KOMPAS

Kliping artikel Opini KOMPAS, sejak 2001

Sunday, April 16, 2006

Perangkap Neoliberal

KOMPAS, Senin, 28 Maret 2005

BAGI ahli sejarah setiap kejadian adalah unik. Sebaliknya, minat para ekonom menemukan kejadian-kejadian yang berulang dalam sejarah. Sejarah bersifat partikular dan ekonomi bersifat general. Begitu kata Charles Kindelberger (1978).

Para ekonom tengah memperdebatkan hasil penelitian Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM-UI) tentang dampak pengurangan subsidi bahan bakar minyak/BBM (baca: kenaikan harga BBM) terhadap angka kemiskinan. Kisahnya agak lain dari sekadar perdebatan akademis di kampus.

Kali ini, secara terbuka angka-angka temuan penelitian dipampang untuk meyakinkan orang akan sebuah kebijakan. Dengan angka-angka itu pula sekelompok intelektual merasa memiliki legitimasi moral untuk merekomendasi sebuah kebijakan kepada pemerintah melalui sebuah iklan. Yang terpenting, angka-angka hasil penelitian tersebut telah menjadi referensi penting dari kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak.

Tim LPEM-UI meyakini pencabutan subsidi BBM yang disertai dengan pemberian kompensasi subsidi (pangan, pendidikan, dan kesehatan) akan berdampak pada penurunan angka kemiskinan. Sementara itu, sama-sama menggunakan model computable general equilibrium (CGE), Rina Oktaviani dari Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor (FEM-IPB) memiliki hasil perhitungan yang berbeda. Kompensasi subsidi hanya akan mendongkrak daya beli masyarakat sebesar 0,6 persen, sementara dampak pencabutan subsidi BBM akan mendorong inflasi sebesar 2,80-3,02 persen (Kompas, 14/3).

Tim Indonesia Bangkit mempersoalkan legitimasi penelitian LPEM-UI. Terlepas dari masalah metodologis yang tengah diperdebatkan itu, tampaknya ada pula persoalan epistemologis di dalamnya. Selain dari sudut pandang metodologis, sebuah penelitian umumnya dikaji dari sudut pandang perumusan konsep yang berhubungan dengan sebuah kriteria "kebenaran" tertentu (relatif). Karena pada prinsipnya, sebuah metode (model) bisa diatur untuk melayani (menggugat atau menguatkan) sebuah konsep kebenaran tertentu.

Neoliberal

Daoed Joesoef (Kompas, 16/3) membuat analogi pernyataan Menteri Koordinator Perekonomian tentang ketidakmampuan rakyat membeli elpiji dengan kata-kata sinis Ratu Marie Antoinette (istri Raja Louis XVI) di hadapan rakyat Paris yang lapar. Kita tahu, Antoinette-putri Raja Francois I dari Austria-harus menemui ajal secara mengenaskan di papan guillotine. Dia berada di dalam sistem kekuasaan yang diidamkannya pada saat yang tidak tepat. Rakyat sedang kelaparan, negara sedang dilanda krisis keuangan yang parah, sementara warga Paris tengah marah pada simbol kekuasaan yang mewah.

Di mata sejarah setiap kejadian penting dan kita bisa banyak belajar darinya. Kisah tragis Ratu Antoinette bisa bertutur banyak atas kejadian aktual di masa sekarang ini. Sayangnya, para ekonom hanya peduli pada kejadian yang berulang karena di sana bisa ditemukan model guna memprediksi masa depan.

Di mata ekonom krisis tak lebih dari sekadar kejadian yang berulang, bisa terjadi kapan saja dan di mana saja. Studi Tornell & Westernmann (2004) menunjukkan, krisis yang melanda negara sedang berkembang merupakan efek samping (by product) dari liberalisasi sektor finansial. Meskipun ada risiko krisis, liberalisasi sektor finansial tetap diperlukan bagi perekonomian karena dia mendorong pertumbuhan.

Di negeri kita sebagian besar ekonom juga meyakini krisis disebabkan oleh tidak bekerjanya sistem pasar dengan baik. Jadi, solusinya: deregulasi, liberalisasi, dan privatisasi (Washington Concensus). Sama halnya dengan Dana Moneter Internasional (IMF) yang datang dengan rumus yang klasik: krisis harus diakhiri dengan cara menaikkan suku bunga, menurunkan defisit serta melakukan gerak stabilisasi dan privatisasi.

Dalam logika ini setiap kegagalan liberalisasi hanya bisa dipecahkan dengan kebijakan liberalisasi yang lebih maju. Sejarah pun terus berulang; liberalisasi terus-menerus dijalankan sebagai proyek berkesinambungan. Dalam kasus pencabutan subsidi BBM tampaknya kita terperangkap dengan logika ala neoliberal ini. Masalahnya, pencabutan subsidi BBM terkait langsung dengan masalah "rakyat yang lapar" dan kali ini proyek liberalisasi justru menyeret kita pada masalah politik dan sosial yang kompleks.

Bernard Walleser (2000), dosen di EHESS-Paris, dalam bukunya L’économie Cognitive mengkritik pendekatan ekonomi atas dua ketimpangan utama; rasionalitas individual dan keseimbangan kolektif. Pendekatan utama (mainstream) ilmu ekonomi terlalu meyakini, secara individu manusia memiliki rasionalitas yang sempurna dan akibatnya, secara kolektif akan selalu terjadi keseimbangan umum (general equilibrium).

Pada dasarnya, rasionalitas manusia bersifat terbatas (bounded rationality). Karena itu, keseimbangan kolektif akan terjadi secara evolutif dan tidak tunggal (multiple equilibria). Aktor ekonomi, bukan semata pencari kepuasan maksimal (homo economicus), tetapi juga pemikir (homo cogitans) dan juga pembelajar (homo adaptans). Kelemahan epistemologis inilah yang membuat pendekatan ekonomi terkadang cedera karena terlalu meyakini rasionalitas, informasi, dan mekanisme pasar yang dianggap selalu berjalan dengan sempurna, sementara faktor-faktor kelembagaan sering dilalaikan begitu saja.

Kelembagaan

Kalkulasi dampak pencabutan subsidi oleh LPEM-UI sama halnya dengan kebijakan menaikkan harga BBM itu sendiri, terlalu berorientasi pada tujuan akhirnya dalam jangka panjang dan mengabaikan realitas jangka pendeknya. Dalam logika ilmu pengetahuan, gejala ini dinamai gejala teleologis.

Mungkin benar bahwa tujuan akhir pencabutan subsidi BBM tak mungkin dielakkan lagi. Tapi mungkin juga tidak tepat melakukannya sekarang. Ibarat seorang dokter harus mengoperasi kanker dalam situasi pasien yang tidak sehat. Persoalannya bukan tindakan melakukan operasi itu sendiri, tetapi pilihan momentumnya. Argumen pemerintah, penundaan pencabutan berarti potensi kerugian negara karena harus terus memberi subsidi, justru menyulut kemarahan rakyat. Etiskah jika memberi subsidi kepada rakyat yang hidupnya sudah berat dianggap beban, sementara penjaminan perbankan dianggap sebagai biaya krisis?

Dan lagi, di antara jajaran kabinet ada pengusaha yang dulunya masuk dalam daftar 200 debitur terbesar di bawah kendali Aset Manajemen Kredit Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Dengan kata lain, mereka juga turut menikmati fasilitas penjaminan pemerintah meski tidak langsung. Dalam daftar panjang debitur tersebut terdapat nama-nama perusahaan, seperti Bakrie & Brothers PT (manufaktur), Bakrie International Finance (industri jasa), Bakrie Investindo PT (industri jasa), dan Bakrie Nirwana Resort PT (hotel/restoran).

Pantas saja, keraguan atas kredibilitas kebijakan publik dari pemerintah begitu kuat terasa di kalangan rakyat. Tim Indonesia Bangkit secara tegas merekomendasikan pengganti- an menteri, sebelum kredibilitas menggerogoti posisi presiden sendiri. Bisa jadi, rekomendasi ini memiliki agenda politis. Meskipun begitu, masyarakat luas merasakan urgensinya.

Faktor kelembagaan luput dalam kalkulasi para penganjur pencabutan subsidi BBM. Pencabutan subsidi dilakukan dalam situasi penuh korupsi yang tampak belum meyakinkan diatasi sehingga membuka luka lama di kalangan mahasiswa. Selain itu, kenaikan harga BBM telah menjadi momentum bagi terbukanya tarik-menarik kepentingan di parlemen. Karena itu, perdebatan menjadi sangat panjang dan melelahkan. Sudah pasti realitas seperti ini tidak akan teradopsi dalam sebuah model ekonomi secanggih apa pun.

Mungkin benar, para ekonom perlu banyak belajar dari ahli sejarah agar kisah tragis di akhir kehidupan Antoinette tak perlu menjadi model yang terulang kembali.


A Prasetyantoko Mahasiswa Doktoral Departemen Ekonomi, Ecole Normale Supérieure (ENS) de Lyon, Perancis

0 Comments:

Post a Comment

<< Home