KOMPAS

Kliping artikel Opini KOMPAS, sejak 2001

Monday, April 09, 2007

Rivalitas Pertumbuhan

Bagi dunia pers, rasanya tidak ramai jika tidak ada sensasi. Bagi pemerintah, sudah seharusnya dia bersikap optimistis. Dan selebihnya, biarkan diskusi pro-kontra memperkaya wacana. Begitulah negara demokrasi. Namun, apa jadinya jika pemerintah dan otoritas moneter melakukan rivalitas?
Tentu saja, jika masing-masing dikonfirmasi perihal rivalitas itu, baik pemerintah maupun Bank Indonesia (BI) akan menjawab tidak. Namun, aroma rivalitas cukup terasa.
Pertama, soal otoritas mencetak uang. Dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Mata Uang dengan Panitia Khusus DPR, Menkeu meminta kewenangan BI dalam mengelola uang dikurangi. Gubernur BI menolak gagasan itu.
Kedua, tentang target pertumbuhan ekonomi. Tahun ini, pemerintah mematok target pertumbuhan ekonomi sebesar 6,3 persen. Sementara, menurut BI, dengan skenario optimistis pun paling tinggi hanya akan mencapai 6,0 persen. Tampaknya asumsi BI jauh lebih banyak punya "pendukung" ketimbang pemerintah.
Bank Pembangunan Asia (ADB) memprediksi pertumbuhan ekonomi 2007 hanya 6,0 persen mengingat rendahnya target ekspor dan realisasi investasi. Lembaga ini seolah memberikan "peringatan" kepada pemerintah yang terlalu optimistis.
Cerita terus berlanjut. Di tengah wacana tidak berkualitasnya pertumbuhan ekonomi yang dikeluarkan BI beberapa waktu lalu, pemerintah justru melakukan "serangan balik" dengan menargetkan pertumbuhan ekonomi 2008 sebesar 6,8 persen. Lagi-lagi pemerintah mendapat banyak kritik dengan prediksinya yang dianggap tidak populer. BI ada di pihak yang menyangsikan target pemerintah itu.
Visi pertumbuhan
Sebelum prediksi angka pertumbuhan dikeluarkan, Presiden menerima Kerangka Dasar Visi Indonesia 2030 yang disampaikan Ketua Yayasan Indonesia Forum. Ada empat kerangka.
Pertama, Indonesia akan masuk lima besar kekuatan ekonomi dunia dengan pendapatan per kapita sebesar 18.000 dollar Amerika Serikat (AS) per tahun.
Kedua, tahun 2030 akan ada sedikitnya 30 perusahaan masuk daftar 500 perusahaan besar dunia.
Ketiga, pengelolaan alam yang berkelanjutan.
Keempat, terwujudnya kualitas hidup modern yang merata.
Apa bedanya dengan UUD 1945 yang juga berisi kata-kata indah? Visi memang tidak akan pernah tercapai. Jika tercapai, namanya bukan visi lagi, tetapi rencana. Bedanya, kerangka dasar ini mengandung target pencapaian dan kerangka waktu, yang dinilai banyak pihak tidak realistis. Paling tidak, dokumen itu mengingatkan kita, selama ini diskusi tentang visi sebagai bangsa ke depan relatif absen.
Harus diakui, siapa pun pasti gamang menentukan target pencapaian di masa depan karena situasi yang porak-peranda setelah krisis. Pemerintah dianggap lalai karena tidak mampu membangkitkan optimisme. Tetapi ketika pemerintah berani menentukan target juga salah. Tampaknya, siapa pun yang duduk di pemerintahan harus rela selalu disalahkan.
Produk domestik bruto (PDB) 2008 ditargetkan mencapai Rp 4.200 triliun. Skenario itu berbasis kekuatan ekspor dan pencapaian target investasi. Untuk mendukungnya, pemerintah akan mendorong proyek-proyek infrastruktur, disertai program-program penjaminan agar kredit bisa dikucurkan. Dalam hal investasi asing, pemerintah agak lega karena RUU Penanaman Modal akhirnya disepakati DPR sehingga bisa ditindaklanjuti.
Pemerintah memang serius membenahi iklim investasi. Salah satunya berusaha untuk menurunkan peringkat risiko berusaha di Indonesia, dari posisi 135 menjadi 75 selama dua tahun ke depan.
Dalam strategi pembiayaan, pemerintah juga kian rajin mengeluarkan surat utang, baik dalam bentuk ORI 003, menyusul keberhasilan ORI 002, maupun Surat Utang Negara (SUN) lainnya. Pendeknya, target optimistis pertumbuhan ekonomi bukan tanpa dasar. Ada banyak hal disiapkan serius untuk mencapainya.
Namun, tetap saja menganga jurang lebar antara visi, rencana, asumsi, dan kenyataan riil di lapangan, apalagi jika semua itu akhirnya berkelindan dengan urusan jabatan, pembagian kursi menteri, dan orientasi politik lainnya. Semuanya akan segera menjadi buih belaka.
Salah arah
Optimisme target pertumbuhan versi pemerintah mungkin keluar dari perencanaan yang solid, tetapi bisa juga karena diombang-ambingkan ketidakpastian politik. Isu reshuffle kabinet misalnya.
Perilaku seperti ini umum terjadi. Belum lama ini Biro Pusat Statistik Perancis (INSEE) mengumumkan penurunan angka pengangguran. Kontan, banyak lembaga independen dan sindikat pekerja mengkritik habis-habisan. Mereka menuduh badan pemerintah ini memanipulasi angka guna memberi kesan baik kepada partai politik yang ada di pemerintahan, terkait pemilu presiden tahun ini.
Jika dilihat strategi pencapaiannya, target besar pemerintah itu akan menghasilkan resultante berupa makin liberalnya ekonomi kita. Hal itu terjadi baik di sektor riil (RUU PMA) maupun sektor finansial. Meski DPR mengakui selain memberi gas juga memberi rem kepada pemerintah, dalam kasus RUU PMA, jangan-jangan untuk mengejar target yang terlalu optimistis, tim pemerintah bahkan tak sempat berpikir untuk menggunakan rem.
Ekonomi adalah bagian perjalanan panjang sejarah. Sayang, karena terlalu berobsesi pada masa depan, para ekonom suka melupakan sejarah. Liberalisasi, terutama sektor finansial, telah membuahkan pengalaman pahit krisis ekonomi. Jangan sampai, gara-gara mengejar target pertumbuhan tinggi, liberalisasi justru berbuntut pemanasan ekonomi, bukan pertumbuhan berkualitas.
Rivalitas pemerintah dan BI memang dibutuhkan guna membangun perekonomian yang seimbang dan tak salah arah. Sumbangan pemikiran dari lembaga independen lain, termasuk universitas, tak bisa dinafikan.
A Prasetyantoko Pengajar di Unika Atma Jaya, Jakarta