KOMPAS

Kliping artikel Opini KOMPAS, sejak 2001

Monday, February 05, 2007

Hipotesis Instabilitas Finansial

Opini KOMPAS, 1 Februari 2007
Hipotesis Instabilitas Finansial
A Prasetyantoko

Bahaya melesatnya sektor finansial di tengah terpuruknya sektor riil kian terasa riaknya. Ibarat penyakit, penipuan perusahaan valas Smartway Forex di bawah PT Energi Kasih Abadi (Kompas, 24/1) sudah bisa menjadi gejala. Jika tidak diantisipasi, dampaknya lebih parah.
Hampir semua analisis ekonomi mengarah pada persoalan gawat ini: gagalnya fungsi intermediasi sektor finansial dalam mendorong sektor riil. Ekonomi kita sedang mengalami fenomena "leher botol": uang tidak mengalir ke sektor riil, tetapi berputar-putar di pasar uang dan modal.
Leher botol disebabkan dua sisi. Dari sisi pengusaha, meski BI rate sudah diturunkan pada level 9,5 persen, tetapi mengingat prospek bisnis belum menggembirakan, meminjam uang dari bank menjadi pilihan terakhir. Bagi perusahaan besar, menerbitkan surat utang (obligasi) atau menggunakan pendanaan internal (equity) melalui pasar modal menjadi prioritas. Di sisi lain, perbankan tampak ragu menyalurkan kredit karena takut menyulut risiko kredit bermasalah (non-performing loan).
Sebenarnya, BI sudah melonggarkan persyaratan kredit dengan PP Nomor 33 Tahun 2006 dan Peraturan Menkeu Nomor 87 Tahun 2006 yang membolehkan pemotongan piutang pokok dalam penyelesaian kredit bermasalah. BI juga melonggarkan batas maksimum pemberian kredit (BMPK) menjadi 30 persen (dari 20 persen) untuk BUMN yang bergerak di bidang infrastruktur. Tetapi, lagi-lagi kredit tak segera mengalir ke sektor riil.
Ekonomi memang sebuah perjalanan optimis (boom) sekaligus pesimis (burst) yang bergerak tanpa pola sehingga sulit diprediksi. Dalam suasana pesimis, semua pelaku ekonomi terlihat hati-hati dan tidak berani mengambil risiko (risk averse), sementara dalam suasana optimis cenderung bertindak melawan moral (moral hazard). Sementara sektor riil dipenuhi perilaku hati-hati, sektor finansial diwarnai perilaku moral hazard.
Sistem kapitalis
Dalam setiap siklus ekonomi, baik sedang optimis maupun pesimis, selalu tertanam risiko instabilitas. Itulah "hipotesis instabilitas finansial" dalam tata ekonomi kapitalis yang dikemukakan Hyman Minsky (1919-1996) tahun 1970-an, sebelum seri krisis 1990-an. Saat itu bahkan para ekonom aliran utama belum memikirkan hubungan antara sektor finansial dan sektor riil. Sayang, gagasannya tenggelam oleh hiruk-pikuk pemikiran aliran utama.
Minsky yang menulis disertasi di bawah Schumpeter di Universitas Harvard, tetapi lulus di bawah W Leontief karena Schumpeter keburu meninggal, mengajukan dua argumen utama.
Pertama, ekonomi kapitalis pada hakikatnya adalah kesalingtergantungan neraca (balance sheet) negara, perusahaan, dan rumah tangga.
Kedua, para agen ekonomi kapitalis selalu berorientasi pada masa depan sehingga tindakannya saat ini merupakan cermin harapannya di masa depan.
Pada dasarnya, menurut Minsky, agen ekonomi bisa dibedakan dalam tiga kategori: berhati-hati (hedge), mencoba-coba (speculative), dan sembrono (ponzi). Istilah ponzi diambil dari nama pengusaha (mafia) imigran Italia di Amerika.
Ciri hedge, mampu membayar semua kewajiban dengan mudah dari aliran kas operasi usahanya, sementara ponzi harus menjual sebagian/semua asetnya guna membayar utang, alias mengalami likuidasi atau kebangkrutan.
Dalam ekonomi stabil, agen ekonomi bersikap optimis dan berlomba meminjam uang untuk usaha. Pada tahap ini, banyak agen speculative berubah menjadi ponzi.
Saat terjadi krisis 1997, sebagian besar unit ekonomi kita pada posisi speculative dan ponzi sehingga saat terjadi gejolak nilai tukar dan kenaikan (ekstrem) suku bunga, sebagian besar perusahaan (dan perbankan) mengalami kebangkrutan.
Pelajaran berharga dari Minsky, instabilitas ekonomi sejatinya bersifat internal (endogen), bukan sesuatu yang datang dari luar. Dalam krisis 1997, kita bisa menyalahkan fluktuasi nilai tukar, perilaku investor asing, dan IMF. Tetapi masalah dasarnya ada di balik bantal tempat kita tidur sehari-hari. Masalah eksternal hanya berfungsi "mempercepat" saja.
Pelajaran lain, risiko krisis sebenarnya tetap bersanding dalam peraduan kita, yang setiap saat bisa menikam dari balik selimut. Karena instabilitas bersifat endogen, tata kelola juga harus "ditanamkan" secara mengakar pada agen ekonomi, bukan sesuatu yang sekadar "ditempelkan" dari luar.
Agenda nyata
Kasus Smartway Forex tentu bukan yang pertama dan amat mungkin bukan yang terakhir. Kita amat bersimpati kepada korban yang sudah menggunakan jatah sekolah anaknya untuk berinvestasi. Tetapi yang lebih mengerikan, ternyata pasar finansial kita tak beda dengan pasar tradisional/informal. Seperti pasar kaget di pinggir jalan atau di sekitar pertandingan sepak bola, tanpa aturan.
Jika kasus Smartway Forex bagai pedagang keliling, bisa diduga ada banyak perilaku tidak bermoral yang dilakukan para pemain besar di pasar finansial. Dengan berbagai praktik tidak fair, seperti insider trading atau rekayasa keuangan yang canggih, mereka bisa meraup keuntungan luar biasa. Dan, koridor hukum tak mampu menggapainya. Dalam hal ini, agenda nyata penegakan hukum yang bersifat "preventif" tak bisa ditawar lagi.
Bagaimana dengan perbankan? Ada anekdot, "bank hanya meminjamkan uang pada pihak yang tidak membutuhkan". Jika bank hanya memberi pinjaman pada hedge karena ada jaminan kredit akan kembali, ekonomi tak akan bergerak. Perbankan harus berani menyalurkan kredit pada speculative. Meski, jangan sampai speculative berubah menjadi ponzi justru karena guyuran kredit itu.
Langkah yang diambil BI sudah tepat. Meski aturan kredit bermasalah dilonggarkan, BI ngotot menerapkan aturan Manajemen Risiko Basel II atau aturan tentang kolektibilitas seperti diatur dalam PBI No 8/2/2006. Ini tentu menyangkut dilema yang rumit, tetapi keseimbangan antara kehati-hatian dan percepatan penyaluran kredit tak bisa diabaikan.
Celah lain yang harus diisi, penyaluran kredit ke sektor mikro, yang ternyata amat membutuhkan dana segar. Baik dalam konteks kredit mikro maupun kredit besar. Inti persoalannya adalah jika kredit disalurkan pada sektor (unit) yang produktif (inovatif), instabilitas bisa dijinakkan.
Sebagai murid Schumpeter, Minsky sebenarnya ingin bilang, obat dari instabilitas ekonomi adalah kreatifitas (creative destruction).

A Prasetyantoko Mahasiswa Doktoral Ilmu Ekonomi Ecole Normale Supérieure (ENS), Lyon, Perancis

0 Comments:

Post a Comment

<< Home