KOMPAS

Kliping artikel Opini KOMPAS, sejak 2001

Sunday, April 16, 2006

Prinsip Kesetaraan

KOMPAS, Selasa, 25 Januari 2005

TERKAIT dengan persetujuan penundaan pembayaran utang (debt-relief) oleh Paris Club (12/1), salah satu isu yang mengemuka adalah penerapan prinsip kesetaraan (comparability) pinjaman pemerintah dengan utang swasta. Inilah salah satu pokok keprihatinan pemerintah.

Dalam KTT tsunami di Jakarta (6/1), yang dihadiri 25 kepala negara dan para menteri serta sembilan petinggi organisasi regional/internasional (seperti Bank Dunia, Perserikatan Bangsa-Bangsa/ PBB, dan ADB), disepakati berbagai paket bantuan (hibah dan pinjaman) dengan alasan kemanusiaan. Namun, dalam Paris Club (konsorsium 21 negara kreditor), penangguhan pembayaran 3 miliar dollar AS utang Pemerintah Indonesia yang jatuh tempo pada tahun ini mensyaratkan kesetaraan dengan utang swasta. Adakah kontradiksi di sana?

Sebenarnya, prinsip kesetaraan menjawab kerisauan beberapa ekonom dan pejabat teras soal moratorium. Mereka khawatir penundaan pembayaran utang akan menurunkan peringkat utang Indonesia sehingga kredibilitas Indonesia di mata investor dan pemerintah asing akan menurun. Jika peringkat utang turun, pemerintah akan kesulitan meminta komitmen pinjaman baru, sementara pasar finansial bisa bereaksi negatif dan brutal. Menteri Ekonomi Jerman Wolfgang Clement dan Menteri Keuangan Jerman Hans Eiclel mengatakan, prinsip kesetaraan dengan utang swasta ditempuh agar moratorium tidak menurunkan peringkat utang Indonesia. Jadi, siapa yang tidak konsisten?

Kalau para pejabat konsisten dengan keprihatinannya, mereka seharusnya menerima prinsip kesetaraan tersebut. Kita mau moratorium, tetapi tidak ingin peringkat utang melorot. Kita sangat peduli dengan "penilaian pasar", tetapi kita menolak prinsip-prinsip pasar.

Logika pasar

Sudah sejak semula, terkait dengan komitmen bantuan sebesar 3 miliar dollar AS dari peserta KTT tsunami di Jakarta, Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan mengingatkan adanya gejala adu kecantikan (beauty contest). Uni Eropa memberi komitmen pinjaman dan hibah sebesar 1,5 miliar euro (2 miliar dollar AS), sementara Jepang 500 juta dollar AS, Inggris 180 juta dollar AS, dan Singapura 10 juta dollar AS. Kita seperti dibuai oleh janji para pemimpin negara maju.

Begitu bertemu dalam forum Paris Club, suasananya menjadi berbeda. Bersama Sri Lanka dan Seychelles, Indonesia mendapat persetujuan penjadwalan utang (moratorium) sebesar 3 miliar dollar AS yang jatuh tempo pada tahun 2005 ini. Sebagaimana ditegaskan oleh Presiden Paris Club Jean-Pierre Joyuet, moratorium mencakup total utang senilai 270 miliar dollar AS. Dia menambahkan, penangguhan tersebut diberikan tanpa syarat apa pun.

Terhadap tawaran tersebut, Thailand dan India menyatakan menolak. Sementara Indonesia menerima tawaran tersebut dan sekarang berupaya keras menagih janji para kreditor yang katanya "dermawan" itu. Dan kali ini, kita harus berhadapan dengan "logika pasar" sebagai latar belakang dari seluruh keputusan terebut.

Prinsip kesetaraan diberlakukan dengan maksud agar penangguhan pinjaman tidak diselewengkan untuk keperluan yang lain. Negara yang pernah memperoleh moratorium adalah Irak. Selain memiliki utang kepada negara-negara yang tergabung dalam Paris Club, Irak juga memiliki utang terhadap Arab Saudi dan pihak-pihak swasta lain. Prinsip kesetaraan diterapkan agar penangguhan utang dari Paris Club tidak digunakan Irak untuk membayar utang mereka terhadap Arab Saudi atau kreditor swasta lainnya.

Dalam kasus Irak, JP Morgan (salah satu lembaga pemeringkat utang) menyatakan, "..., non-Paris Club officials creditors will provide a similar level of debt relief."Artinya, ada kesetaraan antara skema penundaan utang yang diberikan oleh Paris Club dan pihak lain. Hanya dengan cara ini, kredibilitas Irak dalam sistem finansial global dapat terpelihara, demikian menurut JP Morgan.

Dalam kasus moratorium terhadap negara-negara korban gempa bumi dan tsunami, para kreditor (Paris Club) menginginkan agar penangguhan tersebut benar-benar digunakan untuk membantu para korban, bukan untuk membayar utang pada kreditor lain. Tanpa prinsip kesetaraan, manfaat yang akan didapat Indonesia akan jauh lebih kecil ketimbang biaya yang muncul akibat hilangnya reputasi di pasar finansial global.

Sementara itu, kredibilitas sangat dibutuhkan manakala pemerintah berniat menerbitkan surat utang baru (obligasi pemerintah), misalnya. Demikian para analis keuangan menggunakan logika pasar mereka.

Kredibilitas

Pasar finansial telah menjadi hukum tertinggi abad ini. Tak salah jika banyak ahli menyebut metamorfosis sistem kapitalisme telah memasuki generasi ketiga, yaitu "kapitalisme finansial". Rajan & Zingales (2003) menjelaskan, berkembangnya sistem pasar finansial global merupakan parameter semakin sempurnanya pengakuan terhadap hak milik pribadi (private property right). Hanya dalam sistem di mana hak milik pribadi diakui secara penuh, sistem finansial akan tumbuh secara pesat.

Bahkan di Amerika, di awal tahun 1970-an, pasar uang belum ada, tetapi sekarang mencapai 2 triliun dollar AS. Di kuartal keempat tahun 2001 saja, omzet (turn-over) perdagangan seluruh produk derivasi pasar uang telah mencapai 163 triliun dollar AS (setara dengan 16 kali pendapatan domestik bruto tahunan AS). Demikian juga di awal 1960-an, pasar kartu kredit nyaris belum muncul, tetapi pada akhir 2001 sudah mencapai 700 miliar dollar AS.

Sama halnya dengan perusahaan penyalur modal bagi pembukaan usaha-usaha baru (venture capital). Di tahun 2000, sudah tersalur sekitar 100 miliar dollar AS untuk membiayai 5.606 perusahaan baru. Perkembangan ini menandai semakin sempurnanya sistem kapitalisme finansial global.

Melihat konstelasi ini, institusi negara, korporasi, apalagi individu tak lagi bisa mengelak dari hukum pasar finansial global. Jadi, reputasi dalam pusaran finansial global menjadi orientasi utama setiap pilihan kebijakan. Dalam konteks ini, prasyarat kesetaraan (comparability treatment) yang diterapkan para kreditor dalam kasus moratorium utang Indonesia merupakan sesuatu yang wajar saja. Kalau tidak ingin masuk dalam logika ini, lebih baik mengambil sikap seperti Thailand dan India yang menolak moratorium.

Meski sudah menerima tawaran moratorium, ada baiknya jika pemerintah tidak tunduk begitu saja dengan berbagai prasyarat yang diminta para kreditor. Asalkan, pemerintah berani memberikan jaminan (collateral) berupa kredibilitas dalam pengelolaan pinjaman. Sayangnya, media barat telanjur memiliki keraguan terhadap Pemerintah Indonesia dalam rangka rekonstruksi Aceh.

Michael Vatikiotis (International Herald Tribune, 11/1/ 2005) ragu Pemerintah Indonesia mampu mengelola seluruh pasokan dana ke Aceh secara benar mengingat korupsi sudah merajalela di seluruh birokrasi. Sementara The Financial Times (10 dan 11/1/2005) menyangsikan integritas Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait dualisme kepemimpinan sipil- militer di Aceh. Mengingat latar belakang militer sang presiden, sedangkan Aceh pernah menjadi daerah tertutup yang menyembunyikan sejarah kekejaman militer di daerah itu.

Pendeknya, media Barat pada umumnya tidak begitu percaya akan kredibilitas Pemerintah RI dalam rangka memulihkan Aceh, termasuk di dalamnya mengenai pengelolaan bantuan (hibah/pinjaman). Dengan demikian, ketika pemerintah masuk dalam skema tawaran moratorium, mau tidak mau harus menerima prinsip kesetaraan. Kecuali, pemerintah masih akan memobilisasi kekuatan politisnya untuk menolak logika pasar tersebut.

Dalam sistem pasar finansial global ini, tidak mudah berkelit dan mengelak dari prinsip- prinsip fleksibilitas pasar. Sekali masuk dalam pusaran itu, dan mencoba mengikuti hukumnya, tak lagi bisa menghindar untuk tersedot masuk sampai ke pusat pusarannya. Hanya dengan kemauan dan kesungguhan yang didukung oleh kredibilitas yang tinggi, pemerintah bisa terlepas dari arus tersebut.

A Prasetyantoko Pengajar di Universitas Atma Jaya-Jakarta

0 Comments:

Post a Comment

<< Home