KOMPAS

Kliping artikel Opini KOMPAS, sejak 2001

Monday, February 05, 2007

Indonesia Pasien Tetap IMF?

(Kompas, 17 Oktober 2006)
Indonesia Pasien Tetap IMF?
A Prasetyantoko

Kita patut menyambut baik pelunasan seluruh utang pemerintah kepada Dana Moneter Internasional. Babak baru sedang dimasuki meski agenda baru telah menanti.
Indonesia melunasi seluruh utangnya kepada Dana Moneter Internasional (IMF) setelah pembayaran tahap kedua 3,2 miliar dollar AS, Kamis (5/10) (Kompas, 6/10/2006). Dengan demikian, berakhir pula post program monitoring yang selama ini dicurigai sebagai mekanisme intervensi IMF terhadap kebijakan ekonomi Indonesia.
Apakah kepergian IMF akan membuat kebijakan ekonomi kita independen? Sulit dijawab!
Memutus keterikatan "cara pandang" tentu lebih sulit (dan rumit) ketimbang memutuskan hubungan politis, apalagi jika dilakukan dengan basa-basi diplomatis.
Sektor finansial
Seperti sering diungkap, dengan pelunasan utang kepada IMF, peringkat utang Indonesia meningkat. Hasilnya, modal swasta akan mengalir ke pasar finansial domestik. Seperti diharapkan, masuknya modal asing ke pasar modal (BEJ) dan pasar utang (BES) akan memberi "lubrikasi" ekonomi kita yang sedang macet.
Tampaknya pemerintah serius menurunkan rasio utang terhadap PDB. Tahun 2000, rasio utang terhadap PDB 80 persen, 2004 menjadi 54,6 persen, tahun 2005 turun ke 46,8 persen, dan tahun 2006 dipatok 37,5 persen. Bahkan, pemerintah berusaha menjadikan rasio utang tidak melebihi 35 persen dari PDB.
Penurunan rasio utang menjadi bahan pertimbangan penting bagi lembaga pemeringkat seperti Standard & Poor’s (S&P) dalam menyusun peringkat, baik untuk utang jangka panjang (berdenominasi lokal dan asing) maupun utang jangka pendek. Diharapkan peringkat investasi membaik karena biaya penerbitan surat utang akan menurun. Demikian juga beban fiskal semakin ringan.
Sejak krisis, ekonomi kita tampak bergantung pada sektor finansial. Hal itu bisa dilihat dari tingginya tingkat pertumbuhan saham dan obligasi. Dalam penerbitan saham, statistik Bank Indonesia mencatat, pada Januari 1997 baru mencapai Rp 51.175 miliar, tetapi pada Juli 2006 mencapai Rp 280.356,3 miliar (lebih dari lima kali lipat). Demikian pula dengan penerbitan obligasi. Jika pada Januari 1997 baru mencapai Rp 11.935,5 miliar, Juli 2006 berkembang delapan kali lebih menjadi Rp 96.633 miliar.
Secara teoretis, perkembangan sektor finansial mendorong pertumbuhan sektor riil. Sayang, hingga hari ini, kita masih melihat buruknya kinerja sektor riil sehingga janji untuk meningkatkan penyerapan tenaga kerja dan pengurangan kemiskinan masih ilusi. Sektor finansial memang berkembang, tetapi sektor riil masih terpuruk. Jika dibiarkan, gejala ini bisa menjadi sumber kerawanan (fragility) yang bisa mengantar kita pada krisis ekonomi dalam mutasi yang lain lagi.
"Domestic original sin"
Para ahli ekonomi keuangan (financial economics) mengingatkan, perkembangan pasar finansial domestik yang tidak seimbang akan menimbulkan gejala domestic original sin. Apa maksudnya?
Hausmann and Panizza (2003) membeberkan, rapuhnya sistem finansial (financial vulnerability) bangsa disebabkan ketidakmampuan mereka meminjam dalam mata uang lokal. Karena sistem finansial kian bebas, kian mudah pula sebuah bangsa terjerat "dosa asal" itu.
Menyangkut hebatnya krisis Asia, tesis ini cenderung mendukung pendapat yang meyakini, penyebab utamanya adalah perilaku panik para pemegang likuiditas (panic view). Bukan sekadar alasan fundamental ekonomi (fundamental view). Jika alasannya fundamental, mengapa krisis di Thailand tidak sehebat dan selama krisis di Indonesia? Apakah fundamental ekonomi Thailand lebih baik dari Indonesia? Sistem finansial global telah menyumbang peran amat besar terhadap gonjang-ganjing krisis di negara berkembang. Jadi, terlepas baik buruknya fundamental ekonomi domestik sebuah bangsa, hubungan pasar finansial domestik dengan sistem finansial global menjadi salah satu faktor penentu kerawanan finansial bagi negara itu.
Kini, manakala krisis yang dipicu perilaku panik sudah mereda, muncul gagasan mengenai dosa asal yang berdimensi "domestik". Artinya, komposisi utang dalam negeri sebuah bangsa bisa menimbulkan kerapuhan finansial. Ketidakmampuan sebuah bangsa (sedang berkembang) menerbitkan surat utang dalam negeri dalam mata uang lokal, jangka panjang (long maturities), dan pada suku bunga tetap (fixed interest rates) akan menjadi sumber masalah serius.
Penerbitan surat utang dalam mata uang asing akan menimbulkan ketimpangan mata uang (currency mismatch), sementara beban pada utang jangka pendek akan meningkatkan risiko ketimpangan pembayaran (maturity mismatch). Dua risiko klasik ini rupanya tidak serta-merta hilang meski emisi surat utang dilakukan di pasar domestik.
Dari semua itu, ada dua inti cerita. Pertama, ekonomi yang terlalu bertumpu pada sektor finansial, sementara ekonomi riilnya mandek, apa pun alasannya akan menimbulkan risiko serius.
Kedua, berakhirnya utang terhadap IMF bukan berarti bahaya terhadap kerawanan finansial akan hilang. Jika cara pandang para pengelola ekonomi negeri ini masih seperti cara pandang (ideologi) lembaga multilateral ini, bukan mustahil kita akan terjerembap dalam krisis yang sama. Pasalnya, sistem finansial global tetap menyimpan risiko bagi negara sedang berkembang.
Jika ini terjadi, bukan mustahil pula di masa depan kita akan kembali menjadi pasien utama IMF. Jika demikian, sementara banyak pihak mempersoalkan eksistensi IMF, kita justru memperbesar legitimasinya dengan tetap menjadi bangsa yang terbuka bagi kerawanan yang muncul dari sistem finansial global ini.

A Prasetyantoko Mahasiswa Doktoral di Ecole Normale Supérieure (ENS)-Lsh, Lyon, Perancis

0 Comments:

Post a Comment

<< Home