KOMPAS

Kliping artikel Opini KOMPAS, sejak 2001

Thursday, November 01, 2007

Bayang-bayang Depresi Ekonomi

Selasa, 30 Oktober 2007

Menjelang pesta Halloween yang diperingati secara meriah, terutama di Amerika Serikat, dunia dihantui bayang-bayang depresi ekonomi global yang menakutkan. Akankah depresi ekonomi, seperti tahun 1930-an, terjadi lagi?
Ada dua kejadian yang terjadi bersamaan. Pertama, dampak krisis kredit perumahan di AS telah merembet ke berbagai sektor serta akan menyumbang ketidakpastian global. Kedua, harga minyak telah mencapai level mengerikan, 92 dollar AS per barrel. Kedua faktor itu tak mudah diisolasi karena akarnya amat kompleks.
Tentang pertanyaan apakah depresi ekonomi akan terjadi lagi, saya teringat buku klasik Hyman Minsky berjudul Can "It" happens again? Essays on instability and finance (1982). Buku ini bercerita tentang gelombang krisis yang datang silih berganti menyusul depresi ekonomi tahun 1930. Misalnya, runtuhnya industri real estate investment trust (REIT), kegagalan Penn Central dan Penn Square (krisis surat utang), lonjakan harga minyak, kenaikan inflasi dan suku bunga, serta berbagai masalah dalam sistem keuangan global lainnya.
"It" adalah depresi 1930. Minsky berargumen, hiruk-pikuk gelombang krisis selama beberapa dekade setelah depresi besar (great depression) itu sebenarnya akarnya sama, yaitu perilaku spekulasi. Minsky yang meninggal 1996, persis sebelum krisis Asia meledak, oleh para pengikutnya juga dianggap mampu menjelaskan berbagai krisis yang masih terus bermunculan hingga hari ini.
Krisis perkreditan
Apa akar krisis kredit perumahan kelas dua di AS? Majalah The Economist edisi 20-26/10/2007 menyebut krisis itu menunjukkan keberhasilan sekaligus kegagalan The Fed.
Selama dua dekade terakhir bank sentral di hampir semua negara di dunia berhasil menciptakan stabilitas dan pertumbuhan ekonomi yang baik. Salah satunya melalui politik inflasi terkendali (inflation targeting).
Menurut Teori Siklus Bisnis, saat booming ekonomi, kredit akan bergerak tak terkendali, moral hazard tumbuh, sehingga masa kemakmuran akan berbalik menjadi krisis. Menurut Minsky, akar instabilitas adalah stabilitas itu sendiri. Saat ekonomi berjalan baik, spekulasi yang berbuntut instabilitas akan terjadi.
Krisis subprime mortgage harus dibayar amat mahal. Pada Agustus, The Fed telah menurunkan suku bunga sebesar 50 basis poin. Bulan Oktober ini suku bunga diturunkan lagi 25 basis poin. Dampaknya, nilai kurs dolar AS terpuruk pada titik terendah atas euro dan defisit perdagangan juga kian sulit dibendung.
Menurut prediksi World Economic Outlook (IMF), pada tahun 2008 AS hanya akan tumbuh 1,9 persen. Tentu dampaknya akan sangat signifikan karena selama ini AS menyumbang sekitar 25 persen produksi global.
China dan India diprediksi menggantikan pelemahan peran AS. Beberapa waktu lalu, Goldman Sachs Group Inc mengeluarkan analisis yang berisi berpisahnya (decoupling) perekonomian AS terhadap perekonomian global. Brasil, Rusia, India, dan China (BRIC) dianggap mampu menggantikan peran AS itu.
Krisis kredit perumahan juga telah menyeret Merrill Lynch dalam kerugian amat besar, delapan miliar dollar AS, sehingga memaksa CEO Stanley O’Neal mengundurkan diri. Salah satu bank investasi terbesar di Jepang, Mizuho, juga terkena dampaknya.
Guna menyelamatkan gejolak itu, Menteri Keuangan AS Henry Paulson mengambil prakarsa mendirikan semacam lembaga penjaminan swasta yang disebut superfund. Lembaga ini didukung Citigroup Inc, JP Morgan Chase dan Co, dan Bank of America Corp. Sayang, langkah ini juga banyak dipertanyakan, termasuk oleh Alan Greenspan, mantan Ketua The Fed yang masih amat berpengaruh. Mekanisme "nonpasar" itu dikhawatirkan akan menutupi borok yang ada di pasar.
Krisis minyak
Menghadapi ketidakpastian ekonomi AS, banyak perusahaan besar yang mulai berpaling ke negara lain. Misalnya, konglomerat di bawah payung General Electric (GE) ke depan menargetkan perluasan pangsa pasar di luar AS sebesar 10-15 persen per tahun. "Selama China dan India masih tumbuh, kami akan survive," kata petinggi GE.
Masalahnya, jika gejolak minyak tak terhindarkan, semua negara harus merevisi pertumbuhan ekonominya. Harga minyak saat ini sudah amat tidak realistis. IMF membuat prediksi pertumbuhan ekonomi dunia dengan asumsi harga minyak 75,50 dolar AS per barrel. APBN kita, asumsinya adalah 60 dolar AS per barrel.
Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) menengarai adanya spekulasi dari para pemain besar, selain faktor peningkatan permintaan. China menambah permintaan untuk tahun 2007 ini rata-rata 400.000 barel per hari (barrel/day), sementara permintaan di negara-negara di Timur Tengah sendiri meningkat 300.000 barrel per hari. Menanggapi lonjakan harga minyak itu, 40 persen kartel penghasil minyak telah sepakat akan meningkatkan pasokan 500.000 barrel per hari.
Dilihat dari postur permintaan dan penawaran, harga dimungkinkan masih bisa naik. Faktor spekulasi yang selalu memanfaatkan ruang sempit di sela-sela mekanisme pasokan dan permintaan menjadi amat penting pengaruhnya. Apalagi, jika di ruang sempit itu diliputi ketidakpastian yang bersumber pada konflik politik, seperti sering terjadi dalam hal pasokan minyak bumi.
Mungkin benar, di tengah gelombang krisis yang datang silih berganti dalam berbagai wujudnya, semangat dan muasalnya tetap sama, yaitu sikap spekulasi. Spekulasi sering ditempatkan berlawanan dengan sifat fundamental ekonomi.
Hari-hari ini sifat fundamental telah bercampur dengan spekulasi, ekonomi riil sudah tidak bisa dipisahkan lagi dari ekonomi virtual. Minsky dalam bahasa formal mengatakan, faktor keuangan (finance) tidak bisa dipisahkan dari ekonomi makro. Tak mungkin lagi bicara ekonomi tanpa uang (sirkulasi kapital) dan spekulasi.
A Prasetyantoko Pengajar Unika Atma Jaya; Partner pada Strategic Indonesia, Jakarta

Tokoh Sosialis Memimpin IMF

Kompas 02 Oktober 2007

Dominique Strauss-Kahn (58) terpilih menjadi Direktur Eksekutif Dana Moneter Internasional atau IMF. Kahn yang akan dilantik 1 November 2007 dan bertugas hingga akhir 2012 adalah mantan Menteri Ekonomi Perancis dan tokoh politik kawakan berhaluan sosialis. Apakah itu berarti akan terjadi perubahan di IMF?
Mengapa Kahn terpilih? Di Perancis sendiri, pencalonannya tidak terlepas dari strategi Presiden Sarkozy untuk melumpuhkan kekuatan Partai Sosialis (PS) yang menjadi lawan politik terkuatnya pada pemilu presiden pertengahan 2007. Meski kalah di putaran kedua, Ségolène Royal dari PS sempat unggul dalam debat politik. Kahn sendiri termasuk dari tiga nama kandidat presiden dari PS, sebelum akhirnya memilih Madame Royal sebagai calon dari PS.
Dalam kancah politik global, keberhasilan Kahn menggantikan Rodrigo Rato ini tak lepas dari dukungan AS dan Inggris. Mengapa kedua negara kuat ini mendukung Kahn? Hal itu karena secara mengejutkan dan di luar skenario Uni Eropa (UE), Rusia mengusulkan Josef Tosovsky, mantan Perdana Menteri dan Gubernur Bank Sentral Ceko.
Dilihat riwayat kariernya, Tosovsky lebih cocok sebagai Direktur Eksekutif IMF. Saat ini dia menduduki jabatan penting di Bank for International Settlements (BIS) yang bermarkas di Basel, Swiss. Namun, justru Kahn yang berhaluan sosialis menang. Sarkozy mengklaim hal itu sebagai keberhasilan diplomasi Perancis di tingkat UE ataupun global.
Banyak pihak menilai kursi Direktur Eksekutif IMF itu diberikan kepada Kahn, yang di dalam negeri Perancis dikenal sebagai sosok yang amat kental dengan paham sosial demokrasi, dalam rangka memperbaiki citra lembaga yang makin dipertanyakan eksistensinya tersebut.
Krisis legitimasi
Keberhasilan Kahn juga tak lepas dari dukungan negara-negara seperti Brasil (mewakili Amerika Latin) serta Afrika Selatan dan Mozambik (mewakili Afrika).
Pencalonannya diterima UE karena Kahn dianggap berhasil membawa Perancis memelopori pembentukan mata uang tunggal Eropa (euro) saat menjabat sebagai Menteri Keuangan 1997-1999.
Di luar itu, tugas berat menunggu Kahn. IMF sedang mengalami krisis legitimasi. Keberadaannya dipertanyakan, hingga usulan reformasi besar-besaran, bahkan pembubaran kian sering terdengar. Krisis legitimasi disebabkan dua alasan: IMF gagal mengantisipasi berbagai krisis yang melanda dunia dan saat krisis terjadi, dia gagal menyelesaikannya.
Kehancuran perekonomian Brasil dan beberapa negara Amerika Latin, krisis Rusia, serta kehancuran ekonomi Asia Tenggara menunjukkan betapa IMF tidak mampu berbuat banyak dalam situasi krisis. Indonesia adalah pasien terakhir yang melunasi utangnya kepada IMF. Sebelumnya, Thailand dan Korea lebih dulu bebas.
Bagi IMF, lunasnya utang negara-negara berkembang, terutama Indonesia, Serbia, dan Uruguay, membuatnya memasuki fase krisis. Tak salah jika dikatakan IMF hidup dari negara miskin yang terkena krisis.
Pada tahun fiskal 2007 IMF diprediksi akan mengalami defisit 105 juta dollar AS. Dan pada tahun 2009, dia akan mengalami defisit 280 juta dollar AS. Sementara ini, solusi yang sedang digodok adalah menjual cadangan emas yang dimiliki lalu menginvestasikannya dalam aset berbunga tinggi.
Namun, krisis internal bukan satu-satunya masalah. Kritik terhadap pendekatan dan ideologi yang diusung IMF juga makin marak terjadi.
Ideologi liberal
Kehadiran Kahn menjadi menarik karena selama ini IMF dianggap memiliki ideologi tunggal: ekonomi (finansial) liberal. Dalam hal kebijakan mengatasi krisis di berbagai kawasan dunia, IMF dikenal dengan satu resep yang sama untuk kasus berbeda (one-size-fits-all recipe).
Baru-baru ini Bank Indonesia menerbitkan buku IMF dan Stabilitas Keuangan Internasional, Suatu Tinjauan Kritis (2007), yang berisi kritik pedas kepada IMF. Sementara itu, dalam berbagai analisis akademik, IMF dianggap agen yang melancarkan gerakan besar liberalisasi finansial yang diyakini menjadi salah satu akar krisis amat berbahaya pada hari ini.
Liberalisasi arus modal membuat negara-negara sedang berkembang, seperti Indonesia, memiliki pertumbuhan ekonomi tinggi. Namun, risikonya amat fatal karena harus dibayar dengan hadirnya krisis hebat. Ketika krisis datang, IMF juga mandul dalam penyelesaian. Resep baku IMF, seperti sistem kurs mata uang mengambang, menaikkan suku bunga, memotong anggaran publik, dan liberalisasi keuangan, dianggap kian menjerumuskan banyak perusahaan menuju kebangkrutan dan ledakan pengangguran. Hasilnya, perekonomian yang kolaps makin dalam.
Resep liberalisasi, terutama bidang finansial yang dikendalikan IMF, dikritik sebagai bius mematikan. IMF berargumen, rangkaian liberalisasi itu tak lain adalah obat mujarab yang harus ditelan penderita sakit akibat krisis. Namun, terlalu banyak obat juga akan membunuh pasien.
Akankah Kahn mampu memengaruhi kebijakan IMF? Selama ini IMF terjebak dominasi negara-negara kuat. Hal itu ditunjukkan dengan penerapan kuota hak suara, bukan prinsip satu negara satu suara (one country one vote). Sebagai satu negara, misalnya, AS memiliki hak suara 16,83 persen dari total negara anggota yang berjumlah 185. UE memiliki 32 persen.
Tanpa mereformasi sistem pengambilan keputusan ini, struktur kekuasaan IMF tetap ada dalam bayang-bayang negara kuat seperti AS. Selebihnya, jika ada tokoh sosialis seperti Kahn yang masuk, bukan dia yang akan memengaruhi lembaga, justru dia akan "tertelan" lembaga.
Kahn yang berhaluan sosialis justru dicalonkan Sarkozy sebagai salah satu langkah penggembosan PS di dalam negeri Perancis. Di tingkat global, tampaknya gejalanya lebih kurang sama. Kahn dipasang untuk kepentingan pencitraan IMF yang makin karut-marut. Selebihnya soal reformasi lembaga itu sendiri.
A Prasetyantoko Pengajar Unika Atma Jaya, Jakarta; Sedang Menyelesaikan Program Doktoral di ENS-Lsh, Perancis

Instabilitas dan Institusi

10 September 2007

Di hari ini, sulit membayangkan dinamika ekonomi tanpa gejolak. Dan gejolak tersebut umumnya digerakkan oleh bagaimana sirkulasi kapital terjadi dalam sistem ekonomi, baik dalam bentuk tradisional (kredit) maupun kontemporer (investasi finansial). Apa makna dan relevansinya bagi kehidupan ekonomi kita hari ini?
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) baru saja menyetujui target pertumbuhan ekonomi RAPBN-P 2007 sebesar 6,3 persen. Target tersebut akan ditopang dengan peningkatan kinerja ekspor serta realisasi investasi. Meski begitu, target pertumbuhan tidak akan tercapai jika uang tidak dipompa dari sektor perbankan.
Kalangan DPR juga menekankan agar Bank Indonesia berusaha lebih keras mendorong ekspansi perbankan membiayai sektor riil. Menurunkan suku bunga pinjaman yang saat ini masih berada di kisaran 14 persen menjadi salah satu implikasi penting. BI mencatat angka penyerapan kredit baru mencapai 80 persen. Dari plafon kredit yang direncanakan perbankan masih ada lebih dari Rp 150 triliun menganggur di bank.
Sehingga, salah satu agenda terpenting dalam ekonomi kita saat ini adalah menyalurkan kredit ke sektor produktif. Karena dengan begitu target pertumbuhan ekonomi akan tercapai.
Sirkulasi Kapital
Penyaluran kredit adalah bagian dari peran uang (sistem moneter) dalam ekonomi. Dalam bahasa yang lain, kita sedang bicara soal sirkulasi kapital. Isu tersebut sama sekali bukan tema baru. Schumpeter telah mempelopori kajian tentang bagimana uang mempengaruhi dinamika ekonomi.
Apakah uang bersifat netral? Menurut aliran utama atau (neo)-klasik, uang hanya bersifat sebagai “pelumas” yang akan melancarkan kegiatan ekonomi saja. Jadi uang bersifat netral. Namun Schumpeter, didukung Keynes, menolak asumsi tersebut. Mereka menyatakan, uang tidak netral karena dialah motor dari fluktuasi dan instabilitas ekonomi.
Dalam keyakinan kedua tokoh, uang tercipta karena ada permintaan dari sektor produktif (demand approach), dan bukan terjadi secara suka rela serta bisa ditawarkan begitu saja (supply approach). Jadi motor utama perekonomian adalah sektor riil dan bukan sektor finansial.
Ada dua tahap hubungan uang dengan sektor produktif. Tahap pertama, uang mengalir karena ada proses inovasi (creative destruction) yang akan memompa dinamika ekonomi ke arah kemakmuran. Namun, pada tahap kedua, ketika ekonomi sudah makmur, uang akan memfasilitasi perilaku spekulasi. Dan akibatnya, uang akan mendorong resesi. Begitulah siklus bisnis terbentuk.
Dalam kehidupan sehari-hari kita bisa dengan mudah menemukan bentuk konkritnya. Kalau ada orang yang sedang memulai usaha, umumnya mereka akan berhati-hati merencanakan bisnisnya. Tetapi begitu sukses, dia akan cenderung bersifat ekspansif dan kurang berhati-hati terhadap masa depan. Dan, kredit yang mengucur pada orang yang cenderung spekulatif akan mendorong ekonomi ke arah resesi. Masa inovasi, kemakmuran, resesi dan bangkit kembali merupakan siklus alamiah yang terus menerus ada dalam ekonomi.
Ungkapan Ketua Dewan Pertimbangan Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Seluruh Indonesia (Gapensi) berikut ini bisa menjadi ilustrasi yang baik dari siklus ekonomi: "Setelah resesi 1997-2002, dunia jasa konstruksi Indonesia akan mengalami lonjakan proyek hingga beberapa tahun mendatang, sebab Indonesia mulai giat membangun," KOMPAS (28/8).
Ada implikasi penting pada kondisi ekonomi kita hari ini. Pertama, menganggurnya uang di bank tidak sepenuhnya menjadi kesalahan perbankan. Sektor riil yang tidak bergerak bisa jadi merupakan faktor yang lebih signifikan. Sementara, restrukturisasi sektor riil menjadi perkara rumit yang sudah sejak lama didiskusikan, tetapi selalu mandul di tingkat implementasi.
Kedua, jika sektor riil mulai bergerak, dan dana mulai tersedot, ada risiko lain yang datang, yaitu munculnya sikap spekulasi dan kecerobohan menggunakan uang (kredit). Maka dari itu, menggerakkan sektor riil harus disertai juga dengan pembangunan institusi hukum, sehingga uang hanya mengalir pada kegiatan yang benar-benar inovatif dan bukan spekulatif.
Dalam kaca mata mikro, tidak ada jaminan pencairan kredit akan meningkatkan produktivitas. Atau secara makro, tidak ada jaminan masuknya uang pada perekonomian yang mendorong pertumbuhan ekonomi akan menambah peluang kerja serta membantu mengatasi kemiskinan. Diskusi ini bisa diperas menjadi soal kualitas pertumbuhan ekonomi.
Spekulasi
Minsky meneruskan tradisi Keynes dan Schumpeter dalam kajian finansial, sehingga pemikirannya sering disebut ‘financial keynesianism’. Dia berargumen, kualitas ekonomi akan ditentukan oleh sehat tidaknya neraca (perilaku) keuangan unit-unit dan agen-agen ekonomi dalam skala mikro. Dalam ekonomi tradisional perusahaan adalah agen penting dalam ekonomi. Dan dalam ekonomi modern, investor finansial mengambil peran sangat aktif.
Kontribusi Minsky adalah melakukan pembagian unit-unit ekonomi dalam tiga kategori: unit yang berhati-hati (hedge), berspekulasi dan ceroboh (ponzi). Apa yang mendorong sikap ceroboh itu? Dalam situasi stabil, minat untuk memburu keuntungan makin menguat, sehingga spekulasi makin tinggi. Jadi, sumber instabilitas adalah stabilitas itu sendiri.
Perilaku ini terjadi baik dalam sektor riil (penggunaan kredit) maupun sektor finansial (investasi keuangan). Pengaruh instabilitas finansial yang makin penting di hari ini hanya menunjukkan bahwa proporsi sektor finansial dalam perekonomian makin signifikan.

Secara sederhana, pemikiran ‘Schumpeter-Keynes-Minsky’ ini mencoba membangunkan kesadaran bahwa ekonomi tidak bekerja secara alamiah, melainkan dijalankan oleh para pelaku ekonomi yang pada dirinya mengandung faktor psikologi, sosial, hukum, politik serta faktor-faktor institusi lainnya.
Sayangnya, dengan cepat kita tergoda untuk segera meremehkan diskusi seperti ini sebagai sesuatu yang teoritis dan tak berguna. Sementara yang kita anggap berguna hanyalah soal-soal prakmatis, bagimana menggerakkan sektor riil, menyalurkan uang dan akhirnya memperoleh hasil (keuntungan). Tanpa mau tau bagaimana sirkulasi kapital terjadi dalam sistem ekonomi.
Nampaknya kesadaran inilah yang mendominasi berbagai target pencapaian pertumbuhan ekonomi serta visi Indonesia 2030.
Jika begitu, kita sedang memecahkan masalah dengan mengundang masalah baru.

A Prasetyantoko Pengajar Unika Atma Jaya- Jakarta; Sedang Menyelesaikan Program Doktoral di ENS-Lsh, Perancis

Gejolak Finansial

Senin, 13 Agustus 2007

Sejak krisis hebat, terutama sejak 10 tahun terakhir, kehidupan kita lebih banyak ditentukan dinamika sektor finansial ketimbang sektor riil.
Hegemoni sektor finansial kian merasuk ekonomi kita. Fluktuasi ekonomi tak lagi ditentukan oleh kegiatan produksi riil, tetapi oleh gejolak sektor finansial. Rasanya, ekonomi telah bermetamorfosis menjadi entitas semu, akibat proses "finansiarisasi".
Hari-hari ini kita disibukkan oleh melorotnya indeks harga saham gabungan (IHSG) dan nilai tukar rupiah yang menembus level terendah dalam setahun ini.
Keguncangan pasar finansial (saham, obligasi, dan valuta asing) dalam negeri merupakan dampak krisis di bursa saham AS yang disebabkan krisis kredit perumahan dengan kualitas rendah (subprime mortgage).
Penyebab
Sudah banyak analisis teknikal menjelaskan mengapa pasar finansial kita rontok, sekaligus prediksi ke depan. Namun, kita masih miskin analisis yang mendasar, misalnya, mengapa terjadi finansiarisasi ekonomi.
Tulisan Martin PH Panggabean dan Ade Prima RB (Kompas, 31/7/2007 ) menjelaskan dengan baik betapa produk saham dan valuta asing yang diperdagangkan di bursa kita dihargai terlalu mahal (overvalued). Maka, logis jika terjadi penyesuaian. Kali ini, penyesuaian dipicu perilaku investor di bursa saham AS.
Ada dua hal menarik dari analisis itu. Pertama, jurang kian lebar antara "nilai fundamental" dan "nilai pasar". Kedua, gejolak pasar selalu dipicu dua enigma, sentimen pasar (psikologis) dan faktor likuiditas (modal).
Tentang mengapa pasar di negara berkembang lebih menarik, sudah menjadi masalah klasik. Robert E Lucas, pemenang Nobel Ekonomi 1995, mengajukan tesis "paradoks kapital": kapital beranak pinak di negara berkembang, tetapi akan segera mengalir kembali ke negara maju.
Di negara berkembang upah buruh lebih murah sehingga keuntungan membiakkan modal lebih besar. Namun, karena kepastian hukum rendah, modal akan segera kembali ke negara maju, begitu menghasilkan keuntungan. Dalam sistem hegemoni finansial, perpindahan modal makin cepat terjadi sehingga volatilitas gejolak makin tinggi.
Lalu, kapan sektor finansial menjadi dominan? Hingga sebelum krisis finansial di AS tahun 1929, ekonomi global sudah mengarah ke ekonomi liberal. Namun, krisis 1929 (malaise) telah mengubah pendulum ekonomi menuju "kompromi Keynesian". Artinya, pada masa itu dalil yang diakui paling ampuh memecahkan masalah ekonomi adalah menggunakan berbagai intervensi negara.
Titik balik kembali terjadi saat negara-negara mengalami krisis, dipicu krisis minyak pada 1970-1980-an. Saat itu ekonomi bergerak ke arah ekonomi "neo-liberal". Di era inilah pasar finansial berkembang, eksistensinya mendominasi dinamika ekonomi seperti sekarang.
Tentang dominasi sistem finansial dalam ekonomi dunia, sudah banyak kekhawatiran muncul. Jika hampir semua ekonom sepaham soal liberalisasi perdagangan, isu liberalisasi finansial sebagai bagian hegemoni finansial global terus menjadi perdebatan sengit hingga kini.
Paul O’Neill, treasury secretary AS di bawah Bush senior, menilai para spekulan di bursa saham justru akan merugikan dinamika ekonomi. Joseph Stiglitz dikenal sikapnya yang kritis terhadap liberalisasi finansial di negara berkembang.
Bahkan Jagdish Bhagwati, pembela globalisasi, tampak ragu memberi legitimasi pada liberalisasi finansial. Begitu pula George Soros, yang jelas mendapat keuntungan dari sistem finansial liberal.
Intervensi
Sering dikatakan, berbagai krisis dan gejolak telah mengundang negara untuk merumuskan kembali intervensinya pada dinamika ekonomi. Intervensi seperti apa yang dibutuhkan untuk mengendalikan gejolak finansial global dewasa ini? Lagi-lagi, analisis teknikal sudah banyak disajikan. Katakan saja, guna mengurangi risiko pelarian modal ke luar negeri, Bank Indonesia diharapkan tetap mempertahankan suku bunga 8,25 persen.
Selebihnya, apa yang bisa dilakukan? Tampaknya, kita tidak bisa berbuat apa-apa, karena hanya korban dari konstelasi hegemoni finansial global. Mungkin benar, sebagai bangsa, hegemoni finansial global merupakan realita, bukan pilihan. Apalagi bagi penganut paham yang menganggap mekanisme pasar sebagai satu-satunya cara terbaik memecahkan segala macam masalah.
Meski demikian, sebenarnya, kita bisa "menghidupkan" berbagai bentuk intervensi, bukan dalam pengertian memberi kesempatan bagi pemburu rente, tetapi sebagai bagian dari cara membangun sistem agar disiplin pasar bisa ditegakkan.
Dalam konteks gejolak finansial global ini, ada dua hal yang bisa dilakukan. Pertama, menerapkan prinsip intervensi sebagai instrumen ex ante (sebelum kejadian), bukan ex post (setelah). Mengenai bentuk konkretnya, kita masih butuh diskusi lebih mendalam. Kedua, menguatkan kerja sama regional untuk bersama-sama "melawan" tekanan global.
A Prasetyantoko Pengajar Unika Atma Jaya Jakarta; Sedang Menyelesaikan Program Doktoral di ENS-Lsh, Perancis