KOMPAS

Kliping artikel Opini KOMPAS, sejak 2001

Monday, November 19, 2007

Ketidakpastian dan Intervensi

Selasa, 20 November 2007

Meski tiap kejadian bersifat unik, pada dasarnya tidak ada yang baru di muka Bumi ini. Begitu pula soal perlambatan ekonomi global akhir-akhir ini yang diiringi kenaikan harga minyak, dunia pernah mengalami. Selebihnya, perekonomian global 2008 adalah sebuah ketidakpastian.

Tentang dinamika ekonomi, masa depan, dan ketidakpastian, tampaknya kita perlu berpaling pada Keynes yang telah merumuskan secara garis besar (prophetic) dalam The General Theory of Employment, Interest and Money (1936). Satu-satunya kepastian, kata Keynes, dalam jangka panjang kita semua akan mati.

Harga minyak yang berfluktuasi mendekati 100 dollar AS per barrel membuat prediksi ekonomi 2008 makin tidak pasti. Di Indonesia, fluktuasi harga minyak akan memengaruhi secara signifikan APBN serta dinamika ekonomi. Target pertumbuhan ekonomi tahun depan pun direvisi dari 6,3 menjadi 6,2 persen.

International Energy Agency (IEA) mengingatkan kelangkaan penawaran minyak akan terjadi paling tidak hingga 2015. Lembaga ini menilai guna menopang lonjakan permintaan, pasokan minyak harus ditingkatkan dua kali lipat hingga 25 tahun ke depan. Asumsinya, keseimbangan baru akan tercapai pada 2030.

Dilema ekonomi

Fluktuasi harga minyak amat menimbulkan dilema rumit bagi perekonomian dunia. Krisis kredit perumahan berkualitas rendah di AS telah menyeret berbagai perusahaan keuangan besar, seperti Citigroup dan Merrill Lynch (AS), UBS and Barclays (Eropa), serta Mizuho (Jepang), mengalami kerugian serius.

Bahkan, hingga kini masih banyak lagi perusahaan rugi yang belum terdeteksi. Dana Moneter Internasional (IMF) telah mengingatkan otoritas keuangan di kawasan Uni Eropa agar lebih transparan tentang perusahaan mana saja yang terkena dampak subprime mortgage. Krisis yang bersumber pada pasar kredit serta berdampak pada pasar finansial, masih akan berlanjut di tahun depan.

Penurunan suku bunga The Fed (Federal Fund Rate/FFR) pun masih diliputi ketidakpastian. Banyak kalangan memprediksi pada Desember tahun ini, atau paling lambat awal tahun depan, The Fed akan kembali menurunkan suku bunganya. Keyakinan ini diperkuat testimoni Ben Bernanke (chairman The Fed) di depan Senat AS baru-baru ini bahwa lembaganya akan konsisten menerapkan kebijakan inflasi terkendali (inflation targeting). Para investor, terutama pasar uang, bertarung dengan ketidakpastian tentang titik terendah penurunan FFR.

Ketidakpastian arah kebijakan suku bunga mendorong depresiasi dollar AS terus terjadi. PAIN Index, sebuah alat ukur yang dikembangkan Merrill Lynch guna memprediksi arah perdagangan nilai tukar, menunjukkan gejala itu.

Nouriel Roubini, Kepala RGE Monitor, memprediksi dollar AS akan terdepresiasi hingga 10 persen, sementara FFR akan berada pada level 3,0 persen. Padahal, hingga kini dollar baru terdepresiasi sekitar 7,0 persen dan suku bunga masih di level 4,5 persen. Bahkan, beberapa kalangan berani memprediksi FFR akan menyentuh level 2,5 persen.

Sebenarnya, perlambatan ekonomi global bisa dikendalikan melalui kebijakan yang searah dan kompak di antara negara-negara maju (G-7). Masalahnya, secara fundamental kepentingan ekonomi negara maju cenderung kontradiktif sehingga aksi bersama nyaris tidak mungkin. Di tengah kecenderungan penurunan suku bunga di AS, Bank Sentral Eropa (ECB) justru berancang-ancang menaikkan suku bunga. Sementara itu, Bank of England serta Bank Sentral Jepang cenderung menahan tingkat suku bunganya.

Intervensi

Melihat kondisi itu, pertanyaannya, apakah perekonomian dunia akan kembali mengalami krisis seperti tahun 1970-1980-an? Pada dekade itu perekonomian dunia diliputi sejumlah gejolak, seperti tingginya harga minyak, inflasi, dan tingkat pengangguran. Perekonomian benar-benar mengalami kemandekan disertai inflasi tinggi (stagflasi).

Pada saat itu setelah mengalami kejayaan hampir 30 tahun, perekonomian dunia mengalami perlambatan. Sebagai respons, nilai dollar dilepaskan dari standar emas karena terjadi depresiasi amat signifikan. Itulah masa keruntuhan sistem Bretton Woods yang mengandalkan pola intervensi. Pada periode ini terjadi revitalisasi pola kebijakan liberal, yang dijuluki sebagai paham "neoliberal".

Salah satu ciri perekonomian global yang dikelola secara neoliberal adalah perkembangan pesat pasar derivasi finansial. Pada tahun 1990-an pernah terjadi perdebatan serius menanggapi usul Commodity Futures Trading Commission (CFTC) tentang penerapan regulasi lebih ketat terhadap pasar derivatif. Alan Greenspan, Ketua The Fed saat itu, membela dengan mengutip Schumpeter, inovasi di pasar finansial adalah bagian dari creative destruction yang akan membawa kemakmuran bagi semua pihak.

Tampaknya, diskusi tentang peran pasar finansial yang terlalu "kreatif" ini terjadi hingga kini. Baru-baru ini di AS terjadi perdebatan soal penerapan pajak yang lebih tinggi terhadap pendapatan perusahaan investasi keuangan (hedge funds). Pajak atas pendapatan yang diperoleh dari pengelolaan modal diusulkan naik dari 15 persen menjadi 35 persen. Tampaknya usulan ini tidak akan lolos di Senat mengingat kuatnya lobi pelaku bisnis yang berusaha menggagalkan proposal tersebut.

Hingga hari ini usaha membangun sistem finansial yang relatif stabil sehingga tidak mengganggu dinamika perekonomian global masih menjadi tarik ulur yang dipenuhi ketidakpastian.

Salah satu regulasi yang sudah diterapkan di AS adalah Glass–Steagall Act yang mengatur pemisahan antara bank komersial dan bank investasi. Aturan ini dibuat agar jika terjadi kerugian akibat aktivitas investasi finansial, dampaknya tidak merembet pada sektor ekonomi lainnya, melalui sistem perbankan komersial.

Jika di pasar yang dianggap paling liberal saja terjadi begitu banyak aturan (intervensi), mengapa kita tidak mengadopsinya? Itu juga yang menjadi teka-teki pada tahun 2008.

A Prasetyantoko Dosen Unika Atma Jaya; Partner pada Strategic Indonesia, Jakarta