KOMPAS

Kliping artikel Opini KOMPAS, sejak 2001

Thursday, November 01, 2007

Instabilitas dan Institusi

10 September 2007

Di hari ini, sulit membayangkan dinamika ekonomi tanpa gejolak. Dan gejolak tersebut umumnya digerakkan oleh bagaimana sirkulasi kapital terjadi dalam sistem ekonomi, baik dalam bentuk tradisional (kredit) maupun kontemporer (investasi finansial). Apa makna dan relevansinya bagi kehidupan ekonomi kita hari ini?
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) baru saja menyetujui target pertumbuhan ekonomi RAPBN-P 2007 sebesar 6,3 persen. Target tersebut akan ditopang dengan peningkatan kinerja ekspor serta realisasi investasi. Meski begitu, target pertumbuhan tidak akan tercapai jika uang tidak dipompa dari sektor perbankan.
Kalangan DPR juga menekankan agar Bank Indonesia berusaha lebih keras mendorong ekspansi perbankan membiayai sektor riil. Menurunkan suku bunga pinjaman yang saat ini masih berada di kisaran 14 persen menjadi salah satu implikasi penting. BI mencatat angka penyerapan kredit baru mencapai 80 persen. Dari plafon kredit yang direncanakan perbankan masih ada lebih dari Rp 150 triliun menganggur di bank.
Sehingga, salah satu agenda terpenting dalam ekonomi kita saat ini adalah menyalurkan kredit ke sektor produktif. Karena dengan begitu target pertumbuhan ekonomi akan tercapai.
Sirkulasi Kapital
Penyaluran kredit adalah bagian dari peran uang (sistem moneter) dalam ekonomi. Dalam bahasa yang lain, kita sedang bicara soal sirkulasi kapital. Isu tersebut sama sekali bukan tema baru. Schumpeter telah mempelopori kajian tentang bagimana uang mempengaruhi dinamika ekonomi.
Apakah uang bersifat netral? Menurut aliran utama atau (neo)-klasik, uang hanya bersifat sebagai “pelumas” yang akan melancarkan kegiatan ekonomi saja. Jadi uang bersifat netral. Namun Schumpeter, didukung Keynes, menolak asumsi tersebut. Mereka menyatakan, uang tidak netral karena dialah motor dari fluktuasi dan instabilitas ekonomi.
Dalam keyakinan kedua tokoh, uang tercipta karena ada permintaan dari sektor produktif (demand approach), dan bukan terjadi secara suka rela serta bisa ditawarkan begitu saja (supply approach). Jadi motor utama perekonomian adalah sektor riil dan bukan sektor finansial.
Ada dua tahap hubungan uang dengan sektor produktif. Tahap pertama, uang mengalir karena ada proses inovasi (creative destruction) yang akan memompa dinamika ekonomi ke arah kemakmuran. Namun, pada tahap kedua, ketika ekonomi sudah makmur, uang akan memfasilitasi perilaku spekulasi. Dan akibatnya, uang akan mendorong resesi. Begitulah siklus bisnis terbentuk.
Dalam kehidupan sehari-hari kita bisa dengan mudah menemukan bentuk konkritnya. Kalau ada orang yang sedang memulai usaha, umumnya mereka akan berhati-hati merencanakan bisnisnya. Tetapi begitu sukses, dia akan cenderung bersifat ekspansif dan kurang berhati-hati terhadap masa depan. Dan, kredit yang mengucur pada orang yang cenderung spekulatif akan mendorong ekonomi ke arah resesi. Masa inovasi, kemakmuran, resesi dan bangkit kembali merupakan siklus alamiah yang terus menerus ada dalam ekonomi.
Ungkapan Ketua Dewan Pertimbangan Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Seluruh Indonesia (Gapensi) berikut ini bisa menjadi ilustrasi yang baik dari siklus ekonomi: "Setelah resesi 1997-2002, dunia jasa konstruksi Indonesia akan mengalami lonjakan proyek hingga beberapa tahun mendatang, sebab Indonesia mulai giat membangun," KOMPAS (28/8).
Ada implikasi penting pada kondisi ekonomi kita hari ini. Pertama, menganggurnya uang di bank tidak sepenuhnya menjadi kesalahan perbankan. Sektor riil yang tidak bergerak bisa jadi merupakan faktor yang lebih signifikan. Sementara, restrukturisasi sektor riil menjadi perkara rumit yang sudah sejak lama didiskusikan, tetapi selalu mandul di tingkat implementasi.
Kedua, jika sektor riil mulai bergerak, dan dana mulai tersedot, ada risiko lain yang datang, yaitu munculnya sikap spekulasi dan kecerobohan menggunakan uang (kredit). Maka dari itu, menggerakkan sektor riil harus disertai juga dengan pembangunan institusi hukum, sehingga uang hanya mengalir pada kegiatan yang benar-benar inovatif dan bukan spekulatif.
Dalam kaca mata mikro, tidak ada jaminan pencairan kredit akan meningkatkan produktivitas. Atau secara makro, tidak ada jaminan masuknya uang pada perekonomian yang mendorong pertumbuhan ekonomi akan menambah peluang kerja serta membantu mengatasi kemiskinan. Diskusi ini bisa diperas menjadi soal kualitas pertumbuhan ekonomi.
Spekulasi
Minsky meneruskan tradisi Keynes dan Schumpeter dalam kajian finansial, sehingga pemikirannya sering disebut ‘financial keynesianism’. Dia berargumen, kualitas ekonomi akan ditentukan oleh sehat tidaknya neraca (perilaku) keuangan unit-unit dan agen-agen ekonomi dalam skala mikro. Dalam ekonomi tradisional perusahaan adalah agen penting dalam ekonomi. Dan dalam ekonomi modern, investor finansial mengambil peran sangat aktif.
Kontribusi Minsky adalah melakukan pembagian unit-unit ekonomi dalam tiga kategori: unit yang berhati-hati (hedge), berspekulasi dan ceroboh (ponzi). Apa yang mendorong sikap ceroboh itu? Dalam situasi stabil, minat untuk memburu keuntungan makin menguat, sehingga spekulasi makin tinggi. Jadi, sumber instabilitas adalah stabilitas itu sendiri.
Perilaku ini terjadi baik dalam sektor riil (penggunaan kredit) maupun sektor finansial (investasi keuangan). Pengaruh instabilitas finansial yang makin penting di hari ini hanya menunjukkan bahwa proporsi sektor finansial dalam perekonomian makin signifikan.

Secara sederhana, pemikiran ‘Schumpeter-Keynes-Minsky’ ini mencoba membangunkan kesadaran bahwa ekonomi tidak bekerja secara alamiah, melainkan dijalankan oleh para pelaku ekonomi yang pada dirinya mengandung faktor psikologi, sosial, hukum, politik serta faktor-faktor institusi lainnya.
Sayangnya, dengan cepat kita tergoda untuk segera meremehkan diskusi seperti ini sebagai sesuatu yang teoritis dan tak berguna. Sementara yang kita anggap berguna hanyalah soal-soal prakmatis, bagimana menggerakkan sektor riil, menyalurkan uang dan akhirnya memperoleh hasil (keuntungan). Tanpa mau tau bagaimana sirkulasi kapital terjadi dalam sistem ekonomi.
Nampaknya kesadaran inilah yang mendominasi berbagai target pencapaian pertumbuhan ekonomi serta visi Indonesia 2030.
Jika begitu, kita sedang memecahkan masalah dengan mengundang masalah baru.

A Prasetyantoko Pengajar Unika Atma Jaya- Jakarta; Sedang Menyelesaikan Program Doktoral di ENS-Lsh, Perancis

0 Comments:

Post a Comment

<< Home