KOMPAS

Kliping artikel Opini KOMPAS, sejak 2001

Sunday, April 16, 2006

Kemiskinan dan Kualitas Kelembagaan

KOMPAS, Selasa, 26 April 2005

POTRET kemiskinan sudah sangat mengerikan bukan saja dilihat dari segi angka. Realitas keseharian kita telah menjadi saksi betapa implikasi dari tingkat kemiskinan yang tinggi sudah sangat mengkhawatirkan kita semua.

Bayangkan saja, hutan kecil di tengah Kampus Universitas Indonesia, Depok, sudah beberapa kali menjadi saksi usaha perampokan yang disertai dengan pembunuhan terhadap mahasiswa. Kalau mahasiswa saja sudah menjadi target perampokan, bisa dibayangkan betapa kejahatan sudah sangat dekat dengan kehidupan keseharian siapa pun yang tinggal di negeri ini.

Tidak perlu model ekonometri dan teori ekonomi yang rumit untuk menghubungkan realitas kemiskinan dengan tingkat kejahatan. Keterimpitan kebutuhan hidup sehari-hari bisa memicu tindak kriminalitas yang meluas. Bagi penganut ekonomi "aliran utama" (mainstream), berbicara tanpa data beserta metode penghitungan kuantitatifnya sering didakwa sebagai sebuah retorika belaka. Padahal, pengamatan kualitatif sama pentingnya dengan pemahaman kuantitatif. Apalagi jika menyangkut kualitas kelembagaan: konteks di mana transaksi ekonomi yang bisa diukur lewat angka- angka itu terjadi.

Kemiskinan yang merajalela sangat terkait dengan kualitas kelembagaan ekonomi kita sehingga untuk mengatasi kemiskinan tidak bisa sekadar memberi subsidi. Kualitas kelembagaan itu sendiri harus diperbaiki.

Korupsi

Dalam sebuah wawancara dengan jaringan televisi BBC-London, Jeffrey D Sachs, ekonom lulusan Universitas Harvard yang kini menjadi Direktur Earth Institute-Universitas Columbia, menunjukkan betapa korupsi di Asia sudah menjadi penghalang penting bagi penanggulangan kemiskinan. Sama dengan kemiskinan, korupsi harus ditanggulangi dengan cara-cara yang tidak biasa.

Gagasannya tentang penanggulangan kemiskinan dunia tertuang dalam buku terbarunya The End of Poverty : Economic Possibilities for Our Time. Sebagai ekonom, gaya berpikirnya tidak konvensional (heterodox). Penasihat khusus Sekjen PBB Kofi Annan ini bertanggung jawab atas program penanggulangan kemiskinan dunia yang tertuang dalam Millennium Development Goals (MDGs).

Presiden Yudhoyono mengusulkan kepada Kofi Annan untuk mengajak serta Jeffrey D Sachs menghadiri Konferensi Asia-Afrika. Dan secara khusus Presiden ingin mendengarkan gagasan-gagasannya dalam rangka mengatasi kemiskinan di Indonesia. Tentu saja, gagasannya mengenai penanggulangan kemiskinan (dan korupsi) sangat relevan dengan kehidupan kita dewasa ini.

Kita sedih dan gembira mendengar penangkapan Mulyana W Kusumah dalam rangka pengungkapan korupsi di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sedih karena bahkan orang-orang yang kita kira akan mendorong perubahan ke arah yang lebih baik akhirnya terjebak pula dalam lumpur korupsi. Gembira karena sudah mulai terasa usaha untuk memerangi korupsi dengan cara tidak biasa. Kita terus menunggu langkah-langkah "tidak biasa" lainnya untuk memecahkan masalah korupsi dan kemiskinan yang sudah kian merajalela ini.

Korupsi telah membuat kualitas kelembagaan ekonomi kita menjadi demikian buruknya. Untuk kesekian kalinya, Country Director Bank Dunia Andrew Steer mengingatkan iklim investasi di Indonesia masih terhambat masalah korupsi dan birokrasi yang rumit. Misalnya, guna menembus kebijakan birokrasi di Indonesia dibutuhkan biaya melampaui 20 persen total penjualan. Sementara untuk memulai bisnis di Jakarta dibutuhkan waktu penyiapan administrasi tak kurang dari 150 hari.

Akibatnya, satu per satu industri pergi meninggalkan ladang investasi di negeri ini sehingga angka pengangguran pun semakin sulit diatasi. Beban pemerintah memerangi kemiskinan dan pengangguran teramat berat. Dari target pertumbuhan ekonomi sebesar 6,1 persen di tahun 2005, masih tersisa tak kurang dari 8,9 persen angka pengangguran.

Padahal, sebagaimana ditekankan oleh Prof Mubyarto, pengangguran sama sekali tidak mereprentasikan kemiskinan. Jika pengangguran didefinisikan sebagai orang yang tidak mampu memiliki pekerjaan secara formal, banyak orang yang bahkan tidak bisa masuk dalam kategori penganggur karena hidupnya berada di sektor informal. Di tahun 2005 diperkirakan jumlah penduduk yang taraf hidupnya di bawah garis kemiskinan, menurut ukuran Bank Dunia (2 dollar AS/hari), masih sebesar 49,5 persen.

Dalam rumus ekonomi, satu-satunya cara menanggulangi pengangguran (dan kemiskinan) adalah dengan menaikkan pertumbuhan ekonomi. Padahal, anggaran pemerintah (APBN) sudah tidak mampu lagi mendorong pertumbuhan ekonomi. Sementara sektor swasta masih belum bergerak maksimal. Usaha pemerintah mendorong pembangunan infrastruktur, yang diharapkan mampu mendorong bergeraknya sektor swasta, masih mengalami kendala pendanaan.

Untuk menopang tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, Bank Dunia mengusulkan diversifikasi sektor finansial dengan menekankan peran lembaga keuangan bukan bank, seperti asuransi, dana pensiun, dan reksa dana. Namun, untuk mewujudkannya diperlukan sebuah lembaga pasar modal yang kuat sehingga tidak justru menambah risiko terjadinya kerawanan keuangan (financial fragility) di masa depan.

Tanpa penguatan kelembagaan, segala macam target dan perhitungan kuantitatif ekonomi hanya akan mengantar kita pada siklus naik turunnya dinamika ekonomi (boom-bust cycle) yang sangat mungkin berakhir pada krisis ekonomi.

Institusi dan organisasi

Pendekatan institusional dalam ekonomi, salah satunya dipelopori oleh Douglass C North dalam bukunya Institutions, Institutional Change and Economic Performance (Cambridge University Press). Dia membedakan institusi, organisasi, dan aktor ekonomi dalam membahas perubahan kelembagaan dalam ekonomi. Institusi merupakan konteks (landasan) di mana organisasi bekerja: dia menyangkut aturan yang tampak (hukum) dan yang mengakar (norma).

Dalam organisasi para aktor berinteraksi dengan dibatasi oleh aturan hukum dan norma. Interaksi ketiganya (institusi, organisasi, dan aktor ekonomi) akan menentukan kualitas kinerja ekonomi.

Konkretnya, memenuhi target pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak bisa hanya dengan mengutak-atik indikator makro-ekonomi. Selain harus merancang aturan formal yang memadai, kebijakan pemerintah juga harus memengaruhi tindakan para aktor ekonomi. Korupsi yang masih terus terjadi merupakan bukti, kebijakan pemerintah masih berhenti pada formalitas aturan dan belum sampai memengaruhi tindakan para aktor ekonomi. Hukuman berat bagi para koruptor, termasuk para menteri yang terlibat korupsi, akan membantu mendisiplinkan perilaku para aktor ekonomi.

Tanpa perbaikan kualitas institusi ekonomi, mustahil kemiskinan bisa ditanggulangi. Untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi pemberantasan korupsi harus digalakkan. Sebagaimana dikatakan Jeffrey D Sachs, kemiskinan yang dahsyat bisa kita atasi dalam generasi kita, asal ditangani dengan cara tidak biasa. Soal korupsi, jangan berdalih untuk menghilangkankannya dibutuhkan beberapa generasi. Korupsi bisa diberantas di generasi kita asalkan menggunakan metode nonkonservatif (heterodox).

Tidak ada tawar-menawar lagi: untuk menyelesaikan kemiskinan, korupsi harus ditekan. Dengan demikian, akan tercipta kerangka kelembagaan yang memadai untuk menopang kinerja ekonomi dengan kualitas tinggi.

Kualitas kelembagaan secara nasional akan memengaruhi kualitas kelembagaan unit-unit organisasi secara individual. Tata kelola korporasi (corporate governance) tidak pernah tercapai tanpa ada sistem tata kelola secara nasional (national governance). Baru-baru ini usaha pencairan dana sebesar Rp 1,017 triliun oleh PT Timor Putra Nasional dari Bank Mandiri bisa dibatalkan dengan koordinasi antara Kementerian BUMN, Menteri Keuangan, dan Kejaksaan Agung. Tanpa ada pejabat publik yang bisa dipercaya, mustahil tata kelola korporasi akan tercapai meskipun di setiap unit organisasi sudah ada dewan komisaris yang galak sekalipun.

Keinginan kita sangat sederhana: bisa menjalani kehidupan keseharian kita dengan aman dan sentosa. Masalahnya, cita- cita sederhana ini tidak mungkin tercapai di tengah tingkat kemiskinan yang telah mendongkrak tingkat kriminalitas hingga begitu merajalela. Banyak pula pelaku kejahatan yang terpaksa melakukan kriminalitas hanya karena mempertahankan kebutuhan hidupnya yang paling dasar.

Semoga, hadirnya ekonom Sjahrir sebagai penasihat ekonomi Presiden mampu membawa wacana kelembagaan menjadi lebih nyata dalam kebijakan ekonomi pemerintah kita.

A Prasetyantoko Mahasiswa Doktoral Departemen Ekonomi Ecole Normale Supérieure (ENS) de Lyon, Perancis

0 Comments:

Post a Comment

<< Home