KOMPAS

Kliping artikel Opini KOMPAS, sejak 2001

Thursday, November 01, 2007

Tokoh Sosialis Memimpin IMF

Kompas 02 Oktober 2007

Dominique Strauss-Kahn (58) terpilih menjadi Direktur Eksekutif Dana Moneter Internasional atau IMF. Kahn yang akan dilantik 1 November 2007 dan bertugas hingga akhir 2012 adalah mantan Menteri Ekonomi Perancis dan tokoh politik kawakan berhaluan sosialis. Apakah itu berarti akan terjadi perubahan di IMF?
Mengapa Kahn terpilih? Di Perancis sendiri, pencalonannya tidak terlepas dari strategi Presiden Sarkozy untuk melumpuhkan kekuatan Partai Sosialis (PS) yang menjadi lawan politik terkuatnya pada pemilu presiden pertengahan 2007. Meski kalah di putaran kedua, Ségolène Royal dari PS sempat unggul dalam debat politik. Kahn sendiri termasuk dari tiga nama kandidat presiden dari PS, sebelum akhirnya memilih Madame Royal sebagai calon dari PS.
Dalam kancah politik global, keberhasilan Kahn menggantikan Rodrigo Rato ini tak lepas dari dukungan AS dan Inggris. Mengapa kedua negara kuat ini mendukung Kahn? Hal itu karena secara mengejutkan dan di luar skenario Uni Eropa (UE), Rusia mengusulkan Josef Tosovsky, mantan Perdana Menteri dan Gubernur Bank Sentral Ceko.
Dilihat riwayat kariernya, Tosovsky lebih cocok sebagai Direktur Eksekutif IMF. Saat ini dia menduduki jabatan penting di Bank for International Settlements (BIS) yang bermarkas di Basel, Swiss. Namun, justru Kahn yang berhaluan sosialis menang. Sarkozy mengklaim hal itu sebagai keberhasilan diplomasi Perancis di tingkat UE ataupun global.
Banyak pihak menilai kursi Direktur Eksekutif IMF itu diberikan kepada Kahn, yang di dalam negeri Perancis dikenal sebagai sosok yang amat kental dengan paham sosial demokrasi, dalam rangka memperbaiki citra lembaga yang makin dipertanyakan eksistensinya tersebut.
Krisis legitimasi
Keberhasilan Kahn juga tak lepas dari dukungan negara-negara seperti Brasil (mewakili Amerika Latin) serta Afrika Selatan dan Mozambik (mewakili Afrika).
Pencalonannya diterima UE karena Kahn dianggap berhasil membawa Perancis memelopori pembentukan mata uang tunggal Eropa (euro) saat menjabat sebagai Menteri Keuangan 1997-1999.
Di luar itu, tugas berat menunggu Kahn. IMF sedang mengalami krisis legitimasi. Keberadaannya dipertanyakan, hingga usulan reformasi besar-besaran, bahkan pembubaran kian sering terdengar. Krisis legitimasi disebabkan dua alasan: IMF gagal mengantisipasi berbagai krisis yang melanda dunia dan saat krisis terjadi, dia gagal menyelesaikannya.
Kehancuran perekonomian Brasil dan beberapa negara Amerika Latin, krisis Rusia, serta kehancuran ekonomi Asia Tenggara menunjukkan betapa IMF tidak mampu berbuat banyak dalam situasi krisis. Indonesia adalah pasien terakhir yang melunasi utangnya kepada IMF. Sebelumnya, Thailand dan Korea lebih dulu bebas.
Bagi IMF, lunasnya utang negara-negara berkembang, terutama Indonesia, Serbia, dan Uruguay, membuatnya memasuki fase krisis. Tak salah jika dikatakan IMF hidup dari negara miskin yang terkena krisis.
Pada tahun fiskal 2007 IMF diprediksi akan mengalami defisit 105 juta dollar AS. Dan pada tahun 2009, dia akan mengalami defisit 280 juta dollar AS. Sementara ini, solusi yang sedang digodok adalah menjual cadangan emas yang dimiliki lalu menginvestasikannya dalam aset berbunga tinggi.
Namun, krisis internal bukan satu-satunya masalah. Kritik terhadap pendekatan dan ideologi yang diusung IMF juga makin marak terjadi.
Ideologi liberal
Kehadiran Kahn menjadi menarik karena selama ini IMF dianggap memiliki ideologi tunggal: ekonomi (finansial) liberal. Dalam hal kebijakan mengatasi krisis di berbagai kawasan dunia, IMF dikenal dengan satu resep yang sama untuk kasus berbeda (one-size-fits-all recipe).
Baru-baru ini Bank Indonesia menerbitkan buku IMF dan Stabilitas Keuangan Internasional, Suatu Tinjauan Kritis (2007), yang berisi kritik pedas kepada IMF. Sementara itu, dalam berbagai analisis akademik, IMF dianggap agen yang melancarkan gerakan besar liberalisasi finansial yang diyakini menjadi salah satu akar krisis amat berbahaya pada hari ini.
Liberalisasi arus modal membuat negara-negara sedang berkembang, seperti Indonesia, memiliki pertumbuhan ekonomi tinggi. Namun, risikonya amat fatal karena harus dibayar dengan hadirnya krisis hebat. Ketika krisis datang, IMF juga mandul dalam penyelesaian. Resep baku IMF, seperti sistem kurs mata uang mengambang, menaikkan suku bunga, memotong anggaran publik, dan liberalisasi keuangan, dianggap kian menjerumuskan banyak perusahaan menuju kebangkrutan dan ledakan pengangguran. Hasilnya, perekonomian yang kolaps makin dalam.
Resep liberalisasi, terutama bidang finansial yang dikendalikan IMF, dikritik sebagai bius mematikan. IMF berargumen, rangkaian liberalisasi itu tak lain adalah obat mujarab yang harus ditelan penderita sakit akibat krisis. Namun, terlalu banyak obat juga akan membunuh pasien.
Akankah Kahn mampu memengaruhi kebijakan IMF? Selama ini IMF terjebak dominasi negara-negara kuat. Hal itu ditunjukkan dengan penerapan kuota hak suara, bukan prinsip satu negara satu suara (one country one vote). Sebagai satu negara, misalnya, AS memiliki hak suara 16,83 persen dari total negara anggota yang berjumlah 185. UE memiliki 32 persen.
Tanpa mereformasi sistem pengambilan keputusan ini, struktur kekuasaan IMF tetap ada dalam bayang-bayang negara kuat seperti AS. Selebihnya, jika ada tokoh sosialis seperti Kahn yang masuk, bukan dia yang akan memengaruhi lembaga, justru dia akan "tertelan" lembaga.
Kahn yang berhaluan sosialis justru dicalonkan Sarkozy sebagai salah satu langkah penggembosan PS di dalam negeri Perancis. Di tingkat global, tampaknya gejalanya lebih kurang sama. Kahn dipasang untuk kepentingan pencitraan IMF yang makin karut-marut. Selebihnya soal reformasi lembaga itu sendiri.
A Prasetyantoko Pengajar Unika Atma Jaya, Jakarta; Sedang Menyelesaikan Program Doktoral di ENS-Lsh, Perancis

0 Comments:

Post a Comment

<< Home