KOMPAS

Kliping artikel Opini KOMPAS, sejak 2001

Sunday, April 16, 2006

Pelajaran dari Skandal Lippo

KOMPAS, Kamis, 06 Maret 2003

TAMPAKNYA sudah ada kata sepakat, PT Bank Lippo Tbk harus dikenakan hukuman. Meski belum ditentukan besarnya, tetapi Ketua Bapepam Herwidayatmo sudah lebih dulu menyatakan akan memberi denda Lippo. Gayung pun bersambut dengan instruksi Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Laksamana Sukardi untuk mengganti manajemen Bank Lippo (Kompas, 5/3/2003). Cukupkah hanya manajemen yang menerima hukuman?

Satu hal yang pasti, kasus yang menimpa Bank Lippo sama sekali bukan yang pertama. Tentu, bukan Bank Lippo saja yang melakukannya. Kita sudah terlalu sering disuguhi rumours soal kasak-kusuk perusahaan yang berujung rekayasa keuangan (financial engineering), penyesatan informasi dan masih banyak bentuk manipulasi lain. Secara sederhana kita bisa mengatakan, kasus Bank Lippo hanya puncak gunung es dari sederet manipulasi yang terjadi secara luas.

Jika tidak ingin memperpanjang masalah dengan mengaitkan skandal lainnya, sepatutnya skandal Bank Lippo dijadikan tonggak penting untuk membenahi pengelolaan perusahaan. Meski tidak terlalu optimis, tetapi ada baiknya tetap menaruh harapan.

Sejak krisis, wacana tentang tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance) merebak bagai ledakan besar. Semua orang membicarakan. Mengapa? Karena dalam situasi normal, di mana perusahaan masih menjadi "sapi perah", sebenarnya tak menjadi penting bagaimana perusahaan itu dikelola. Tetapi begitu krisis dan semua perusahaan kolaps, terusiklah kepentingan para pemegang saham, kreditor, dan investor. Jadi, kepedulian terhadap tata kelola perusahaan yang baik berbanding lurus dengan semakin tidak pastinya tingkat pengembalian investasi.

"Corporate Governance"

Secara definitif, istilah corporate governance mengandung pengertian bagaimana pihak-pihak inti yang berkepentingan dengan perusahaan saling berinteraksi (Thomas L Wheelen & J David Hunger, 2000). Siapa pihak-pihak itu? Mereka adalah pemegang saham (shareholders), pengelola (top management), dewan pengawas (board of directors).

Para pemegang saham selalu berkepentingan mengamankan investasinya agar menghasilkan dividen tiap tahun. Untuk itu, mereka menugaskan para dewan pengawas untuk memonitor kinerja manajemen agar sesuai kepentingannya. Di sinilah letak pentingnya peran dewan pengawas (komisaris) yang bertindak atas mandat yang diberikan para pemegang saham, bukan pihak pengelola.

Meski demikian, sudah menjadi rahasia umum, dalam banyak kasus, komisaris tak lebih dari sekadar lipstik yang mempercantik profil perusahaan. Sehingga tak mengherankan jika mereka tidak terlalu peduli dengan apa yang terjadi dalam perusahaan. Dalam buku teks Strategic Management umumnya dibahas tentang berbagai tipikal peran dewan komisaris dalam perusahaan.

Dewan komisaris yang hanya sekadar dicatut namanya oleh perusahaan tanpa ada fungsi sama sekali, disebut model Phantom. Tujuannya untuk menakut-nakuti pihak eksternal dengan selalu mencantumkan nama-nama dewan komisaris dalam laporannya, khususnya laporan keuangan. Lalu ada model lain, Rubber Stamp (tukang stempel). Dewan komisaris menurut model ini tidak lebih hanya sekadar sebagai tukang stempel. Mereka tidak mengindahkan apa pun kecuali hanya membubuhkan tanda tangan dan memberi cap bagi keputusan-keputusan penting dalam perusahaan.

Sementara itu, model yang aktif dalam melakukan kontrol dan evaluasi kinerja perusahaan ditunjukkan dengan model Catalyst. Menurut model ini, dewan komisaris adalah penyaring segala sesuatu yang penting bagi perusahaan. Model mana yang lebih sering terjadi?

Dari sebuah studi yang dilakukan terhadap 500 perusahaan versi Majalah Fortune ditemukan, 40 persen dewan pengawas hanya berfungsi sebagai tukang stempel. Sedangkan dewan komisaris yang menunjukkan sikap aktif dalam melakukan evaluasi terhadap perusahaan hanya 30 persen. Sedangkan 30 persen sisanya, kalaupun mereka mengevaluasi dan mengontrol perusahaan, tetapi hanya secara minimal saja. Artinya, kehadirannya tetap tidak signifikan terhadap berbagai penyimpangan yang dilakukan oleh pihak manajemen.

Jadi, bila di antara perusahaan peringkat atas dunia masih diwarnai keengganan peran dewan pengawas terhadap kinerja eksekutif perusahaan, apalagi di negeri kita yang dikenal sebagai tempat untuk bagi-bagi rezeki dan kekuasaan? Dari kasus Bank Lippo terlihat, posisi dewan komisaris adalah posisi yang mirip sebagai hadiah atau bagi-bagi rezeki. Bahkan, ada anggota dewan komisaris yang sampai kini tidak merasa jelas posisinya, apakah masih terdaftar atau tidak. Sungguh tragis.

Pertanyaan penting yang perlu dijawab dalam kasus skandal Lippo adalah, apakah para dewan komisaris termasuk pihak yang akan dikenakan hukuman? Sepertinya ide ini terlalu ambisius. Bagaimana mungkin, anggota dewan pengawas yang akan dihukum itu sebagian adalah pihak yang semestinya berkompeten memberi hukuman? Jadi seperti membersihkan kotoran dengan tangan kotor.

Skandal Lippo semestinya sejajar skandal Enron di Amerika Serikat (AS) yang segera diikuti pengungkapan kasus-kasus serupa lain. Tetapi yang terjadi kasus Lippo sendiri diperpanjang dengan berbagai alasan klasik yang bertele-tele. Semestinya, kasus Lippo diselesaikan secepat mungkin dengan melucuti pihak-pihak yang bertanggung jawab (termasuk dewan komisaris) dan segera diteruskan dengan pengungkapan kasus- kasus lain.

Sayang, skandal Bank Lippo tidak terjadi di AS. Dan untung bagi pengelola dan dewan komisaris, skandal Lippo terjadi di Indonesia yang semua pejabatnya permisif atas pelanggaran. Banyak kata-kata kasar dilontarkan bagi para pengeruk uang rakyat seperti ini, tetapi tetap saja pemerintahan berjalan seperti biasa, tak ada urgensi apa pun untuk menyelesaikannya. Bagaimana seharusnya persoalan seperti ini diselesaikan?

Alasan klasik ini selalu dikemukakan, yaitu rezim yang kini mewarisi persoalan yang luar biasa besar dan harus segera ditangani secara bersamaan. Jadi, wajar bila pemerintah tidak bisa menyelesaikannya. Kelihatannya bisa dimaklumi. Tetapi hal yang tidak bisa diterima adalah bahwa rezim yang kini tetap membiarkan terjadinya penyimpangan yang semakin kasatmata. Beribu dalih dilontarkan sebagai pembenaran diri yang intinya menghalalkan manipulasi, kalaupun mereka tidak terlibat langsung.

Jadi sudah seperti jalan tiada ujung, bagai labirin persoalan yang tidak bisa diperkirakan kapan dan seperti apa penyelesaiannya. Bahkan, orang yang sudah menikmati gurihnya praktik akal-akalan masih juga menggunakan alasan kemanusiaan agar dimengerti publik. Bagaimana bisa!

Selain itu, pertanyaan teknis yang perlu diajukan dalam perkara ini adalah, apakah wacana corporate governance masih relevan dalam kondisi yang carut-marut seperti ini?

"Corporate Responsibility"

Dilihat dari definisinya, corporate governance akhirnya hanya sebuah mekanisme untuk melindungi kepentingan investor, pemegang saham, dan pemilik perusahaan (shareholders) saja. Sedangkan semestinya, tata kelola yang baik itu merupakan bagian tidak terpisahkan dari tanggung jawab mereka secara sosial. Para ahli strategic management sudah mengembangkan konsep yang menekankan tanggung jawab perusahaan dalam pengertian luas ini.

Pada prinsipnya, perusahaan tidak hanya bertanggung jawab kepada para pemegang saham saja, tetapi juga pada masyarakat secara umum. Sehingga, masyarakat memiliki kepentingan terhadap berbagai praktik penyimpangan perusahaan, bukan saja para pemegang saham. Dengan asumsi ini, masyarakat juga memiliki hak untuk menuntut agar perusahaan dikelola dengan baik. Sehingga masalah penyimpangan dalam pengelolaan perusahaan bukan semata monopoli kepentingan para pemegang saham saja. Manipulasi keuangan adalah praktik yang menyangkut kepentingan masyarakat.

Konsekuensinya masalah seperti yang menimpa Lippo tidak bisa diselesaikan hanya dengan bersandar pada aturan-aturan pasar modal, di bawah otoritas Bapepam, Bank Indonesia, atau Menneg BUMN semata. Skandal Lippo adalah masalah pidana yang harus diselesaikan lewat persidangan publik. Masyarakat berhak untuk menuntut agar tindakan itu diadili secara transparan, bukan dengan mengulur-ulur waktu dan akhirnya mengaburkan persoalan, meski dengan kompensasi pemberian denda ala kadarnya.


A Prasetyantoko Pengajar Kebijakan Bisnis di Unika Atma Jaya, Jakarta

0 Comments:

Post a Comment

<< Home