KOMPAS

Kliping artikel Opini KOMPAS, sejak 2001

Sunday, April 16, 2006

Perancis dan Perpaduan Eksplosif

KOMPAS, Kamis, 10 November 2005

Duduk di kursi rotan sebuah beranda Café, menyeruput secangkir kopi dengan aroma sedap sambil berbincang mulai dari soal parfum Channel, tas Longchamps hingga masalah puisi, kesusastraan dan teori sosial (pasca)-modern merupakan ciri khas kota Paris. Namun, kesan itu mendadak berubah dengan berita seputar kerusuhan sosial yang brutal.

Mengapa kerusuhan parah bisa terjadi? ”Kami bukan anjing, tetapi kami diperlakukan seperti binatang,” begitu sekelumit ungkapan gerombolan pemuda asal Arab, Afrika Utara, dan Eropa Timur di pinggiran Paris (Le Monde, 7/11/2005). Hingga Selasa (8/11), kerusuhan memasuki hari ke-12, telah membakar tak kurang dari 4.700 mobil di seluruh Perancis.

Kerusuhan bermula dari kematian dua pemuda (usia 15 dan 17 tahun) di daerah Clichy-sous-Bois (pinggiran Paris) yang bersembunyi dari kejaran polisi di sebuah gardu listrik. Tak jelas benar apa muasal kematian dua pemuda malang itu. Tetapi yang jelas, bak jerami tersulut api, seluruh Perancis menyala akibat kerusuhan.

Sehari setelah kematian dua pemuda itu, 400-an anak muda berhadapan secara brutal dengan 300-an polisi di Chêne-Pointu (di pinggiran Paris). Selanjutnya, kerusuhan meluas dan tak terkendali.

Di Nantes dan Strasbourg, taman kanak-kanak dan sekolah dasar dibakar massa. Di Clermont-Ferrand, pos polisi dilempari bom molotov hingga terbakar. Kantor pajak, pusat kegiatan sosial, gereja hingga tempat penitipan anak turut menjadi korban keberingasan perusuh di seluruh daerah Perancis, meliputi Lyon, Toulouse, Marseille, Lille, dan sebagainya.

Inilah kerusuhan terburuk setelah revolusi (modern) Perancis à la mahasiswa tahun 1968. Tetapi, tentu saja ”jiwa”-nya berbeda. Menurut para analis lokal Perancis—seperti tersiar dalam TV, radio, dan surat kabar—kerusuhan sosial kali ini mencerminkan ”keretakan sosial” yang akut akibat gagalnya proses integrasi para imigran generasi kedua yang umumnya berasal dari Arab dan Afrika Utara.

Para pendatang merasa diperlakukan secara rasial, sementara penduduk asli menganggap para imigran sebagai benalu. Banyak imigran menjadi penganggur dan menikmati berbagai tunjangan sosial dari pemerintah. Sebagian orang Perancis menggerutu, karena tunjangan sosial itu berasal dari pajak yang mereka bayarkan.

Inikah tanda-tanda murungnya masa depan model negara kesejahteraan à la Perancis dan negara Eropa lainnya?

Ekonomi yang murung

Tahun lalu perekonomian Perancis tumbuh sebesar 2,3 persen. Tahun ini, rasanya tak akan sampai 2 persen. Kenaikan harga minyak dunia yang menyentuh angka tertinggi dalam sejarah juga berdampak signifikan terhadap perekonomian Eropa. Pelambatan pertumbuhan ekonomi kawasan Asia dan Amerika Utara juga membuat ekonomi Eropa kian murung. Begitu juga dengan faktor China yang mengancam sektor industri, terutama tekstil.

Sementara itu, inflasi 2,2 persen dan pengangguran 9,8 persen hingga September 2005 merupakan gejala yang menambah suram prospek perekonomian.

Sejak diberlakukan mata uang tunggal Eropa (euro), negara-negara kaya seperti Jerman dan Perancis mengalami pelambatan pertumbuhan ekonomi, disertai gejala inflasi dan pengangguran yang tinggi. Tingginya pengangguran, selain karena melambatnya pertumbuhan ekonomi, juga karena meningkatnya mobilitas pasar tenaga kerja yang mengakibatkan pasar mengalami kelebihan penawaran (over supply). Pekerja murah asal Eropa Timur telah membuat tingkat upah di beberapa negara seperti Jerman dan Perancis tidak kompetitif lagi. Selanjutnya, gejala pemindahan pabrik (delokalisasi) ke kawasan Eropa Timur kian tak terbendung.

Sebaliknya, serikat-serikat buruh di Perancis kian rajin turun ke jalan, menuntut peningkatan upah, penurunan jam kerja atau berbagai tuntutan perbaikan fasilitas lainnya. Semakin keras buruh menuntut, kian banyak pabrik pindah. Konsekuensinya, pengangguran akan terus naik.

Sementara itu, defisit untuk menutup asuransi pengangguran hingga akhir 2005 mencapai 13,6 miliar euro. Diprediksi tahun 2008 nilainya akan turun menjadi 7,1 miliar euro. Penurunan defisit terkait dengan berdampaknya ”program penanggulangan pengangguran” yang diberlakukan Perdana Menteri Dominique de Villepin. Dari program itu, pemerintah berharap mampu memberi pekerjaan kepada 73.000 pekerja baru di tahun 2005.

Program pemberantasan pengangguran ini diharapkan berhasil setelah 2007, di mana jumlah peminta pekerjaan menurun, seiring berakhirnya generasi baby-boomer. Di tahun 2007 dan 2008, akan ada penambahan lapangan pekerjaan sebesar 200.000, sehingga jumlah penganggur akan turun dari 180.000 (2007) menjadi 178.000 (2008). Dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 2 persen per tahun.

Gejala kemurungan ekonomi ini sebenarnya sudah mulai berdampak pada kehidupan sosial-politik dalam Pemilu 2002 lalu. Pada saat ekonomi murung, muncul tokoh kontroversial Jean-Marie Le Pen dari Partai Front Nationale (berideologi ultranasionalis) yang mengusung isu ”pendatang sebagai pencuri lapangan pekerjaan”. Publik sempat terkesima sehingga Le Pen sempat memenangi putaran pertama pemilu presiden. Rupanya, gejala yang sama juga terjadi di negara-negara lain di Eropa: di Belanda partai berhaluan ultranasionalis memenangi pemilu.

Pendeknya, meledaknya kerusuhan sosial tak bisa dipisahkan dari kemurungan ekonomi yang disertai gejala disintegrasi sosial antara pendatang dan penduduk setempat. Setali tiga uang. It takes two. Akibatnya, keretakan sosial meledak dalam bentuk kerusuhan yang brutal.

Respons politik

Koran berhaluan kiri seperti Figaro banyak menyajikan kritik yang menegaskan kegagalan kepemimpinan Presiden Jacques Chirac. Ketika pencalonan dirinya sebagai salah satu kandidat presiden tahun 1995, Chirac meluncurkan buku berjudul La France pour tous (Perancis untuk semua). Faktanya, hari ini Perancis terfragmentasi begitu parah.

Selain meliput ”efek domino” kerusuhan, media massa domestik juga banyak menyoroti persaingan internal di tubuh pemerintahan Chirac. Perdana Menteri Dominique de Villepin dan Menteri Dalam Negeri Nicolas Sarkozy dikenal sebagai seteru yang bersaing dalam pemilu kepresidenan 2007 nanti. Menanggapi kerusuhan ini, kebijakan keduanya sering tidak sinkron.

Lebih dari itu, Sarkozy sebagai representasi partai berhaluan kanan (nasionalis) sering dianggap ekstrem dan tidak ramah terhadap pendatang. Sejak lama, dia dikenal sebagai penentang rezim tunjangan sosial. Bagi para pendatang, dia adalah figur yang membahayakan.

Dalam menghadapi kerusuhan, Sarkozy sebagai menteri dalam negeri dinilai terlalu represif, sehingga bukannya memadamkan aksi perusuh tetapi justru memperburuk situasi. Dia menerapkan prinsip kebijakan zero-tolerance dalam menghadapi kerusuhan.

Dalam wawancara TV, beberapa anggota masyarakat mengakui merebaknya kerusuhan merupakan bagian kekesalan mereka terhadap figur Sarkozy. Sayang, para perusuh menumpahkan kekesalan dengan merusak fasilitas publik. Pagi-pagi, seorang ibu yang ingin menitipkan anaknya dan mendapati tempat penitipan anak terbakar habis mengatakan, ”Meski saya paham kekesalan mereka, tetapi kerusakan fasilitas publik seperti ini tetap tidak logis.”

Begitulah faktanya, masyarakat tidak berjalan linear. Kadang dia bergerak melawan logika modernitas. Dan ternyata, selain menyimpan nilai estetika dalam mode dan kesusastraan, Perancis juga mengandung gejala rasis dan kekerasan, sehingga menghasilkan perpaduan (chemistry) yang eksplosif.

Kenyataan ini menjadi pelajaran penting bagi pemerintah kita yang kini sedang menghadapi masalah berat terkait kebijakan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Meski didukung staf ahli andal (menurut Prof M Sadli), tetapi jika gaya bicara dan respons penguasa tidak menunjukkan empati pada perasaan rakyat, bisa jadi menyulut kebencian yang muncul dalam kerusuhan brutal.

A Prasetyantoko Mahasiswa Doktoral Departemen Ekonomi, Ecole Normale Supérieure (ENS), Lyon, Perancis

0 Comments:

Post a Comment

<< Home