KOMPAS

Kliping artikel Opini KOMPAS, sejak 2001

Wednesday, June 20, 2007

Disiplin Pasar Modal

Disiplin Pasar Modal
Senin, 18 Juni 2007

A Prasetyantoko

Disiplin mengandung pengawasan dan hukuman. Derajat pengawasan dan hukuman amat menentukan bentuk disiplin, kebiasaan, atau tata kelola secara nyata. Disiplin macam apa yang terjadi pada pasar modal kita?

Ada dua cerita yang bisa dirujuk. Pertama, pernyataan Menteri Keuangan beberapa waktu lalu, ekonomi kita kini sudah menyerupai keadaan sebelum krisis 1997. Maksudnya, aliran modal jangka pendek terlalu besar sehingga bisa menimbulkan gejolak. Kedua, peristiwa aktual dugaan terjadinya kerugian negara akibat transaksi derivatif yang dilakukan manajemen Indosat.

Pada kasus Indosat, meski otoritas pasar modal mencium gejala pelanggaran, namun tak mudah mengidentifikasi pelakunya. Seperti dugaan praktik kecurangan perdagangan saham yang melibatkan informasi orang dalam (insider trading) Perusahaan Gas Negara (PGN) beberapa waktu lalu, penegak hukum tak punya bukti menangkap pelakunya. Setiap kali berhubungan dengan kejahatan finansial, aparat hukum selalu bertemu ruang hampa

"Hedge-fund"

Pada tahun 1999, para menteri keuangan negara maju (G-7) memelopori berdirinya Forum Stabilitas Finansial. Ada dua kejadian yang mendasarinya. Pertama, krisis hebat yang melanda Asia Tenggara (1997) dan Amerika Latin (1998). Kedua, runtuhnya LTCM (long term capital management) yang mengelola dana berjumlah amat signifikan.

Dalam pertemuan di di Essen (Jerman, 10/2/2007), forum ini menegaskan kekhawatiran makin ganasnya risiko instabilitas finansial global. Kesimpulannya, kerisauan hadirnya momok instabilitas finansial bukan monopoli kita. Sayang, para pemegang otoritas di negeri kita justru lebih senang menutupi realitas dengan "sindrom menutupi kenyataan".

Pertanyaannya, siapa sebenarnya "pelaku" yang menimbulkan risiko menakutkan itu? Dan, yang menyedihkan, kita tak pernah tahu "siapa" mereka sebenarnya. Implikasinya, setiap terjadi dugaan kejahatan finansial, pelakunya selalu tak bisa ditangkap. Bahkan, dalam kasus yang relatif kasat mata dan primitif pun, seperti Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), pelakunya tak bisa ditangkap. Dalam kasus-kasus kejahatan transaksi derivatif, hantunya jauh lebih sakti sehingga meski bergentayangan di sekitar kita, sulit melihatnya apalagi menangkapnya.

Akhir-akhir ini, otoritas finansial di dunia, seperti Federal Reserve, Securities and Exchange Commission (SEC), European Central Bank, dan Bank for International Settlements sedang sibuk memasang kuda-kuda untuk mengawasi sepak terjang para manajer investasi atau yang dikenal dengan istilah hedge-funds. Pasalnya, kehadiran mereka dikhawatirkan memunculkan risiko sistematis terhadap stabilitas finansial global.

Semula, kehadiran mereka dibutuhkan guna melindungi (to hedge) kebijakan keuangan perusahaan dari berbagai risiko, seperti beda nilai tukar, kebijakan suku bunga, fluktuasi nilai pasar dan sebagainya. Dalam perkembangannya, para manajer investasi beralih fungsi dari melindungi menjadi berspekulasi. Berbeda dengan para pengelola keuangan dalam format konvensional, seperti dana pensiun, para manajer investasi dalam transaksi derivatif pada dirinya adalah investor.

Dalam istilah tata kelola klasik, dikenal dua aktor utama, yaitu pemilik modal (investor) dan pengelola (manajer). Namun, dalam kasus dana investasi ini, seorang manajer juga seorang investor. Jadi, hubungan principal-agency seperti dalam tata kelola klasik tidak berlaku. Begitu pun dalam teknik penggajian. Para manajer investasi tidak mendapat gaji, tetapi bagi hasil dari keuntungan investasi yang dilakukannya.

Risiko sistematis

Kerumitan tata kelola bukan saja terjadi pada tingkat mikro, tetapi juga makro. Banyak pihak mulai khawatir, kian banyak dana yang dikelola hedge-funds, kian tinggi risiko sistematis terhadap stabilitas finansial global.

Selain itu, peningkatan dana dalam transaksi derivatif juga akan diikuti oleh kehilangan kesempatan dalam pendanaan investasi di sektor riil. Jadi, fenomena perpisahan sektor riil dan sektor finansial itu merupakan fenomena global.

Sementara itu, kekhawatiran akan meningkatnya peran manajer investasi dalam konstelasi finansial global cukup beralasan. Pertama, secara kuantitas jumlah hedge fund resmi (tersertifikasi) melonjak pesat. Sebuah lembaga riset, Hedge-fund research Inc. tahun 1999 mencatat, jumlah hedge fund resmi baru mencapai 39, dan menjadi 1.427 (2006).

Kedua, secara kualitas, para pelaku di pasar derivatif ini terdiri dari orang-orang terbaik di bidangnya. Mereka menggunakan metode, teknik, dan perlengkapan pendukung (sistem informasi, software, dan sebagainya) mutakhir dalam mengembangkan investasi alternatif. Teknik kalkulasinya pun supercanggih, melibatkan sarjana-sarjana matematika dan fisika.

Di luar itu, secara karikatural ideologi kaum hedge-funds adalah "mengambil uang dan pergi" (take the money and run). Jadi, meski di atas kertas fungsi mereka melakukan strategi lindung nilai, tetapi dalam praktiknya mereka adalah spekulan ulung.

Mengingat perkembangan ini, urgensi kebutuhan untuk meningkatkan pengawasan serta hukuman guna membangun sebuah disiplin pasar modal kian terasa. Selain itu, usaha memisahkan aktivitas transaksi derivatif dari dunia perbankan juga mendesak dilakukan. Jangan sampai risiko sistematis yang ditimbulkan perilaku spekulatif dalam transaksi derivatif ini merusak tatanan finansial dan perekonomian, yang akhirnya mengacaukan "neraca rumah tangga" kita.

A Prasetyantoko Pengajar Unika Atma Jaya- Jakarta; Sedang Menyelesaikan Program Doktoral di ENS-Lsh, Perancis