yang mengejutkan gerakan penolakan justru dimotori para pelajar dan mahasiswa.

Hingga hari ini blokade dalam suasana panas sebagai tanda protes masih terjadi di kampus-kampus di penjuru Perancis. Di ENS Lyon, setiap sore digelar pertemuan, debat, dan pemutaran film mengenai gerakan demokrasi dan peran mahasiswa. Penolakan itu terjadi karena secara konstitusional ada peluang pemberlakuan pekerja kontrak yang bisa diberhentikan sewaktu-waktu dalam waktu dua tahun.

Mengenai penolakan masyarakat Perancis terhadap prinsip fleksibilitas, Jacques Sapir (Ekonom EHESS) memberi penjelasan dalam kapasitasnya sebagai teoritisi ekonomi. Sebenarnya dia merujuk penolakan masyarakat Perancis pada referendum Mei 2005 terhadap Konstitusi Uni-Eropa.

Singkatnya, teori-teori ekonomi yang berkembang dewasa ini mulai bergeser pada pendekatan neo-Keynesian. Pengakuan adanya sistem informasi yang tidak seimbang, adanya biaya dalam setiap transaksi ekonomi, dan adanya hubungan tidak harmonis antara principal dan agency semakin diakui kebenarannya. Sehingga, dunia yang makin fleksibel dan liberal justru semakin tak memperoleh justifikasi teoritis. Begitu argumen Sapir.

Memang tak mudah menerjemahkan wacana teoritis dalam dunia praktis (kebijakan). Tetapi, di situlah tantangan dan seninya. Menjalankan kebijakan perlu kerangka teori memadai, selain visi yang bisa dipertanggungjawabkan.

A Prasetyantoko
Mahasiswa PhD Departemen Ekonomi, Ecole Normale Supérieure (ENS)–Lyon, Perancis

0 Comments:

Post a Comment

<< Home