KOMPAS

Kliping artikel Opini KOMPAS, sejak 2001

Monday, February 05, 2007

Bencana Liberalisasi Finansial

(Kompas, 26 Desember 2006)
Bencana Liberalisasi Finansial
A Prasetyantoko

Menutup tahun 2006, seakan ada trauma yang kembali hadir. Baru-baru ini pasar saham Thailand terpuruk lebih dari 20 persen. Imbasnya, nilai tukar rupiah sempat melonjak ke level 9.135 per dollar AS (Kompas, 21/12/2006).
Juni 1997, berawal dari terpuruknya nilai tukar baht Thailand, kepanikan dan gejolak krisis finansial terasa di seluruh kawasan. Bahkan, hingga hari ini, bangsa kita masih tertatih-tatih untuk kembali berdiri setelah terpuruk, melebihi negara mana pun di kawasan Asia.
Ketika baru-baru ini bank sentral Thailand (BoT) menerapkan kebijakan kontrol devisa, kita bertanya-tanya apa yang akan dilakukan Indonesia? Pertanyaan itu segera terjawab, kebijakan liberalisasi finansial yang kita anut selama ini tidak akan diganggu gugat. Argumennya, fundamental ekonomi makro sudah lebih kuat sehingga tak perlu ragu menghadapi guncangan finansial. Koordinasi antarinstansi yang mengatur sistem finansial sudah terjadi dengan baik. Itu cerita lama.
Saat krisis 1997 datang, hampir semua indikator ekonomi makro pada performa yang meyakinkan. Tetapi, mengapa krisis meluluhlantakkan semua? Cuci tangan dengan mudah bisa dilakukan dengan menyebut faktor politik, kerusuhan sosial sebagai biang masalah. Benarkah?
Tentu saja sebagian argumen itu benar, tetapi tidak seluruhnya. Diskusi yang muncul saat itu, apakah krisis ini lebih disebabkan faktor fundamental atau faktor kepanikan investor, apakah lebih disebabkan faktor makro-ekonomi atau mikro (perusahaan dan perbankan), apakah penyebabnya berasal dari dalam atau luar negeri, yaitu sistem finansial global. Hal yang pasti, krisis telah berkembang menjadi realitas yang kompleks.
Krisis berulang?
Banyak ahli menunjuk akar masalah krisis era 1990-an adalah kebijakan (ideologi) liberalisasi sektor finansial. Begitu keran sektor finansial dibuka, modal bisa berlarian masuk (inflows) dan keluar (outflows) tanpa hambatan. Modal akan selalu mengalir pada pasar yang paling menguntungkan, tak peduli penuh korupsi atau tanpa pengawasan. Itulah yang terjadi pada negeri kita.
Pada tahun 2000, Bank Dunia membuat survei tentang kualitas kelembagaan perekonomian di kawasan Asia. Sudah bisa ditebak, diukur dari indeks apa pun Indonesia terburuk. Dari indeks efisiensi sistem peradilan, skor Indonesia 2,5 (terendah), sementara Thailand 3,5. Untuk indeks sistem hukum, skor Indonesia 3,98 (terendah), Thailand 6,25. Indeks korupsi, Indonesia juga terendah (2,15) dan Thailand 5,18.
Modal masuk dalam jumlah besar dibawa para pialang dalam bentuk investasi portofolio jangka pendek dan melalui sektor swasta dalam wujud utang-utang jangka pendek. Dalam konteks institusional yang buruk, proyek-proyek yang dibiayai dana asing jangka pendek itu ternyata kosong, banyak yang fiktif, atau terlalu besar mark-up-nya. Ekonomi kita berkembang seperti buih (bubble) yang kosong (bumpy) sehingga manakala terjadi gejolak eksternal, perilaku panik para agen ekonomi (termasuk pemerintah) tak terelakkan lagi. Koordinasi tak jalan dan semua pihak terkungkung pada perspektif sempit jangka sangat pendek (myopic).
Apakah situasinya kini berbeda? Jika ditilik dari bangunan institusional (strukturalnya), tampaknya tak ada yang berbeda. Kita justru ada pada tatanan finansial yang kian liberal. Dalam hal ini, ada pola yang berulang. Dulu Indonesia menjadi pasar kredit yang menjanjikan meski sektor produktifnya tidak jalan. Kini, pasar modal kita menjadi salah satu dari trio pasar modal terbaik di Asia bersama bursa Shanghai China dan Mumbai India. Indeks bursa (IHSG) berhasil menembus level 1.760 atau tertinggi dalam sejarah pasar modal di Indonesia. Ironisnya, perusahaan yang tercatat di bursa saham memiliki nilai fundamental yang lebih buruk dibanding ukuran-ukuran perusahaan di bursa tetangga.
Sektor finansial
Sektor finansial sering disalahkan sebagai penyebab utama (risk premia) terjadinya krisis. Menurut Bernanke dan Geltler (1999), sektor finansial bisa menjadi pendorong terjadinya krisis (financial accelerator) apabila pasar tidak bisa bekerja sempurna (imperfect market). Atau Eichengreen and Hausmann (1999) yang mengakui sistem finansial global sebagai dosa asal (original sin) dari aneka gejolak.
Namun, jika dikejar lebih jauh, apakah liberalisasi sektor finansial harus bertanggung jawab atas serial krisis yang menyengsarakan rakyat? Tidak! Pasar yang tidak sempurna, lemahnya supervisi, tata kelola, koordinasi selalu menjadi alibi untuk menyatakan tidak ada yang salah dari liberalisasi finansial.
Hampir semua studi tentang relasi antara sektor finansial dan pertumbuhan, seperti Levine (2004), Ranciere dan Tornell (2004) menyebutkan, krisis hanyalah "biaya" liberalisasi finansial yang dalam jangka panjang masih tetap lebih menguntungkan pertumbuhan ekonomi.
Masalahnya, tidak satu pun dari para teoretisi dan pengambil kebijakan akan menjadi korban jika gejolak finansial terjadi. Malaysia berhasil mengadopsi kebijakan kontrol kapital, dan kini Thailand dalam derajat tertentu menerapkannya. Sementara itu, kita makin yakin membenamkan diri pada sistem finansial global yang liberal.
Parahnya, banyak argumen terlihat begitu tidak meyakinkan. Fundamental ekonomi makro terbukti tidak selalu berkaitan dengan gejolak finansial. Fundamental ekonomi "mikro" lebih berperan. Koordinasi antarinstitusi akan terjadi dengan baik jika situasinya normal, tetapi lain ceritanya jika terjadi kepanikan. Padahal, salah satu ciri krisis finansial adalah perilaku panik para agen ekonomi.

A Prasetyantoko Pengajar Unika Atma Jaya, Jakarta; Sedang Menyelesaikan Program Doktor Ilmu Ekonomi di ENS Lyon, Perancis

0 Comments:

Post a Comment

<< Home