KOMPAS

Kliping artikel Opini KOMPAS, sejak 2001

Monday, February 05, 2007

Ekonomi Balon

(KOMPAS, 12 September 2005)
Ekonomi Balon
A Prasetyantoko

Belum pernah penyerapan tenaga kerja serendah ini (Kompas, 5/9/2006). Bappenas menghitung, tahun 2006 penyerapan tenaga kerja setiap satu persen pertumbuhan ekonomi hanya 42.000 orang.
Padahal, pada tahun 2001 mencapai 253.000 dan tahun 2003 sebesar 248.000 orang. Bahkan, sebelum krisis penyerapan tenaga kerja jauh di atas angka-angka itu. Mengapa ini terjadi?
Secara sederhana, kita bisa beranggapan, ekonomi kita tengah tumbuh secara "tidak nyata". Pasalnya, walaupun ekonomi tumbuh, lapangan kerja minim tercipta. Hal ini biasa terjadi jika sektor finansial berkembang terlalu cepat secara tidak proporsional dibandingkan dengan sektor riil. Apalagi, jika perkembangan sektor finansial terjadi dalam situasi tidak jalannya fungsi intermediasi.
Seperti dalam pepatah "bersenang-senang di atas penderitaan orang lain", sektor finansial di Indonesia sedang mengalami kegairahan luar biasa di tengah derita sektor riil. Terutama pascakrisis, pergerakan ekonomi kita cenderung didominasi oleh sektor finansial. Dan rupanya, kecenderungan ini terjadi juga di tingkat global. Sejak tahun 1980-an, sektor finansial di tingkat global mengalami revolusi yang luar biasa, dengan munculnya berbagai instrumen investasi yang makin rumit. Di tengah kolapsnya sektor riil, pesatnya sektor finansial bisa memunculkan "ekonomi balon".
Sektor finansial
Pada tahun 2005, majalah The Economist pernah memuat ulasan perkembangan finansial global. Judul depannya: "The New King of Capitalism". Pada abad ekonomi finansial ini, para pemain (investor) di pasar finansial adalah raja baru dalam ekonomi kapitalis.
Majalah ini mencatat, dalam periode 2003-2005 pasar ekuitas global tumbuh 60 persen. Jika dihitung selama sepuluh tahun terakhir, perkembangannya mencapai 3.000 persen. Rupanya, liberalisasi finansial yang mulai pesat terjadi di era 1980-an telah menuai hasil yang spektakuler.
Meski begitu, para ahli ekonomi finansial sebenarnya juga telah mengingatkan: pesatnya sektor finansial di negara sedang berkembang sangat riskan terhadap krisis ganas. Pada dasarnya, liberalisasi finansial akan diikuti dengan kerawanan finansial yang bisa berakhir dengan krisis finansial. Dalam sistem keuangan yang liberal, krisis nilai tukar kadang datang bersama krisis perbankan. Hasilnya, krisis ganda (twin crisis) yang berbahaya.
Di Indonesia, kausalitas antara liberalisasi finansial dan krisis terlihat begitu sahih. Akibat terlalu terekspose pada sistem finansial global, periode liberalisasi finansial diikuti dengan masa krisis yang ganas. Hingga kini, setelah hampir 10 tahun, dampaknya terhadap kinerja investasi, pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja belum bisa diatasi. Parahnya, krisis yang disebabkan oleh liberalisasi tanpa regulasi dipecahkan dengan dosis liberalisasi yang makin tinggi. Sementara aturan (governance) dibiarkan terkantung-katung tak menentu.
Paul Krugman (1999) menyatakan, krisis 1997 tak mengherankan sebagai konsekuensi dari munculnya "ekonomi buih" (bubble economy) di kawasan Asia Tenggara. Krisis membuktikan keajaiban Asia (Asian miracle) sebenarnya ilusi belaka karena faktanya kinerja pertumbuhannya hampa, seperti balon yang besar tetapi kosong. Apa benar Indonesia mengalami ekonomi balon?
Balon udara
Para ahli menyusun perangkat-perangkat untuk mendeteksi fenomena ekonomi balon. Salah satunya, dengan membandingkan laju pertumbuhan sektor perdagangan (tradable) dan nonperdagangan (nontradable). Tornell dan Westermann (2002) menjelaskan, pada masa cerah di mana kredit dikucurkan deras (lending boom), sektor nonperdagangan akan mengalami perkembangan yang lebih cepat ketimbang sektor perdagangan. Namun, pada masa krisis sektor perdagangan akan pulih lebih dahulu daripada sektor nonperdagangan. Bagaimana situasinya di Indonesia?
Penelitian sederhana yang saya lakukan memberi ilustrasi empiris yang agak berbeda. Guna mendeteksi kesempatan pendanaan yang tak seimbang (asymmetric financing opportunity) di antara kedua sektor, studi ini mengukur sensitivitas hubungan antara aliran kas (cash flow) dan tingkat investasi perusahaan.
Hasilnya, sebelum krisis sektor perdagangan memang memiliki kendala dalam pendanaan (financing constraints) yang lebih besar ketimbang sektor nonperdagangan. Kredit cenderung mengucur lebih besar ke sektor nonperdagangan daripada ke sektor perdagangan. Namun, rupanya pascakrisis tidak berarti sektor nonperdagangan mengalami kesulitan mencari pendanaan. Dari data sektoral terlihat pascakrisis rasio utang yang paling besar justru terjadi pada sektor properti (nontradable sector). Kucuran kredit ke sektor properti tidak surut pascakrisis. Bahkan, di tengah kelesuan kinerja investasi di hampir semua lini, sektor properti masih terus melaju.
Ada indikasi ekonomi kita justru tumbuh makin "tidak riil" setelah krisis. Data Bank Dunia menunjukkan, tahun 2004 pertumbuhan sektor tradable di Indonesia 2,9 persen, sementara sektor nontradable 7,2 persen. Dan pada tahun 2005 pertumbuhan kedua sektor menjadi 3,5 dan 8 persen. Perbedaannya cenderung melebar. Sebagai catatan, sektor pertanian (bagian dari sektor tradable) hanya tumbuh 2,1 persen pada tahun 2004 dan 2,5 persen pada tahun 2005. Jelas, sektor nontradable makin meninggalkan sektor tradable.
Menurut tesis Krugman, ekonomi balon terjadi karena dominasi sektor nontradable, terutama properti. Di Indonesia, indikasi terjadinya ekonomi balon juga bisa dilihat dari tingginya ekspektasi di bursa saham. Pada Januari 2006, nilai tengah (median) dari persentase perkembangan perdagangan saham di Bursa Efek Jakarta mendekati 3,3 persen (paling tinggi di seluruh kawasan). Sementara Malaysia hanya tumbuh 1,4 persen, Thailand 2 persen, dan Korea 2,1 persen.
Padahal, jika dinilai secara fundamental, perusahaan-perusahaan di Indonesia posisinya lebih buruk ketimbang perusahaan di beberapa negara tetangga. Penilaian terhadap rasio utang, kemampuan membayar utang, dan ekspektasi pendapatan, semuanya menunjukkan lemahnya kinerja perusahaan di Indonesia secara relatif terhadap perusahaan di negara tetangga.
Bisa jadi benar, ekonomi kita sedang penuh dengan janji, harapan, dan eforia yang tidak riil. Sektor finansial mengalami perkembangan yang begitu pesat, sementara sektor riil masih tetap kolaps. Dalam situasi seperti ini, penerbitan Obligasi Ritel Indonesia (ORI) seri 001, yang akan segera disusul dengan seri-seri berikutnya, justru memperbesar balon udara. Sektor finansial makin tak terkendali perkembangannya.
Jadi, ekonomi kita besar, tetapi berisi udara, sehingga para pencari kerja tak bisa berharap banyak darinya. Ekonomi belum akan segera menjawab persoalan nyata di negeri ini.

A Prasetyantoko Mahasiswa Doktoral Ilmu Ekonomi pada Ecole Normale Supérieure (ENS)–Lsh, Lyon, Perancis

0 Comments:

Post a Comment

<< Home