KOMPAS

Kliping artikel Opini KOMPAS, sejak 2001

Sunday, April 16, 2006

Rasionalitas Krisis

KOMPAS, Kamis, 08 September 2005

Di hari ini, kenyataan adalah soal persepsi. Faktor fundamental telah menyatu dengan faktor psikologis. Ekonomi tak lagi hanya soal statistik yang statis, melainkan juga soal dinamika perilaku para agen ekonomi.

Lihat saja realitas rupiah yang sempat tembus ke angka Rp 11.800/dollar AS, sedangkan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat terpuruk hingga ke level 994,778 poin. Krisis jilid II? Meski tidak akan separah krisis tahun 1997, tetapi sifat dasar (nature)-nya sama.

Krisis nilai tukar dipicu oleh gabungan faktor fundamental dan sekaligus sikap spekulatif para pelaku ekonomi. Gejolak rupiah serta merosotnya perdagangan saham menjadi cermin panic behavior para agen ekonomi.

Selain mengenai faktor fundamental dan faktor behavioral, krisis juga terkait dengan liberalisasi sektor finansial. Liberalisasi (finansial) dan krisis selalu datang berurutan.

Akar masalah

Studi tentang krisis finansial mengadopsi dua hal penting: munculnya masalah perilaku individu (agency problem) serta ketimpangan informasi (asymmetric information). Dalam rasionalitas yang terbatas (bounded rationality), para pelaku ekonomi sering bereaksi secara berlebihan, karena ada ketimpangan informasi. Dalam hal ini, kredibilitas akan memperburuk ketimpangan informasi.

Dalam konteks krisis finansial tahun 1997 di kawasan Asia, Corsetti, Pesenti & Roubini (1998) memberi jawaban, ekspektasi para agen ekonomi akan memburuknya fundamental ekonomi telah mendorong perilaku spekulatif (self-fulfilling prophecy). Jadi, perilaku kawanan (herd behavior) tidaklah terjadi tanpa sebab. Ekspektasi para pelaku ekonomi terhadap fundamental ekonomi merupakan pemicu hadirnya krisis yang dalam serta berkepanjangan.

Kali ini, krisis dipicu oleh melonjaknya harga minyak dunia yang menyentuh 70 dollar AS per barrel. Tentu saja, gejolak harga minyak berpotensi membebani kondisi fiskal pemerintah. Sementara itu, pasar memiliki persepsi negatif terhadap reaksi pemerintah dalam menyikapi situasi.

Dalam RAPBN 2006, harga minyak dunia masih dipatok pada harga 45 dollar AS per barrel. Sementara nilai tukar rupiah dipatok pada angka Rp 9.400/dollar AS, SBI 7 persen dan inflasi 7 persen. Asumsi-asumsi ini dianggap terlalu usang bagi para pelaku ekonomi, bukan semata-mata pada angkanya itu sendiri melainkan pada cara mencapai target (asumsi) tersebut.

Kredibilitas pemerintah (terutama tim ekonomi kabinet) adalah satu hal. Tetapi harus disadari, sistem finansial global yang makin liberal inilah yang sejatinya memungkinkan para pelaku ekonomi bergerak sentimentil tatkala kredibilitas pemerintah makin merosot.

Dalam sistem finansial global yang liberal, faktor fundamental ekonomi (cadangan devisa, neraca pembayaran, suku bunga, inflasi, pertumbuhan) terlalu rentan terhadap guncangan.

Pada tahun 1997, sebenarnya sisi fundamental makroekonomi Indonesia berada dalam situasi yang relatif baik. Tingkat inflasi yang relatif rendah, surplus neraca pembayaran lebih dari 900 juta dollar AS, cadangan devisa lebih dari 20 miliar dollar AS. Sayangnya, sisi fundamental mikronya sangat buruk.

Sektor swasta memiliki utang jangka pendek yang tidak dilindungi (hedging) dalam bentuk mata uang asing (terutama dollar AS) yang sangat besar. Ketika terjadi kepanikan dalam perdagangan valuta asing (nilai tukar), sektor korporasi kolaps karena tidak bisa bayar utang. Selanjutnya perbankan rontok karena kredit macet. Rontoknya perbankan menambah kepanikan perdagangan valas. Begitulah, efek spiral terjadi dalam sebuah tata kelola sektor finansial global yang liberal.

So what?

Pertama harus diingat, krisis merupakan dampak langsung dari sistem finansial global yang liberal. Tanpa ada keberanian mempersoalkan tata kelola ini, krisis akan terus terjadi (dalam skala yang berbeda-beda).

Sekadar untuk menanggulangi, langkah mengamankan fundamental ekonomi serta menjaga kredibilitas pemerintah (terutama tim ekonomi) agar tidak mendorong perilaku spekulatif para pelaku ekonomi tetap diperlukan. Salah satu rekomendasi para ekonom adalah mencabut subsidi BBM, agar kondisi fiskal pemerintah tidak terbebani. Tapi jangan-jangan pencabutan subsidi BBM yang diharapkan mengatasi masalah fundamental, justru memberi dampak psikologis yang negatif sehingga memicu perilaku spekulatif.

Dalam hal ini, presiden harus sangat jeli serta menunjukkan kredibilitasnya, agar persepsi pasar justru tak merusak fundamental ekonomi. Perombakan kabinet menjadi salah satu tolok ukur kejelian serta kredibilitas tersebut. Tidak mudah memang menjadi pemimpin dalam kubangan besar sistem finansial global yang liberal ini.

A Prasetyantoko Mahasiswa Doktoral Departemen Ekonomi, Ecole Normale Supérieure (ENS)-Lyon, Perancis

0 Comments:

Post a Comment

<< Home