KOMPAS

Kliping artikel Opini KOMPAS, sejak 2001

Sunday, April 16, 2006

Rubrik Finansial: Perbankan, dari Korporasi Menuju Konsumsi

KOMPAS, Selasa, 21 Oktober 2003

KELUAR dari mulut buaya, masuk mulut singa. Inilah istilah paling cocok untuk menggambarkan dunia perbankan kita. Jika dulu kredit banyak disalurkan ke korporasi sehingga macet, kini mereka berlomba memompa kredit konsumsi. Apa risikonya?

PADA tahun 1998, total penyaluran kredit perbankan kepada sektor konsumsi adalah sebesar Rp 31,754 miliar. Dan pada bulan Juni 2003, nilainya sudah melonjak menjadi Rp 89,725 miliar. Lonjakan tersebut, secara kasat mata muncul dalam fenomena di sekeliling kita. Bisa dipastikan, di setiap mal atau tempat perbelanjaan akan ditemukan counter yang menawarkan, mulai kartu kredit baru, pinjaman lunak untuk rumah, mobil, TV, kulkas hingga pesawat radio.

Dalam jangka pendek, melonjaknya sektor konsumsi ini bisa diartikan sebagai mulai pulihnya perekonomian. Orang sudah mulai berbelanja kembali barang konsumsi. Logikanya, jika permintaan di pasar naik, produksi juga akan terdorong naik, dengan asumsi cateris paribus (faktor-faktor lainnya tetap). Masih ditambah berbagai indikator utama (leading indicators) lainnya, seperti tingkat penjualan sepeda motor, mobil, semen, dan sebagainya. Pemulihan ekonomi terasa makin mantap. Jangan lupa, ini hanyalah gejala sesaat.

Meriahnya pembangunan mal dan tempat belanja di hampir seluruh sudut Kota Jakarta adalah bukti geliat sektor konsumsi. Dalam jangka panjang, gejala ini akan menjadikan perekonomian kita terjebak kembali dalam pertumbuhan yang bongsor. Besar, tapi tak berisi (bubble economy). Dan jika dulu, krisis dipicu sektor finansial, bisa jadi nanti ancaman akan datang dari sektor riil.

Arsitektur finansial

Dilihat secara arsitektural, perbankan menguasai aset industri keuangan sangat signifikan. Pada tahun 2002, aset total perbankan menguasai 90,46 persen pangsa pasar keuangan di Indonesia. Pangsa pasar perbankan tersebut ternyata hanya dikuasai 20 bank terbesar. Dari potret ini, sudah muncul indikasi adanya ketimpangan dalam pasar finansial.

Dari total jumlah bank sebanyak 138 bank, 20 bank telah menguasai pangsa pasar 82,81 persen. Sisanya, 118 buah bank hanya menguasai 17,19 persen pangsa pasar. Di antara daftar ke-20 bank tersebut, muncul nama-nama bank asing, seperti Citibank, HSBC (The Hongkong & Shanghai Bank Corporation), ABN-Amro, Deutsche Bank, dan Standard Charterd. Kenyataan ini menunjukkan sektor finansial kita merupakan pasar potensial bagi investor asing.

Di antara bank asing ini, Citibank menempati ranking ke-5 sebagai bank terbesar memberikan kredit konsumsi. Sementara itu bank asing yang masuk ke sektor kredit konsumsi lainnya adalah HSBC, Standard Charterd, ABN-Amro, American Express, Deutsch Bank, Bank of Tokyo-Mitsubhisi, Chase Manhattan, Bank America, dan Bangkok Bank.

Rupanya, kredit konsumsi sangat menggairahkan para pengelola perbankan asing. Sekali lagi, kenyataan ini menunjukkan betapa sektor konsumsi telah menjadi "ladang baru" pencarian laba bisnis perbankan dalam skala global.

Perilaku dunia perbankan sama seperti petani tradisional. Jika tetangga menanam padi, semuanya ikut. Kalau ada yang mencoba menanam kentang, yang lainnya turut pula. Justru karena perilaku inilah, petani tidak pernah menuai hasil memuaskan. Karena seragamnya produksi tanaman, setiap kali panen, pasar mengalami kejenuhan pasokan (oversupply). Harga produksi pun turun.

Hampir semua bank sekarang ini berlomba-lomba meningkatkan kredit konsumsinya. Lihat saja sederet acara di TV yang disponsori bank, semuanya berujung pada iklan untuk menggunakan kartu kredit dan memanfaatkan kemudahan kredit untuk keperluan konsumsi. Demikian juga daya tarik yang ditawarkan ke nasabah baru. Jika di antara deretan para penabung baru di bank itu ditanya apa motivasinya menabung di bank tertentu, jawaban kebanyakan adalah untuk mendapatkan BMW, Jaguar, Mercedez atau sekadar door price.

Dalam hal ini, perbankan berhasil menyetrum perilaku masyarakat untuk kian konsumtif. Masyarakat pun semakin terasa ringan mendapatkan berbagai pinjaman (kredit).

Sederet iklan yang semakin menggoda (seductive), perluasan tempat perbelanjaan (mal, ITC, dan sebagainya) serta layanan kredit untuk kepentingan konsumsi, adalah tiga pilar penting bagi pertumbuhan ekonomi yang bergerak artifisial. Perekonomian sedang meniti buih-buih sambil terus menjauhi faktor fundamentalnya.

Komitmen perbankan

Jika ditanya, mengapa bank tidak menyalurkan kredit ke sektor korporasi? Jawabannya akan klise. Dunia usaha sedang tidak berkembang. Siklus bisnis tengah berhenti. Perbankan masih trauma dengan pengalaman masa lalu, kredit macet di sektor korporasi yang telah memicu krisis perbankan. Lalu, kredit konsumsi adalah sasaran logis, empuk, dan menggiurkan.

Sejak krisis, perbankan memang enggan memberikan kredit untuk kepentingan investasi dan modal kerja. Pada tahun 1998, komposisi pemberian kredit perbankan adalah 64,5 persen modal kerja, 29 persen investasi, dan konsumsi menempati proporsi yang kecil, yaitu sebesar 6,5 persen. Namun, data Bank Indonesia bulan Juni 2003 menunjukkan kenaikan kredit konsumsi menjadi 23 persen. Proporsi untuk modal kerja turun menjadi 54,6 persen.

Secara signifikan, perbankan telah mengalihkan kreditnya dari sektor korporasi ke sektor konsumsi. Bank tidak lagi berorientasi meningkatkan sisi produksi (supply side), tetapi mendongkrak sisi konsumsi (demand side). Memang jika sisi konsumsi terus berkembang, produksi juga akan turut terangkat. Tetapi jangan lupa, daya konsumsi masyarakat hanya bersifat sementara, sehingga siklus hidupnya (life cycle) akan pendek. Jika tidak dibarengi usaha mendongkrak sisi produksi, bisa jadi bumerang.

Inovasi pemberian kredit sebenarnya bisa dilakukan melalui pengembangan sektor usaha kecil dan menengah (UKM). Memang dari tabel 1 terlihat bahwa sejak tahun 1999 portofolio kredit yang disalurkan kepada UKM meningkat drastis. Porsi UKM berkisar antara 16 -20 persen dari total kredit. Salah satu penyebabnya adalah krisis yang menyebabkan kolapsnya sektor korporasi. Mengingat masih berisikonya penyaluran kredit usaha menengah apalagi besar, telah membuat sektor perbankan mulai melirik UKM sebagai sasaran pemberian kredit. Meskipun demikian, hingga bulan Mei 2003, tetap saja proporsi yang diberikan masih jauh lebih besar kepada sektor menengah dan atas, sebesar 80-84 persen.

Sementara itu, kontribusi masing-masing kelompok perbankan dapat dilihat pada tabel 2. Secara garis besar bisa dilihat bahwa Bank Pembangunan Daerah (BPD) telah menaikkan porsi kredit UKM dari 7,8 persen pada tahun 1998 menjadi 18 persen hingga Maret 2003. Bank persero/pemerintah paling agresif menyalurkan kredit UKM, dengan porsi 55,39 persen.

Dari data ini juga, terlihat betapa bank asing tidak berminat menyalurkan kreditnya ke UKM. Hal itu bisa dilihat dari porsi pemberian kreditnya, hanya 0,005 persen. Dapat disimpulkan, perbankan asing cenderung tidak peduli persoalan kemiskinan dan ketimpangan sosial. Orientasinya cuma menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya, dengan membatasi segmen pasar hanya pada kelompok pengusaha menengah ke atas.

Melihat sederet fakta ini, layak dikhawatirkan perbankan yang tengah melepaskan diri dari mulut buaya korporasi, segera masuk ke mulut singa. Sektor konsumsi, bidang yang riskan untuk dijadikan tumpuan perkembangan kredit, apalagi jika pertumbuhan hanya didorong konsumsi. Kita memang senang terhadap sesuatu yang artifisial ketimbang yang fundamental. Jangan sampai perekonomian kita jadi seperti ini.

A Prasetyantoko Analis Riset The Center for Financial Policy Studies, Jakarta

1 Comments:

Blogger kreditukm.blogspot.com said...

Artikelnya yang terbaru ada ngga bang? aniwe, nice post. Ditunggu updatenya yah..

Lintang
http://kreditukm.blogspot.com

6:22 PM  

Post a Comment

<< Home