KOMPAS

Kliping artikel Opini KOMPAS, sejak 2001

Sunday, April 16, 2006

Era Baru Tata Kelola Korporasi

KOMPAS, Senin, 30 Mei 2005

KETIKA dugaan korupsi dalam penyaluran kredit di Bank Mandiri senilai lebih dari Rp 1 triliun mencuat, saya berdiskusi dengan rekan mahasiswa doktoral di Universitas Paris I yang juga seorang wartawan sebuah harian terkemuka di Jakarta. Saat itu, Neloe diperkirakan tak mungkin masuk bui.

Sungguh surprised, Neloe bersama dua direktur, I Wayan Pugeg (Wakil Dirut) dan M Sholeh Tasripan (Direktur Corporate Banking), menjadi tersangka.

Bagi orang yang tidak berada di Tanah Air, penangkapan "orang-orang penting" bagai cerita detektif. Berita penangkapan petinggi Bank Mandiri beriringan dengan langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap korupsi di Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Inilah era baru pemberantasan korupsi sekaligus penegakan tata kelola korporasi di Tanah Air. Benarkah? Karena hanya bersumber dari media, sebagian besar publik di luar negeri kadang dihinggapi keraguan: tidakkah ini hanya bagian permainan politik atau "manajemen kesan" yang sedang dijalankan pemerintah berkuasa? Namun, daripada digerogoti rasa apriori, lebih baik berpartisipasi mendorong usaha yang sudah dimulai ini.

Terhadap perkembangan terakhir pemberantasan korupsi, ada dua hal penting pantas disorot. Pertama, pemberantasan korupsi menjadi bagian penting mewujudkan tata kelola korporasi pada tiap perusahaan. Selama ini, meski waktu terus berlalu dan zaman terus berganti, korupsi dan inefisiensi terus terjadi. Maka, pemberantasan korupsi menjadi urgensi kini dan di sini.

Kedua, ke mana sebaiknya mulut pemberantasan korupsi diarahkan guna mendapat kualitas kelembagaan memadai di tingkat manajemen pemerintahan (good governance) dan tata kelola korporasi (good corporate governance)?

"Macro-governance"

Sejak krisis ekonomi, wacana tata kelola korporasi mengemuka. Tetapi lain wacana lain realitanya. Survei Corporate Governance Perception Index (CGPI) yang dilakukan Indonesian Institute for Corporate Governance (IICG) bersama majalah SWA menunjukkan realita menyedihkan. Belum lagi masuk substansi survei, tingkat partisipasi responden menunjukkan begitu inferiornya isu tata kelola di kalangan perusahaan publik.

Pada survei keempat tahun 2004, dari sekitar 330 perusahaan yang tercatat di BEJ, hanya 22 perusahaan yang bersedia menjadi responden. Sejak survei pertama, perusahaan yang bersedia mengikuti survei selalu kurang dari 10 persen dari total perusahaan publik di BEJ. Tahun 2001 responden hanya 22 emiten, tahun 2002 menjadi 33 emiten, dan tahun 2003 hanya 34 emiten yang bersedia menjadi responden.

Bagi orang yang sedikit belajar tentang tata kelola korporasi, kenyataan ini tidak terlalu mengejutkan. Di mana pun, tata kelola korporasi pada setiap perusahaan secara individual merupakan cermin sistem tata kelola secara nasional. Dengan kata lain, tata kelola secara mikro (micro- governance) amat ditentukan tata kelola secara makro (macro-governance). Sehingga, di tengah amburadulnya tata kelola pemerintahan selama ini, wajar tata kelola korporasi tidak berkembang baik.

Selama ini, tata kelola korporasi sering hanya direduksi dalam pengertian mikro, seperti didefinisikan dalam prinsip-prinsip tata kelola, seperti transparansi, independensi, kewajaran, akuntabilitas, dan responsibilitas. Ada pula penilaian tata kelola korporasi, masih dalam skala mikro, dari struktur kepemilikan (ownership structure), kehadiran komisaris independen atau sistem penggajian eksekutif.

Pertama-tama, tata kelola korporasi merupakan konsep makro. Kita mengira model perusahaan negara (BUMN) dan perusahaan keluarga menjadi masalah utama inefisiensi sebagaimana terjadi di negara kita. Padahal, BUMN lazim di Singapura, sementara di Taiwan dan Hongkong model perusahaannya berbasis keluarga. Mengapa mereka tetap efisien dan kita tidak? Jawabannya, mereka memiliki sistem nasional yang baik dalam tata kelola korporasi. Tata kelola korporasi tidak semata ditentukan oleh kualitas tiap perusahaan, tetapi terlebih oleh sistem makro yang melingkupinya.

Dengan begitu, asumsi di balik privatisasi sejumlah BUMN sering tidak relevan. Privatisasi dan tata kelola korporasi adalah dua hal berbeda dan bisa tidak saling berhubungan. Dalam sistem nasional yang korup, privatisasi justru menimbulkan persoalan baru. Pertama, privatisasi berisiko menjadi ladang korupsi. Kedua, masuknya investor asing melalui privatisasi kemungkinan besar akan berdampak positif bagi kinerja individu perusahaan, tetapi jika sistem nasional masih korup, bisa jadi investor baru akan memindahkan usahanya ke negara lain.

Kerangka macro-governance amat penting menanggapi indikasi korupsi di sejumlah BUMN yang kini berkasnya di tangan Tim pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Tugas utama tim baru yang dibentuk melalui Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2005 ini menguak tindak pidana korupsi di sejumlah BUMN dan lembaga pemerintah lainnya.

Tentang BUMN, dari 158 perusahaan dengan aset Rp 1,313 triliun, hanya menghasilkan laba Rp 25 triliun. Bahkan ada 13 BUMN terus merugi. Dikorupsi atau tidak, faktanya BUMN sebagai unit bisnis amat buruk. Parahnya, kinerja buruk menimpa BUMN besar seperti Pertamina, Garuda Indonesia, PT Perusahaan Listrik Negara, dan Perhutani.

BUMN perlu diprivatisasi, tetapi privatisasi bukan satu-satunya solusi. Dalam macro-governance yang baik, siapa pun pemilik perusahaan: negara atau keluarga, swasta asing atau lokal, tidak penting. Yang lebih penting, membangun tata kelola secara makro. Dan dalam konteks ini, peran lembaga seperti KPK dan Tipikor menjadi sangat signifikan.

Ke mana kita?

Dua hal perlu diperhatikan dalam membangun tata kelola korporasi. Secara mikro perlu dilakukan penataan ulang, seperti privatisasi dan divestasi guna memengaruhi kepemilikan, mengganti dirut, menghadirkan komisaris independen, menyusun sistem penggajian, dan sebagainya. Juga penerapan prinsip "normatif" tata kelola korporasi, seperti transparansi, independensi, kewajaran, akuntabilitas, dan responsibilitas perlu digalakkan.

Namun, tak ada artinya mengembangkan micro-governance tanpa membangun macro-governance. Pemburuan terhadap koruptor perlu dilanjutkan di segala level, baik di BUMN maupun lembaga pemerintah. Pada gilirannya, sektor swasta akan terpengaruh secara positif.

Saat ini, Tipikor tengah berkonsentrasi membenahi BUMN. Namun, pemerintah juga pernah amat menentukan nasib perusahaan swasta melalui BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional). Cukup beralasan dalam usaha membangun kualitas kelembagaan yang baik, pemberantasan korupsi juga diarahkan ke lembaga yang pernah begitu berkuasa ini.

Bisa dipastikan, seluk-beluk korupsi di KPU tidak sebanding dengan rumit dan besarnya indikasi korupsi yang melanda BPPN. Tidaklah adil bagi anggota KPU yang harus menghadapi tuduhan dan cercaan, sementara petinggi BPPN, meski sudah berlalu, tidak pernah disentuh.

Kita menunggu langkah pemberantasan korupsi hingga ke akarnya yang sebagian besar bersarang di lembaga bentukan pemerintah bernama BPPN.

A Prasetyantoko Mahasiswa Doktoral Departemen Ekonomi, Ecole Normale Supérieure (ENS) de Lyon, Perancis

0 Comments:

Post a Comment

<< Home