KOMPAS

Kliping artikel Opini KOMPAS, sejak 2001

Sunday, April 16, 2006

BLT dan Kesepakatan Baru

(KOMPAS, 25 Oktober 2005)

Seperti halnya bahasa, ekonomi juga lahir dari kesepakatan para pihak (agencies) di dalamnya. Paling tidak, begitu yang dipahami para penganut Teori Konvensi Ekonomi (économie des conventions). Kenaikan rata-rata 107 persen harga bahan bakar minyak (BBM) dan kemudian penyaluran bantuan langsung tunai (BLT) telah menjadi bahasa yang disepakati para pengambil kebijakan. Hasilnya?
Di Jambi, gara-gara ribut soal BLT seorang ketua RT dibunuh (Kompas, 22/10/2005). Sederet kericuhan menyeruak, mulai dari perusakan kantor desa, meninggal karena antrean, hingga (beberapa) kasus bunuh diri akibat kecewa tidak memperoleh BLT. Sungguh tragis. Bagi para perancang pencabutan subsidi, rentetan peristiwa (berdarah) tersebut hanyalah efek kecil yang tak masuk dalam daftar perhatian. Padahal bisa jadi, dampak tersebut muncul akibat kebijakan yang tidak tepat karena tidak memperhitungkan faktor-faktor non-ekonomis. Lalu, butuhkan kita kesepakatan baru ?
***
Dari iklan layakan masyarakat yang prematur, terlihat pemerintah terlalu berobsesi “memaksakan” kesepakatan (bahasa) kenaikan harga BBM kepada masyarakat. Hampir seluruh ekonom dan kalangan dunia usaha memiliki bahasa yang sama; kenaikan BBM tidak terelakkan.
Jika harga minyak di pasaran dunia terus berada di kisaran 60 US$/barrel, subsidi yang harus disediakan lebih dari 100 triliun. Padahal, anggaran pemerintah juga tergerus oleh makin melemahkan nilai tukar rupiah yang berakibat pada kenaikan suku bunga, sehingga memberatkan pembayaran beban bunga obligasi.
Dalam konteks ini, pencabutan subsidi akan memberi sentimen positif yang mengangkat nilai tukar rupiah. Dan bagi dunia usaha, meski beban industri meningkat akibat pencabutan subsidi, tetapi karenanya nilai tukar menurun. Padahal, salah satu karakteristik industri kita, pada umumnya tergantung pada bahan baku impor sementara hasil produksinya tidak berorientasi ekspor. Maka dunia usaha memiliki bahasa yang sama dengan pemerintah dalam hal pencabutan subsidi.
Masalahnya, masyarakat harus menanggung beban yang terlalu berat akibat pencabutan subsidi. Sementara, mekanisme bantuan langsung tunai (BLT) memili cacat bawaan terkait dengan buruknya kualitas “institusi” masyarakat dan aparat birokrasi. Bangsa tidak sama dengan perusahaan yang hanya terdiri dari neraca “sisi kiri” (asset) dan “sisi kanan” (liabilities). Bagi pemerintah, pemberian BLT setelah pencabutan subsidi dianggap impas (seimbang sisi kiri dan sisi kanan). Logika ini mirip dengan pengertian tanggung jawab sosial perusahaan sebagai kegiatan amal belaka.
Dalam neraca, tak tergambar bagaimana seorang janda renta yang kecewa tidak memperolah BLT bisa bunuh diri masuk ke jurang. Itu masih terkait dengan mekanisme pembagiannya. Para menteri ekonomi --di bawah Menteri Koordinator Perekonomian yang juga seorang pengusaha-- tentu tidak akan perduli untuk apa bantuan langsung itu digunakan. Seorang warga menggunakan BLT untuk memproduksi mercon, lalu ditangkap polisi. Ragam cerita lainnya akan bermunculan. Secara kualitatif-karikatural, perlu diamati hubungan BLT dengan ramainya Carrefour (toko kebutuhan pokok) dan Ramayana (toko busana).
Intinya, menilik sosio-ekonomi masyarakat kita, ekspektasi pemberian BLT berisiko salah sasaran (overshooting). Akibatnya, beban hidup riil masyarakat dalam jangka panjang tidak mengalami perbaikan, seperti yang diharapkan.
Lalu, cerita seperti, “gaga-gara makanan anak tiri dicekik hingga tewas” atau “karena berisik anak 5 tahun ditikam pamannya” akan semakin sering kita dengar. Beban hidup makin tak tertanggung. Semua harga meroket naik, kecuali harga nyawa dan kehidupan yang mengalami banting harga.
***
Lalu, apakah mungkin kita membuat kesepakatan baru? Nampaknya sulit mengharapkan pembatalan pencabutan subsidi. Karena, selain beban riil pemerintah memang berat, harus diakui, dampaknya akan buruk bagi para investor lokal maupun global. Kebijakan menjadi bahasa yang dipertaruhkan karena menyangkut kredibilitas.
Namun kesepakatan harus tetap diperjuangkan. Di Eropa, di mana tradisi kesepakatan dalam pengambilan kebijakan relatif mapan; bukan berarti pemerintah berbaik hati mendengarkan suara rakyat. Melainkan, jika pemerintah tidak perduli, pemogokan akan terjadi sehingga memacetkan ekonomi. Jadi, daripada terjadi kemacetan total, pemerintah memilih untuk mencari kesepakatan terhadap tuntutan rakyat.
Dalam hal ini, ada baiknya masyarakat memiliki formula-formula yang operasional. Jika tidak mau pencabutan subsidi, lalu apa yang diusulkan? Perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan kelompok-kelompok profesional bisa menjadi katalisator dalam membuat formulasi guna mencapai kesepakatan baru dengan pemerintah.
Untuk menutup tulisan ini, saya teringat buku kecil tulisan Daniel Cohen (profesor ekonomi ENS-Paris) yang bercerita tentang globalisasi yang membuat dunia makin kaya di tengah bangsa-bangsa yang makin megap-megap. Dalam konteks domestik, nampaknya benar, agar negara lebih kaya (cadangan devisa naik, anggaran terkendali, beban obligasi turun), rakyat harus lebih miskin.
Lalu, apakah instrumen ekonomi modern memang dirancang untuk kesejahteraan riil (sebagian besar) masyarakat? Ilmu ekonomi (aliran utama) tidak pernah (akan/bisa) menjawabnya.

A.Prasetyantoko, Mahasiswa Doktoral Departemen Ekonomi, Ecole Normale Supérieure (ENS)-Lyon, Perancis

0 Comments:

Post a Comment

<< Home