KOMPAS

Kliping artikel Opini KOMPAS, sejak 2001

Monday, February 05, 2007

Hipotesis Instabilitas Finansial

Opini KOMPAS, 1 Februari 2007
Hipotesis Instabilitas Finansial
A Prasetyantoko

Bahaya melesatnya sektor finansial di tengah terpuruknya sektor riil kian terasa riaknya. Ibarat penyakit, penipuan perusahaan valas Smartway Forex di bawah PT Energi Kasih Abadi (Kompas, 24/1) sudah bisa menjadi gejala. Jika tidak diantisipasi, dampaknya lebih parah.
Hampir semua analisis ekonomi mengarah pada persoalan gawat ini: gagalnya fungsi intermediasi sektor finansial dalam mendorong sektor riil. Ekonomi kita sedang mengalami fenomena "leher botol": uang tidak mengalir ke sektor riil, tetapi berputar-putar di pasar uang dan modal.
Leher botol disebabkan dua sisi. Dari sisi pengusaha, meski BI rate sudah diturunkan pada level 9,5 persen, tetapi mengingat prospek bisnis belum menggembirakan, meminjam uang dari bank menjadi pilihan terakhir. Bagi perusahaan besar, menerbitkan surat utang (obligasi) atau menggunakan pendanaan internal (equity) melalui pasar modal menjadi prioritas. Di sisi lain, perbankan tampak ragu menyalurkan kredit karena takut menyulut risiko kredit bermasalah (non-performing loan).
Sebenarnya, BI sudah melonggarkan persyaratan kredit dengan PP Nomor 33 Tahun 2006 dan Peraturan Menkeu Nomor 87 Tahun 2006 yang membolehkan pemotongan piutang pokok dalam penyelesaian kredit bermasalah. BI juga melonggarkan batas maksimum pemberian kredit (BMPK) menjadi 30 persen (dari 20 persen) untuk BUMN yang bergerak di bidang infrastruktur. Tetapi, lagi-lagi kredit tak segera mengalir ke sektor riil.
Ekonomi memang sebuah perjalanan optimis (boom) sekaligus pesimis (burst) yang bergerak tanpa pola sehingga sulit diprediksi. Dalam suasana pesimis, semua pelaku ekonomi terlihat hati-hati dan tidak berani mengambil risiko (risk averse), sementara dalam suasana optimis cenderung bertindak melawan moral (moral hazard). Sementara sektor riil dipenuhi perilaku hati-hati, sektor finansial diwarnai perilaku moral hazard.
Sistem kapitalis
Dalam setiap siklus ekonomi, baik sedang optimis maupun pesimis, selalu tertanam risiko instabilitas. Itulah "hipotesis instabilitas finansial" dalam tata ekonomi kapitalis yang dikemukakan Hyman Minsky (1919-1996) tahun 1970-an, sebelum seri krisis 1990-an. Saat itu bahkan para ekonom aliran utama belum memikirkan hubungan antara sektor finansial dan sektor riil. Sayang, gagasannya tenggelam oleh hiruk-pikuk pemikiran aliran utama.
Minsky yang menulis disertasi di bawah Schumpeter di Universitas Harvard, tetapi lulus di bawah W Leontief karena Schumpeter keburu meninggal, mengajukan dua argumen utama.
Pertama, ekonomi kapitalis pada hakikatnya adalah kesalingtergantungan neraca (balance sheet) negara, perusahaan, dan rumah tangga.
Kedua, para agen ekonomi kapitalis selalu berorientasi pada masa depan sehingga tindakannya saat ini merupakan cermin harapannya di masa depan.
Pada dasarnya, menurut Minsky, agen ekonomi bisa dibedakan dalam tiga kategori: berhati-hati (hedge), mencoba-coba (speculative), dan sembrono (ponzi). Istilah ponzi diambil dari nama pengusaha (mafia) imigran Italia di Amerika.
Ciri hedge, mampu membayar semua kewajiban dengan mudah dari aliran kas operasi usahanya, sementara ponzi harus menjual sebagian/semua asetnya guna membayar utang, alias mengalami likuidasi atau kebangkrutan.
Dalam ekonomi stabil, agen ekonomi bersikap optimis dan berlomba meminjam uang untuk usaha. Pada tahap ini, banyak agen speculative berubah menjadi ponzi.
Saat terjadi krisis 1997, sebagian besar unit ekonomi kita pada posisi speculative dan ponzi sehingga saat terjadi gejolak nilai tukar dan kenaikan (ekstrem) suku bunga, sebagian besar perusahaan (dan perbankan) mengalami kebangkrutan.
Pelajaran berharga dari Minsky, instabilitas ekonomi sejatinya bersifat internal (endogen), bukan sesuatu yang datang dari luar. Dalam krisis 1997, kita bisa menyalahkan fluktuasi nilai tukar, perilaku investor asing, dan IMF. Tetapi masalah dasarnya ada di balik bantal tempat kita tidur sehari-hari. Masalah eksternal hanya berfungsi "mempercepat" saja.
Pelajaran lain, risiko krisis sebenarnya tetap bersanding dalam peraduan kita, yang setiap saat bisa menikam dari balik selimut. Karena instabilitas bersifat endogen, tata kelola juga harus "ditanamkan" secara mengakar pada agen ekonomi, bukan sesuatu yang sekadar "ditempelkan" dari luar.
Agenda nyata
Kasus Smartway Forex tentu bukan yang pertama dan amat mungkin bukan yang terakhir. Kita amat bersimpati kepada korban yang sudah menggunakan jatah sekolah anaknya untuk berinvestasi. Tetapi yang lebih mengerikan, ternyata pasar finansial kita tak beda dengan pasar tradisional/informal. Seperti pasar kaget di pinggir jalan atau di sekitar pertandingan sepak bola, tanpa aturan.
Jika kasus Smartway Forex bagai pedagang keliling, bisa diduga ada banyak perilaku tidak bermoral yang dilakukan para pemain besar di pasar finansial. Dengan berbagai praktik tidak fair, seperti insider trading atau rekayasa keuangan yang canggih, mereka bisa meraup keuntungan luar biasa. Dan, koridor hukum tak mampu menggapainya. Dalam hal ini, agenda nyata penegakan hukum yang bersifat "preventif" tak bisa ditawar lagi.
Bagaimana dengan perbankan? Ada anekdot, "bank hanya meminjamkan uang pada pihak yang tidak membutuhkan". Jika bank hanya memberi pinjaman pada hedge karena ada jaminan kredit akan kembali, ekonomi tak akan bergerak. Perbankan harus berani menyalurkan kredit pada speculative. Meski, jangan sampai speculative berubah menjadi ponzi justru karena guyuran kredit itu.
Langkah yang diambil BI sudah tepat. Meski aturan kredit bermasalah dilonggarkan, BI ngotot menerapkan aturan Manajemen Risiko Basel II atau aturan tentang kolektibilitas seperti diatur dalam PBI No 8/2/2006. Ini tentu menyangkut dilema yang rumit, tetapi keseimbangan antara kehati-hatian dan percepatan penyaluran kredit tak bisa diabaikan.
Celah lain yang harus diisi, penyaluran kredit ke sektor mikro, yang ternyata amat membutuhkan dana segar. Baik dalam konteks kredit mikro maupun kredit besar. Inti persoalannya adalah jika kredit disalurkan pada sektor (unit) yang produktif (inovatif), instabilitas bisa dijinakkan.
Sebagai murid Schumpeter, Minsky sebenarnya ingin bilang, obat dari instabilitas ekonomi adalah kreatifitas (creative destruction).

A Prasetyantoko Mahasiswa Doktoral Ilmu Ekonomi Ecole Normale Supérieure (ENS), Lyon, Perancis

Bencana Liberalisasi Finansial

(Kompas, 26 Desember 2006)
Bencana Liberalisasi Finansial
A Prasetyantoko

Menutup tahun 2006, seakan ada trauma yang kembali hadir. Baru-baru ini pasar saham Thailand terpuruk lebih dari 20 persen. Imbasnya, nilai tukar rupiah sempat melonjak ke level 9.135 per dollar AS (Kompas, 21/12/2006).
Juni 1997, berawal dari terpuruknya nilai tukar baht Thailand, kepanikan dan gejolak krisis finansial terasa di seluruh kawasan. Bahkan, hingga hari ini, bangsa kita masih tertatih-tatih untuk kembali berdiri setelah terpuruk, melebihi negara mana pun di kawasan Asia.
Ketika baru-baru ini bank sentral Thailand (BoT) menerapkan kebijakan kontrol devisa, kita bertanya-tanya apa yang akan dilakukan Indonesia? Pertanyaan itu segera terjawab, kebijakan liberalisasi finansial yang kita anut selama ini tidak akan diganggu gugat. Argumennya, fundamental ekonomi makro sudah lebih kuat sehingga tak perlu ragu menghadapi guncangan finansial. Koordinasi antarinstansi yang mengatur sistem finansial sudah terjadi dengan baik. Itu cerita lama.
Saat krisis 1997 datang, hampir semua indikator ekonomi makro pada performa yang meyakinkan. Tetapi, mengapa krisis meluluhlantakkan semua? Cuci tangan dengan mudah bisa dilakukan dengan menyebut faktor politik, kerusuhan sosial sebagai biang masalah. Benarkah?
Tentu saja sebagian argumen itu benar, tetapi tidak seluruhnya. Diskusi yang muncul saat itu, apakah krisis ini lebih disebabkan faktor fundamental atau faktor kepanikan investor, apakah lebih disebabkan faktor makro-ekonomi atau mikro (perusahaan dan perbankan), apakah penyebabnya berasal dari dalam atau luar negeri, yaitu sistem finansial global. Hal yang pasti, krisis telah berkembang menjadi realitas yang kompleks.
Krisis berulang?
Banyak ahli menunjuk akar masalah krisis era 1990-an adalah kebijakan (ideologi) liberalisasi sektor finansial. Begitu keran sektor finansial dibuka, modal bisa berlarian masuk (inflows) dan keluar (outflows) tanpa hambatan. Modal akan selalu mengalir pada pasar yang paling menguntungkan, tak peduli penuh korupsi atau tanpa pengawasan. Itulah yang terjadi pada negeri kita.
Pada tahun 2000, Bank Dunia membuat survei tentang kualitas kelembagaan perekonomian di kawasan Asia. Sudah bisa ditebak, diukur dari indeks apa pun Indonesia terburuk. Dari indeks efisiensi sistem peradilan, skor Indonesia 2,5 (terendah), sementara Thailand 3,5. Untuk indeks sistem hukum, skor Indonesia 3,98 (terendah), Thailand 6,25. Indeks korupsi, Indonesia juga terendah (2,15) dan Thailand 5,18.
Modal masuk dalam jumlah besar dibawa para pialang dalam bentuk investasi portofolio jangka pendek dan melalui sektor swasta dalam wujud utang-utang jangka pendek. Dalam konteks institusional yang buruk, proyek-proyek yang dibiayai dana asing jangka pendek itu ternyata kosong, banyak yang fiktif, atau terlalu besar mark-up-nya. Ekonomi kita berkembang seperti buih (bubble) yang kosong (bumpy) sehingga manakala terjadi gejolak eksternal, perilaku panik para agen ekonomi (termasuk pemerintah) tak terelakkan lagi. Koordinasi tak jalan dan semua pihak terkungkung pada perspektif sempit jangka sangat pendek (myopic).
Apakah situasinya kini berbeda? Jika ditilik dari bangunan institusional (strukturalnya), tampaknya tak ada yang berbeda. Kita justru ada pada tatanan finansial yang kian liberal. Dalam hal ini, ada pola yang berulang. Dulu Indonesia menjadi pasar kredit yang menjanjikan meski sektor produktifnya tidak jalan. Kini, pasar modal kita menjadi salah satu dari trio pasar modal terbaik di Asia bersama bursa Shanghai China dan Mumbai India. Indeks bursa (IHSG) berhasil menembus level 1.760 atau tertinggi dalam sejarah pasar modal di Indonesia. Ironisnya, perusahaan yang tercatat di bursa saham memiliki nilai fundamental yang lebih buruk dibanding ukuran-ukuran perusahaan di bursa tetangga.
Sektor finansial
Sektor finansial sering disalahkan sebagai penyebab utama (risk premia) terjadinya krisis. Menurut Bernanke dan Geltler (1999), sektor finansial bisa menjadi pendorong terjadinya krisis (financial accelerator) apabila pasar tidak bisa bekerja sempurna (imperfect market). Atau Eichengreen and Hausmann (1999) yang mengakui sistem finansial global sebagai dosa asal (original sin) dari aneka gejolak.
Namun, jika dikejar lebih jauh, apakah liberalisasi sektor finansial harus bertanggung jawab atas serial krisis yang menyengsarakan rakyat? Tidak! Pasar yang tidak sempurna, lemahnya supervisi, tata kelola, koordinasi selalu menjadi alibi untuk menyatakan tidak ada yang salah dari liberalisasi finansial.
Hampir semua studi tentang relasi antara sektor finansial dan pertumbuhan, seperti Levine (2004), Ranciere dan Tornell (2004) menyebutkan, krisis hanyalah "biaya" liberalisasi finansial yang dalam jangka panjang masih tetap lebih menguntungkan pertumbuhan ekonomi.
Masalahnya, tidak satu pun dari para teoretisi dan pengambil kebijakan akan menjadi korban jika gejolak finansial terjadi. Malaysia berhasil mengadopsi kebijakan kontrol kapital, dan kini Thailand dalam derajat tertentu menerapkannya. Sementara itu, kita makin yakin membenamkan diri pada sistem finansial global yang liberal.
Parahnya, banyak argumen terlihat begitu tidak meyakinkan. Fundamental ekonomi makro terbukti tidak selalu berkaitan dengan gejolak finansial. Fundamental ekonomi "mikro" lebih berperan. Koordinasi antarinstitusi akan terjadi dengan baik jika situasinya normal, tetapi lain ceritanya jika terjadi kepanikan. Padahal, salah satu ciri krisis finansial adalah perilaku panik para agen ekonomi.

A Prasetyantoko Pengajar Unika Atma Jaya, Jakarta; Sedang Menyelesaikan Program Doktor Ilmu Ekonomi di ENS Lyon, Perancis

Indonesia Pasien Tetap IMF?

(Kompas, 17 Oktober 2006)
Indonesia Pasien Tetap IMF?
A Prasetyantoko

Kita patut menyambut baik pelunasan seluruh utang pemerintah kepada Dana Moneter Internasional. Babak baru sedang dimasuki meski agenda baru telah menanti.
Indonesia melunasi seluruh utangnya kepada Dana Moneter Internasional (IMF) setelah pembayaran tahap kedua 3,2 miliar dollar AS, Kamis (5/10) (Kompas, 6/10/2006). Dengan demikian, berakhir pula post program monitoring yang selama ini dicurigai sebagai mekanisme intervensi IMF terhadap kebijakan ekonomi Indonesia.
Apakah kepergian IMF akan membuat kebijakan ekonomi kita independen? Sulit dijawab!
Memutus keterikatan "cara pandang" tentu lebih sulit (dan rumit) ketimbang memutuskan hubungan politis, apalagi jika dilakukan dengan basa-basi diplomatis.
Sektor finansial
Seperti sering diungkap, dengan pelunasan utang kepada IMF, peringkat utang Indonesia meningkat. Hasilnya, modal swasta akan mengalir ke pasar finansial domestik. Seperti diharapkan, masuknya modal asing ke pasar modal (BEJ) dan pasar utang (BES) akan memberi "lubrikasi" ekonomi kita yang sedang macet.
Tampaknya pemerintah serius menurunkan rasio utang terhadap PDB. Tahun 2000, rasio utang terhadap PDB 80 persen, 2004 menjadi 54,6 persen, tahun 2005 turun ke 46,8 persen, dan tahun 2006 dipatok 37,5 persen. Bahkan, pemerintah berusaha menjadikan rasio utang tidak melebihi 35 persen dari PDB.
Penurunan rasio utang menjadi bahan pertimbangan penting bagi lembaga pemeringkat seperti Standard & Poor’s (S&P) dalam menyusun peringkat, baik untuk utang jangka panjang (berdenominasi lokal dan asing) maupun utang jangka pendek. Diharapkan peringkat investasi membaik karena biaya penerbitan surat utang akan menurun. Demikian juga beban fiskal semakin ringan.
Sejak krisis, ekonomi kita tampak bergantung pada sektor finansial. Hal itu bisa dilihat dari tingginya tingkat pertumbuhan saham dan obligasi. Dalam penerbitan saham, statistik Bank Indonesia mencatat, pada Januari 1997 baru mencapai Rp 51.175 miliar, tetapi pada Juli 2006 mencapai Rp 280.356,3 miliar (lebih dari lima kali lipat). Demikian pula dengan penerbitan obligasi. Jika pada Januari 1997 baru mencapai Rp 11.935,5 miliar, Juli 2006 berkembang delapan kali lebih menjadi Rp 96.633 miliar.
Secara teoretis, perkembangan sektor finansial mendorong pertumbuhan sektor riil. Sayang, hingga hari ini, kita masih melihat buruknya kinerja sektor riil sehingga janji untuk meningkatkan penyerapan tenaga kerja dan pengurangan kemiskinan masih ilusi. Sektor finansial memang berkembang, tetapi sektor riil masih terpuruk. Jika dibiarkan, gejala ini bisa menjadi sumber kerawanan (fragility) yang bisa mengantar kita pada krisis ekonomi dalam mutasi yang lain lagi.
"Domestic original sin"
Para ahli ekonomi keuangan (financial economics) mengingatkan, perkembangan pasar finansial domestik yang tidak seimbang akan menimbulkan gejala domestic original sin. Apa maksudnya?
Hausmann and Panizza (2003) membeberkan, rapuhnya sistem finansial (financial vulnerability) bangsa disebabkan ketidakmampuan mereka meminjam dalam mata uang lokal. Karena sistem finansial kian bebas, kian mudah pula sebuah bangsa terjerat "dosa asal" itu.
Menyangkut hebatnya krisis Asia, tesis ini cenderung mendukung pendapat yang meyakini, penyebab utamanya adalah perilaku panik para pemegang likuiditas (panic view). Bukan sekadar alasan fundamental ekonomi (fundamental view). Jika alasannya fundamental, mengapa krisis di Thailand tidak sehebat dan selama krisis di Indonesia? Apakah fundamental ekonomi Thailand lebih baik dari Indonesia? Sistem finansial global telah menyumbang peran amat besar terhadap gonjang-ganjing krisis di negara berkembang. Jadi, terlepas baik buruknya fundamental ekonomi domestik sebuah bangsa, hubungan pasar finansial domestik dengan sistem finansial global menjadi salah satu faktor penentu kerawanan finansial bagi negara itu.
Kini, manakala krisis yang dipicu perilaku panik sudah mereda, muncul gagasan mengenai dosa asal yang berdimensi "domestik". Artinya, komposisi utang dalam negeri sebuah bangsa bisa menimbulkan kerapuhan finansial. Ketidakmampuan sebuah bangsa (sedang berkembang) menerbitkan surat utang dalam negeri dalam mata uang lokal, jangka panjang (long maturities), dan pada suku bunga tetap (fixed interest rates) akan menjadi sumber masalah serius.
Penerbitan surat utang dalam mata uang asing akan menimbulkan ketimpangan mata uang (currency mismatch), sementara beban pada utang jangka pendek akan meningkatkan risiko ketimpangan pembayaran (maturity mismatch). Dua risiko klasik ini rupanya tidak serta-merta hilang meski emisi surat utang dilakukan di pasar domestik.
Dari semua itu, ada dua inti cerita. Pertama, ekonomi yang terlalu bertumpu pada sektor finansial, sementara ekonomi riilnya mandek, apa pun alasannya akan menimbulkan risiko serius.
Kedua, berakhirnya utang terhadap IMF bukan berarti bahaya terhadap kerawanan finansial akan hilang. Jika cara pandang para pengelola ekonomi negeri ini masih seperti cara pandang (ideologi) lembaga multilateral ini, bukan mustahil kita akan terjerembap dalam krisis yang sama. Pasalnya, sistem finansial global tetap menyimpan risiko bagi negara sedang berkembang.
Jika ini terjadi, bukan mustahil pula di masa depan kita akan kembali menjadi pasien utama IMF. Jika demikian, sementara banyak pihak mempersoalkan eksistensi IMF, kita justru memperbesar legitimasinya dengan tetap menjadi bangsa yang terbuka bagi kerawanan yang muncul dari sistem finansial global ini.

A Prasetyantoko Mahasiswa Doktoral di Ecole Normale Supérieure (ENS)-Lsh, Lyon, Perancis

Ekonomi Balon

(KOMPAS, 12 September 2005)
Ekonomi Balon
A Prasetyantoko

Belum pernah penyerapan tenaga kerja serendah ini (Kompas, 5/9/2006). Bappenas menghitung, tahun 2006 penyerapan tenaga kerja setiap satu persen pertumbuhan ekonomi hanya 42.000 orang.
Padahal, pada tahun 2001 mencapai 253.000 dan tahun 2003 sebesar 248.000 orang. Bahkan, sebelum krisis penyerapan tenaga kerja jauh di atas angka-angka itu. Mengapa ini terjadi?
Secara sederhana, kita bisa beranggapan, ekonomi kita tengah tumbuh secara "tidak nyata". Pasalnya, walaupun ekonomi tumbuh, lapangan kerja minim tercipta. Hal ini biasa terjadi jika sektor finansial berkembang terlalu cepat secara tidak proporsional dibandingkan dengan sektor riil. Apalagi, jika perkembangan sektor finansial terjadi dalam situasi tidak jalannya fungsi intermediasi.
Seperti dalam pepatah "bersenang-senang di atas penderitaan orang lain", sektor finansial di Indonesia sedang mengalami kegairahan luar biasa di tengah derita sektor riil. Terutama pascakrisis, pergerakan ekonomi kita cenderung didominasi oleh sektor finansial. Dan rupanya, kecenderungan ini terjadi juga di tingkat global. Sejak tahun 1980-an, sektor finansial di tingkat global mengalami revolusi yang luar biasa, dengan munculnya berbagai instrumen investasi yang makin rumit. Di tengah kolapsnya sektor riil, pesatnya sektor finansial bisa memunculkan "ekonomi balon".
Sektor finansial
Pada tahun 2005, majalah The Economist pernah memuat ulasan perkembangan finansial global. Judul depannya: "The New King of Capitalism". Pada abad ekonomi finansial ini, para pemain (investor) di pasar finansial adalah raja baru dalam ekonomi kapitalis.
Majalah ini mencatat, dalam periode 2003-2005 pasar ekuitas global tumbuh 60 persen. Jika dihitung selama sepuluh tahun terakhir, perkembangannya mencapai 3.000 persen. Rupanya, liberalisasi finansial yang mulai pesat terjadi di era 1980-an telah menuai hasil yang spektakuler.
Meski begitu, para ahli ekonomi finansial sebenarnya juga telah mengingatkan: pesatnya sektor finansial di negara sedang berkembang sangat riskan terhadap krisis ganas. Pada dasarnya, liberalisasi finansial akan diikuti dengan kerawanan finansial yang bisa berakhir dengan krisis finansial. Dalam sistem keuangan yang liberal, krisis nilai tukar kadang datang bersama krisis perbankan. Hasilnya, krisis ganda (twin crisis) yang berbahaya.
Di Indonesia, kausalitas antara liberalisasi finansial dan krisis terlihat begitu sahih. Akibat terlalu terekspose pada sistem finansial global, periode liberalisasi finansial diikuti dengan masa krisis yang ganas. Hingga kini, setelah hampir 10 tahun, dampaknya terhadap kinerja investasi, pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja belum bisa diatasi. Parahnya, krisis yang disebabkan oleh liberalisasi tanpa regulasi dipecahkan dengan dosis liberalisasi yang makin tinggi. Sementara aturan (governance) dibiarkan terkantung-katung tak menentu.
Paul Krugman (1999) menyatakan, krisis 1997 tak mengherankan sebagai konsekuensi dari munculnya "ekonomi buih" (bubble economy) di kawasan Asia Tenggara. Krisis membuktikan keajaiban Asia (Asian miracle) sebenarnya ilusi belaka karena faktanya kinerja pertumbuhannya hampa, seperti balon yang besar tetapi kosong. Apa benar Indonesia mengalami ekonomi balon?
Balon udara
Para ahli menyusun perangkat-perangkat untuk mendeteksi fenomena ekonomi balon. Salah satunya, dengan membandingkan laju pertumbuhan sektor perdagangan (tradable) dan nonperdagangan (nontradable). Tornell dan Westermann (2002) menjelaskan, pada masa cerah di mana kredit dikucurkan deras (lending boom), sektor nonperdagangan akan mengalami perkembangan yang lebih cepat ketimbang sektor perdagangan. Namun, pada masa krisis sektor perdagangan akan pulih lebih dahulu daripada sektor nonperdagangan. Bagaimana situasinya di Indonesia?
Penelitian sederhana yang saya lakukan memberi ilustrasi empiris yang agak berbeda. Guna mendeteksi kesempatan pendanaan yang tak seimbang (asymmetric financing opportunity) di antara kedua sektor, studi ini mengukur sensitivitas hubungan antara aliran kas (cash flow) dan tingkat investasi perusahaan.
Hasilnya, sebelum krisis sektor perdagangan memang memiliki kendala dalam pendanaan (financing constraints) yang lebih besar ketimbang sektor nonperdagangan. Kredit cenderung mengucur lebih besar ke sektor nonperdagangan daripada ke sektor perdagangan. Namun, rupanya pascakrisis tidak berarti sektor nonperdagangan mengalami kesulitan mencari pendanaan. Dari data sektoral terlihat pascakrisis rasio utang yang paling besar justru terjadi pada sektor properti (nontradable sector). Kucuran kredit ke sektor properti tidak surut pascakrisis. Bahkan, di tengah kelesuan kinerja investasi di hampir semua lini, sektor properti masih terus melaju.
Ada indikasi ekonomi kita justru tumbuh makin "tidak riil" setelah krisis. Data Bank Dunia menunjukkan, tahun 2004 pertumbuhan sektor tradable di Indonesia 2,9 persen, sementara sektor nontradable 7,2 persen. Dan pada tahun 2005 pertumbuhan kedua sektor menjadi 3,5 dan 8 persen. Perbedaannya cenderung melebar. Sebagai catatan, sektor pertanian (bagian dari sektor tradable) hanya tumbuh 2,1 persen pada tahun 2004 dan 2,5 persen pada tahun 2005. Jelas, sektor nontradable makin meninggalkan sektor tradable.
Menurut tesis Krugman, ekonomi balon terjadi karena dominasi sektor nontradable, terutama properti. Di Indonesia, indikasi terjadinya ekonomi balon juga bisa dilihat dari tingginya ekspektasi di bursa saham. Pada Januari 2006, nilai tengah (median) dari persentase perkembangan perdagangan saham di Bursa Efek Jakarta mendekati 3,3 persen (paling tinggi di seluruh kawasan). Sementara Malaysia hanya tumbuh 1,4 persen, Thailand 2 persen, dan Korea 2,1 persen.
Padahal, jika dinilai secara fundamental, perusahaan-perusahaan di Indonesia posisinya lebih buruk ketimbang perusahaan di beberapa negara tetangga. Penilaian terhadap rasio utang, kemampuan membayar utang, dan ekspektasi pendapatan, semuanya menunjukkan lemahnya kinerja perusahaan di Indonesia secara relatif terhadap perusahaan di negara tetangga.
Bisa jadi benar, ekonomi kita sedang penuh dengan janji, harapan, dan eforia yang tidak riil. Sektor finansial mengalami perkembangan yang begitu pesat, sementara sektor riil masih tetap kolaps. Dalam situasi seperti ini, penerbitan Obligasi Ritel Indonesia (ORI) seri 001, yang akan segera disusul dengan seri-seri berikutnya, justru memperbesar balon udara. Sektor finansial makin tak terkendali perkembangannya.
Jadi, ekonomi kita besar, tetapi berisi udara, sehingga para pencari kerja tak bisa berharap banyak darinya. Ekonomi belum akan segera menjawab persoalan nyata di negeri ini.

A Prasetyantoko Mahasiswa Doktoral Ilmu Ekonomi pada Ecole Normale Supérieure (ENS)–Lsh, Lyon, Perancis

Dosa Asal Utang Luar Negeri

KOMPAS, 14 Juni 2006
Dosa Asal Utang Luar Negeri
A Prasetyantoko

Agenda utama sidang Consultative Group on Indonesia atau CGI, Rabu (14/6) di Jakarta bertumpu pada masalah penyediaan dana rekonstruksi Yogyakarta dan Jawa Tengah pascagempa. Sepertinya, tidak ada isu kontroversial yang muncul selain pertanyaan apakah mengandalkan dana hibah saja akan cukup.
Seperti diketahui, perkiraan dana rekonstruksi korban gempa melonjak dari Rp 1 triliun menjadi Rp 5 triliun.
Isu utang luar negeri pemerintah yang selama ini menjadi ajang kritik para aktivis anti-utang juga menunjukkan perbaikan. Niat pemerintah untuk segera melakukan percepatan pembayaran utang kepada IMF sebesar 7,51 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 69,7 triliun tampaknya tidak ada halangan berarti. Apalagi Bank Indonesia telah berhasil meningkatkan cadangan devisa hingga mencapai titik tertinggi dalam sejarah, sebesar 44,169 miliar dollar AS per 29 Mei 2006.
Ada catatan penting mengenai rencana ini. Ternyata, jika utang kepada IMF dipercepat, utang kepada Japan Bank for International Cooperation (JBIC) sebesar 700 juta dollar AS juga harus segera dilunasi karena keduanya bersifat paralel. Hal yang lebih krusial, ternyata kita tidak banyak tahu berbagai prasyarat di balik perjanjian utang. Informasi yang disampaikan hanya mengenai jumlah dan sifat pinjaman, tetapi berbagai prasyarat yang mengikuti masih tetap menjadi misteri.
Percepatan pembayaran utang kepada IMF akan menurunkan rasio utang luar negeri terhadap produk domestik bruto (PDB). Sesaat setelah krisis, rasio Indonesia hampir 80 persen. Pada akhir tahun 2005 rasio menjadi sekitar 50 persen. Dengan percepatan pembayaran utang, rasio utang pasti turun di bawah 50 persen.
Skenarionya, perbaikan rasio utang akan membuat lembaga-lembaga pemeringkat global seperti Moody’s, Standard & Poor’s, Merrill Lynch, dan sebagainya memperbaiki rating utang. Dampaknya, modal akan mengalir ke pasar domestik seiring dengan membaiknya kepercayaan investor asing. Tingginya indeks harga saham gabungan (IHSG) yang mencapai 1.553,49 pada Mei lalu bisa menjadi indikasi, pasar domestik sudah mulai masuk kembali di radar para investor global.
Dalam ekonomi selalu dikenal trade-off. Turunnya utang pemerintah memberi kesempatan kepada sektor swasta untuk mengakses modal di pasar global. Sayang, mengawasi aliran utang sektor swasta jauh lebih rumit ketimbang utang pemerintah. Padahal, dampaknya amat signifikan.
Dosa asal
Dalam studi ekonomi finansial, utang luar negeri sektor swasta menjadi isu penting yang seru diperdebatkan. Terutama setelah terjadinya seri krisis finansial di berbagai kawasan dunia: Asia Tenggara (1997), Amerika Latin (1994), dan Eropa Timur (1992).
Menurut Eichengreen, Hausmann, dan Panizza (2002), ketidakmampuan sebuah negara mendapat pinjaman dalam mata uang lokal berjangka waktu panjang merupakan "dosa asal" yang menyebabkan kekisruhan finansial sepanjang dekade 1990-an. Hipotesis dosa asal (original sin hypothesis) ini menjadi dasar banyak studi mengenai krisis dan liberalisasi kapital.
Bermula dari liberalisasi sektor finansial dan meningkatnya mobilitas kapital pada awal 1990-an, sektor korporasi bebas mengakses utang ke pasar finansial global. Dengan sistem nilai tukar tetap dan suku bunga di luar negeri yang lebih rendah, sebagian besar perusahaan di Indonesia memilih utang dalam bentuk mata uang asing. Dan akibat insentif tidak langsung dari pemerintah ini (implicit guarantee), hampir semua perusahaan tak melakukan strategi lindung nilai (hedging). Ada dua akibat yang muncul.
Pertama, karena sebagian besar pinjaman berjangka waktu pendek, muncul kesenjangan antara tenggat pembayaran utang dan pendapatan perusahaan (maturity mismatch).
Kedua, karena sebagian besar pinjaman dalam mata uang asing sementara pendapatan dalam mata uang lokal, maka muncul kesenjangan mata uang (currency mismatch).
Buruknya struktur kapital pada neraca perusahaan ini mendorong krisis hingga merontokkan sistem perbankan. Untuk menyelesaikannya, tak urung pemerintah harus turun tangan dengan memperlakukan sistem penjaminan yang sebenarnya (explicit guarantee).
Belum tuntas
Begitulah balance-sheet effects menyerang perekonomian kita. Hingga kini masalah yang ditimbulkan, seperti Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sebagai akumulasi "efek neraca", belum bisa tuntas diselesaikan. Terbukti, "akibat dosa asal" bisa mencapai satu dasawarsa.
Selama ini, perhatian kita hanya tertuju pada ekor dari deretan masalah tadi, yaitu besarnya utang pemerintah. Padahal, utang pemerintah tidak bisa dilepaskan dari perilaku sektor swasta. Dengan begitu, perhatian pada utang luar negeri sektor swasta perlu mendapat prioritas.
Transparansi utang luar negeri pemerintah dan sektor swasta sama pentingnya. Sayang perilaku utang sektor swasta lolos dari pengamatan publik, DPR, pemerintah, dan otoritas moneter sendiri.
Di tengah membaiknya predikat utang pemerintah, agenda yang harus segera dilakukan adalah merancang perangkat yang bisa mendeteksi aliran utang sektor swasta agar tidak terjadi kesalahan yang sama seperti di masa lalu.

A Prasetyantoko Mahasiswa Doktoral Ilmu Ekonomi pada Ecole Normale Supérieure (ENS) – Lsh, Lyon, Perancis