KOMPAS

Kliping artikel Opini KOMPAS, sejak 2001

Sunday, April 16, 2006

Kepanikan dan Perilaku Kawanan

KOMPAS, Kamis, 23 Juni 2005

CADANGAN bahan bakar minyak kritis (Kompas, 21/6/2005). Lantas apa yang terjadi? Para pengguna kendaraan bermotor melakukan antrean panjang di pompa-pompa bensin. Begitu melihat antrean panjang, kepanikan pun tersulut. Begitulah perilaku kawanan yang digerakkan oleh kepanikan.

Perilaku kawanan (herding behavior) lazim terjadi di sektor finansial. Ada yang mengatakan krisis di Asia beberapa waktu lalu lebih disebabkan perilaku kawanan (kepanikan para aktor ekonomi) ketimbang faktor fundamental ekonomi. Di Indonesia, perilaku kawanan telah meruntuhkan sektor perbankan setelah terjadi kepanikan dalam penarikan tabungan akibat berbagai proyeksi buruk yang menghantui para pelaku ekonomi (self-fulfilling prophecy).

Perilaku kawanan tidak saja terjadi di sektor finansial. Kehidupan kita begitu riskan terhadap perilaku ini. Begitu labilkah masyarakat kita sehingga mudah diserang kepanikan? Atau karena terlalu lama dalam ketidakpastian disertai ketidakpercayaan kepada pemerintah?

Fenomena antrean panjang di pompa bensin menyusul berita menipisnya cadangan bahan bakar minyak (BBM) hanya contoh kasus betapa rapuhnya kredibilitas pemerintah di mata masyarakat.

Stok BBM

Persoalan seputar ketersediaan bahan bakar minyak (bensin, solar, dan minyak tanah) terjadi karena berbagai sebab. Pertama, harga minyak dunia kian sulit diprediksi dan menjauh dari asumsi anggaran pemerintah (RAPBN) 2005. Sementara pemerintah mematok asumsi 45 dollar AS per barrel. Terakhir, harga minyak kian tak terkendali mencapai 58,60 dollar AS per barrel (Kompas, 20/6/2005).

Kedua, ketidakpastian harga minyak di pasar dunia mengakibatkan pemerintah kesulitan menyediakan subsidi dalam jumlah yang sesuai dalam waktu cepat. Dengan asumsi harga minyak 45 dollar AS per barrel, subsidi akan menjadi Rp 76,5 triliun. Bisa dibayangkan berapa pembengkakannya jika harga minyak mencapai level 58 dollar AS per barrel.

Menurut Pertamina sebagai pengelola distribusi BBM, pemerintah lamban mencairkan subsidi BBM. Pembelian BBM pun terhambat. Dalam lingkungan eksternal yang dipenuhi ketidakpastian seperti sekarang, birokrasi berbelit-belit bahkan cenderung tidak konsisten menjadi kendala yang amat mengganggu.

Di berbagai daerah, kepanikan atas ketaktersediaan BBM begitu nyata. Di pantai utara (pantura) Jawa, terutama Semarang dan sekitarnya (Demak, Pati, Kudus) serta Madura, penurunan stok BBM mengganggu distribusi. Cerita di balik stok BBM berikut kompleksitas persoalan yang melatarbelakangi bisa menjadi cermin persoalan bangsa lainnya.

Perilaku kawanan

Masalah perilaku kawanan menjadi diskusi hangat saat krisis mata uang terjadi di Asia. Ada dua pendapat saling bertentangan ihwal sebab-musabab krisis Asia. Sekelompok pendapat—dipelopori Redelet dan Jeffrey Sachs (1998)—memahami krisis sebagai kepanikan para pemegang likuiditas. Sementara Corsetti, Pesenti, dan Roubini (1998) mempercayai fundamental ekonomi yang rapuh sebagai faktor utama penyebab krisis.

Hingga kini diskusi hangat terus terjadi di antara pendukung masing-masing kubu gagasan. Selebihnya, banyak analis percaya adanya sintesis antara faktor kebobrokan sisi fundamental dan kepanikan dalam keruntuhan ekonomi Asia. Begitulah, ”krisis generasi ketiga” yang merupakan gabungan antara krisis mata uang dan krisis perbankan (finansial) telah meruntuhkan kawasan Asia.

Di Indonesia, perilaku kawanan paling hebat pernah melanda sektor perbankan. Akibat kepanikan nasabah, bank mengalami kebangkrutan dan menelan biaya besar untuk pemulihan. Dengan total biaya penyelamatan dan pemulihan perbankan sekitar Rp 600 triliun atau 58 persen dari GDP, Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki ”biaya krisis” terbesar di dunia.

Meski badai krisis telah berlalu, kini riak-riak kepanikan masih terjadi. Dalam konteks nilai tukar, perilaku kawanan mendorong tersungkurnya rupiah pada nilai 9.600 per dollar AS pada awal Juni. Sebagai respons, Bank Indonesia lalu mengambil keputusan proaktif melalui peraturan no 7/14/PBI/2005 tentang pembatasan transaksi rupiah yang bertujuan meredam perilaku spekulatif.

Kredibilitas

Rupanya perilaku spekulasi tidak saja terjadi di sektor finansial. Di sektor riil, spekulasi terlalu sering terjadi. Akibatnya, perilaku kawanan yang didorong kepanikan muncul di sana-sini. Bahkan jika diperluas perspektifnya, perilaku kawanan terjadi di berbagai bidang sekaligus menunjukkan ciri khas masyarakat kita.

Dalam konteks korupsi juga telah menjadi ”perilaku kawanan”. Dalam kasus dugaan korupsi dana haji di Departemen Agama, misalnya, muncul pernyataan, tindakan korupsi yang dilakukan para tersangka hanya meneruskan ”kebijakan terdahulu”. Tidak tanggung-tanggung, seperti dikatakan pengacara Said Agil Husin Al Munawar, pihak yang turut menikmati Dana Abadi Umat (DAU) melibatkan orang-orang penting negeri ini.

Perilaku kawanan tidak saja terjadi di sektor finansial (nilai tukar, reksa dana, indeks saham, dan sebagainya) atau seputar stok BBM. Dalam hal korupsi pun berlaku prinsip perilaku kawanan.

Dalam hal berita menipisnya cadangan BBM, masyarakat dilanda kepanikan. Pasalnya, mereka tidak bisa percaya terhadap informasi yang disampaikan pemerintah. Dikatakan, stok BBM cukup untuk 20 hari. Belakangan, tersiar berita BBM hanya cukup untuk 17 hari, 14 hari, lalu 12 hari. Mana yang benar? Masyarakat berseru, pemerintah harus jujur soal cadangan BBM yang dimiliki Pertamina.

Fenomena yang sama terjadi dalam kasus pemberitaan kasus busung lapar, polio, lumpuh layuh, muntaber, flu burung, dan sebangsanya. Kesannya, pemerintah menutupi kenyataan. Dan kadang kepanikan terjadi karena informasi resmi yang terkesan ditutup-tutupi.

Di sektor finansial, kepanikan sering bersumber pada informasi yang tidak seimbang (asymmetric information) sehingga menimbulkan distorsi. Dalam hal kebijakan publik, akar persoalannya sering ada pada kredibilitas pengambil kebijakan (pemerintah).

Rupanya, di tengah gempita berbagai upaya simpatik yang dilakukan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono masih tersimpan masalah kredibilitas. Ujian belum selesai dan akan terus dilakukan guna membuktikan kredibilitas pemerintahan dalam setiap kebijakan yang dikeluarkannya.

Dalam kebijakan ekonomi, meski serangkaian proses pembersihan korupsi terus dilakukan, sarang distorsi masih dipelihara. Para pembantu presiden masih berpotensi menjadikan distorsi melalui intervensi di tiap kebijakan ekonomi yang dijalankan. Korupsi kecil terus diberantas, tetapi distorsi-intervensi masih terus bercokol.

Sayang, kredibilitas tidak bisa dibangun dalam semalam. Layanan SMS langsung kepada presiden bisa menjadi jembatan, tetapi taruhannya kian besar karena berarti pemerintah harus konsekuen merespons keluhan dan masukan dari masyarakat. Begitu respons pemerintah dinilai lamban, ketidakpercayaan segera muncul. Dengan begitu, kepanikan masih berpotensi terjadi kapan saja seiring kian menipisnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap para pengambil kebijakan publik.

A Prasetyantoko Mahasiswa Doktoral Departemen Ekonomi, Ecole Normale Supérieure (ENS)-Lyon, Perancis

0 Comments:

Post a Comment

<< Home