KOMPAS

Kliping artikel Opini KOMPAS, sejak 2001

Wednesday, February 12, 2014

Suku Bunga dan Migrasi Kapital

OPINI KOMPAS Kamis, 13 Februari 2014

Suku Bunga dan Migrasi Kapital

HARI ini, Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia akan digelar, dan pasar menanti keputusan mengenai suku bunga referensi (BI Rate). Survei ekonom menunjukkan perbedaan ekspektasi; ada yang berharap naik, terutama asing, sementara sebagian besar lainnya tidak. Mengapa asing berharap naik? Tahun lalu, rupiah terdepresiasi 25,85 persen, sementara indeks harga sahan gabungan terkoreksi 18 persen dari level tertinggi Mei 2013. Sebagai respons, BI Rate sudah dinaikkan hingga 175 basis poin. Jadi, perlukah BI Rate kali ini naik lagi?

Selama ini, kita memahami kenaikan suku bunga sebagai respons kenaikan harga (inflasi). Inflasi tahunan Desember 2013 tergolong tinggi, 8,38 persen, jauh lebih tinggi dari inflasi tahunan Desember 2012, sebesar 4,3 persen. Namun, tingginya inflasi lebih didorong kenaikan harga BBM Mei 2013. Kenaikan harga yang dipengaruhi pemerintah (administered price) 16,65 persen dan harga pangan 11,3 persen. Inflasi inti sebenarnya relatif rendah, 4,98 persen. Efek harga BBM sebelumnya lebih besar lagi. Pada 2005 kenaikan mendorong inflasi tahunan jadi 17 persen, dan pada 2008 menaikkan inflasi jadi 11 persen. Meski dampak kenaikan harga BBM terasa lebih ringan terhadap inflasi, kali ini tantangan makroekonomi domestik dan global bisa jadi lebih berat.

Migrasi modal

Salah satu sumber kompleksitas persoalan ekonomi 2013 adalah pengumuman kenaikan harga BBM (Mei) yang terjadi hampir bersamaan dengan pengumuman rencana pencabutan stimulus (tapering off) di AS Juni. Sejak itu dinamika pasar keuangan kita begitu menantang sehingga Morgan Stanley menempatkan RI dalam kelompok lima negara paling rapuh mata uangnya (fragile five), bersama Brasil, Turki, Afrika Selatan, dan India. Bisa jadi, ceritanya akan lain jika keputusan kenaikan harga BBM dilakukan setahun sebelumnya.
Faktor tapering off memang lebih signifikan memengaruhi dinamika pasar keuangan kita. Bukan pengurangan stimulus itu sendiri persoalannya, melainkan alasan di balik keputusan tersebut. Selama ini AS dan negara maju lain menerapkan strategi pelonggaran likuiditas secara berlebihan. Pertama, melalui kebijakan moneter dengan tingkat suku bunga mendekati nol. Kedua, dengan inovasi kebijakan melalui pembelian surat utang pemerintah oleh bank sentral melalui pencetakan uang (quantitative easing/QE).

Bisa dibayangkan betapa likuiditas mengalir sangat deras di pasar keuangan akibat dua pilar kebijakan ini. Maksudnya agar perekonomian negara maju segera pulih, pertumbuhan naik, dan penyerapan tenaga kerja meningkat. Namun, pasar keuangan punya logika sendiri. Para investor meminjam dalam mata uang dengan suku bunga rendah (hampir nol persen), kemudian menginvestasikan kembali dalam mata uang dengan suku bunga tinggi. Karena itulah terjadi migrasi besar-besaran modal dari negara maju ke negara berkembang, seperti Indonesia, dengan tingkat bunga relatif tinggi.

Akhir 2008, BI Rate berada pada level 9,5 persen. Bila suku bunga acuan Bank Sentral AS (the fed fund rate) pada kisaran 0,25 persen, bisa dibayangkan besarnya perbedaan suku bunga yang menghasilkan keuntungan (imbal hasil) pada seluruh instrumen keuangan Indonesia. Bagi otoritas moneter kita, melimpahnya likuiditas memberi ruang menurunkan BI Rate hingga level terendah 5,75 persen selama 16 bulan. Negara berkembang menikmati booming likuiditas yang mendorong pertumbuhan, bagaikan pesawat melaju lebih kencang akibat dorongan angin dari belakang (tailwinds).

Pengumuman pengurangan stimulus merupakan ekspektasi membaiknya perekonomian AS. Patokannya, jika inflasi sudah mencapai 2 persen dan pengangguran di bawah 7 persen, program stimulus (QE) akan dikurangi. Ketika pengumuman dilakukan, investor yang menanam portofolio investasi di negara berkembang bereaksi, dengan mengubah komposisi racikan investasi mereka. Itulah mengapa terjadi migrasi modal dari negara berkembang ke negara maju.

Guna mempertahankan minat investor asing, BI Rate mulai dinaikkan. Harapannya, hanya sebagian kecil saja portofolio investasi yang dipindahkan dari pasar keuangan domestik. Namun, faktanya kita termasuk satu dari lima negara (fragile five) yang paling banyak ditinggalkan investor. Kenapa? Karena kita punya beberapa penyakit kronis yang ditakuti investor. Pertama, inflasi tinggi akibat pengurangan subsidi. Bukan itu saja, meskipun sudah dikurangi, subsidi yang bersarang pada anggaran masih terlalu besar. Sementara untuk mengangkatnya perlu momentum, konsensus, dan keberanian politik luar biasa. Kedua, beberapa indikator terkait neraca luar negeri memburuk, seperti neraca perdagangan, neraca transaksi berjalan, dan neraca pembayaran Indonesia secara keseluruhan.

Karena terlalu menikmati aliran modal asing yang datang secara masif, kita cenderung lalai melakukan berbagai reformasi struktural. Akibatnya, terbelit ketergantungan pada aliran modal asing di satu sisi serta kemandekan transformasi ekonomi domestik di sisi lain. Satu faktor lagi, investor baru memperhitungkan pengurangan stimulus, tetapi belum mempertimbangkan kenaikan suku bunga. Bila inflasi AS sudah mencapai 2,5 persen dan pengangguran 6,5 persen, suku bunga acuan akan mulai dinaikkan. Akibatnya, seluruh instrumen investasi di negara maju juga akan meningkat imbal hasilnya. Di situlah migrasi modal tahap kedua akan terjadi.

Transformasi ekonomi

Jika secara global tengah terjadi transisi perekonomian yang berimbas pada melambatnya dinamika ekonomi negara berkembang, di Tanah Air terjadi juga transisi politik. Selain Indonesia, Brasil dan Turki akan menggelar pilpres tahun ini. Ketiganya, kebetulan, masuk daftar lima negara paling ditinggalkan investor. Bukan sekadar pemilu sebagai kegiatan politik. Lebih penting lagi, karena pemilu, pemerintah tak punya komitmen memperbaiki fundamental ekonomi. Itulah mengapa surplus neraca perdagangan tiga bulan berturut-turut dan nilai surplus besar Desember 2013 senilai 1,5 miliar dollar AS tak mampu membuat rupiah menguat.

Masih ada sederet persoalan, seperti besarnya impor minyak, subsidi BBM, dan daya saing produk ekspor nonmigas. Persoalan ini jelas tak bisa hanya ditopang kebijakan moneter dan fiskal semata. Perlu reformasi di kementerian teknis lain, paling tidak di beberapa sektor vital, seperti energi, pangan, industri, dan ketenagakerjaan. Sayangnya, kita tak melihat transformasi pada kementerian terkait bidang strategis ini. Seakan persoalan dinamika ekonomi ini hanya jadi beban Gubernur BI dan Menkeu saja. Itulah salah satu kesalahan fatal kita.

Padahal, kinerja pertumbuhan kuartal IV-2013 agak lebih tinggi dari dugaan, 5,72 persen. Angka ini mampu mengangkat kinerja pertumbuhan sepanjang 2013 menjadi 5,78 persen. Konsumsi rumah tangga tumbuh 5,25 persen, pengeluaran pemerintah 6,45 persen, dan investasi 4,37 persen. Sebuah prestasi yang tak terlalu mengecewakan di tengah turbulensi perekonomian. Andai saja kementerian teknis mau lebih kerja keras, semestinya pertumbuhan 2014 bisa lebih baik karena ada faktor pemilu.
Jika fundamental membaik, sentimen buruk menurun dan kita bisa keluar dari kelompok negara terapuh di dunia. Sementara beban kebijakan moneter bisa lebih ringan. Jika reformasi struktural berjalan baik, BI Rate bisa dipertahankan pada posisi maksimal 7,5 persen hingga akhir tahun. Jika ketegangan di pasar keuangan sudah reda, bahkan bisa diturunkan di akhir tahun.  

A Prasetyantoko, Pengajar Unika Atma Jaya, Jakarta