Bisnis dalam Oportunisme
KOMPAS, Rabu, 11 Desember 2002
MENYUSUL pengumuman PT Sony Electronics Indonesia (PT SEI) yang berencana akan menutup pabriknya di Indonesia, muncul banyak komentar. Salah satu yang menarik adalah anggapan, PT SEI telah bersikap oportunis. Salahkah?
Matsushita, salah satu pelopor industri Jepang pernah berujar, dunia bisnis bukan hanya mengabdi kepentingan pasar, tetapi terbuka untuk menciptakan masyarakat yang kaya secara spiritual dan berkelimpahan secara material. Inilah salah satu filosofi bisnis Jepang.
Dalam sebuah kuliah di sekolah bisnis yang pernah saya ikuti dijelaskan, model industri Jepang memiliki karakter yang secara mendasar berbeda dengan model industri Barat (lebih khusus lagi Amerika Serikat, AS). Karakter industri Jepang lebih berorientasi pada keseimbangan dalam jangka panjang, sementara industri AS cenderung berorientasi jangka pendek sehingga memberi kesan eksploitatif.
Berpijak dari karakter industrial ini, perbincangan mengenai rencana penutupan PT SEI menjadi menarik. Salah satu hal yang mengemuka dalam perbincangan adalah efek yang ditimbulkan. Secara historis, PT SEI adalah salah satu industri generasi pertama dari gelombang investasi asing langsung (foreign direct investment) Jepang ke Indonesia. Ibarat pohon, PT SEI sudah terlanjur besar dan mengakar menembus bumi. Penutupan perusahaan mengakibatkan 1.100 karyawan mengalami pemutusan hubungan kerja, dampak yang masif bagi dunia ketenagakerjaan kita.
Selanjutnya, akan ada efek berantai. Selain akan menambah jumlah pengangguran terbuka yang kini diperkirakan mencapai 40 juta, penutupan itu juga akan mematikan industri-industri kecil yang ada di sekitarnya. Jika industri AS cenderung berdiri sendiri, industri Jepang cenderung berorientasi pada pendelegasian pekerjaan (sub-contracting) dalam sistem jaringan industri. Bisa dibayangkan hengkangnya PT SEI akan diikuti tumbangnya banyak clans industri yang ada dalam cakupan jejaring industrinya.
Strategi industri
Dalam konferensi persnya di Tokyo, yang disiarkan BBC News, Gerald Cavanagh, juru bicara Sony Corp menyatakan, pasar Indonesia tidak kompetitif lagi. Pilihan yang rasional adalah menutup atau merelokasi industri ke tempat lain. Malaysia kemungkinan akan dipilih sebagai fokus industri di wilayah Asia Tenggara (Kompas, 27/10/2002).
Meski telah berusia 11 tahun, dengan output produksi sekitar 15 milyar yen per tahun, tetap dalam proses evaluasi kebijakan direkomendasi untuk menutup atau merelokasi industri. Ini tentu keputusan strategik yang amat besar, karena menyangkut kemungkinan mobilisasi sumber daya (resources) yang luar biasa besar juga. Bisa dibayangkan, keputusan diambil setelah mempertimbangkan betapa besar kendala yang harus dihadapi, bila melanjutkan usahanya di Indonesia.
Ihwal kasus industri elektronik, para ahli strategi bisnis pernah gelisah. Ada hal menarik dari perkembangan investasi elektronik Jepang di Asia Timur era 1980-1990-an. Selama ini, paradigma dominan untuk menganalisis strategi internasionalisasi industri amat dipengaruhi paradigma ekonomi (neo)-klasik. Satu-satunya penjelas atas mobilisasi industri (penetrasi atau relokasi) adalah keunggulan komparatif (Hymer, 1960) dan kompetitif (Porter, 1980).
Ada variabel homogen yang amat menentukan strategi mobilisasi industri. Misalnya, kenaikan gaji buruh, fluktuasi nilai tukar, pembebasan pajak, kepabeanan, proteksi dan sebagainya. Namun, studi yang dilakukan J. Song dari Yonsei University, Seoul-Korea Selatan, menunjukkan kecenderungan berbeda.
Menyusul apresiasi mata uang yen atas dollar AS tahun 1985, terjadi gelombang besar-besaran investasi perusahaan elektronik Jepang ke kawasan Asia Timur. Manakala terjadi perubahan drastis dalam iklim investasi di Taiwan, Korea Selatan, dan Singapura-yang berkait dengan tingginya upah, menurunnya penawaran (supply) tenaga kerja, serta apresiasi mata uang lokal-banyak perusahaan Jepang memindahkan investasinya ke Malaysia dan Cina. Yang menarik, ada perusahaan yang memilih tetap tinggal dan menyesuaikan diri dengan perubahan iklim investasi yang baru (Strategic Management Journal, Vol 23:2002)
Jadi, atas variabel makro yang sama, sebenarnya perusahaan masih punya pilihan, memindahkan investasi (downgrade) atau menyesuaikan diri (upgrade). Dalam kasus perusahaan elektronik Jepang, banyak yang memilih meng-upgrade, daripada men-downgrade (hengkang). Mengapa? Salah satu sebabnya karena perusahaan Jepang sudah terikat jaringan (networking) industri lokal melalui perusahaan-perusahaan kecil sebagai subkontraknya. Akibatnya, untuk memindahkan industri ke tempat lain, mereka berpikir dua-tiga kali. Ini bukan pilihan mudah. Jika benar ingin memindahkan industrinya, mereka harus membangun jaringan baru di tempat lain.
Jika disederhanakan dalam rumusan teoritis, industri Jepang cenderung memiliki keterikatan (embeddedness) yang besar atas industri lokal, karena dalam proses penetrasinya disertai institusionalisasi yang lebih kompleks. Sehingga, secara umum, industri Jepang akan menghadapi proses pencerabutan yang luas dan kompleks, bila keputusan relokasi atau penutupan harus dilaksanakan.
Oportunisme
Benarkah karakter industri Jepang berbeda dengan industri AS, seperti sering ditemui dalam studi kasus di sekolah bisnis? Kalaupun ada, tentu ada karakter dasar yang sama. Dari sudut mana pun, bisnis tak akan lari dari muaranya, menghasilkan laba. Atas alasan ini, bisnis akan selalu berperilaku oportunis.
Kesimpulan itu cenderung bersifat menggeneralisir. Sebagaimana dipahami para multikulturalis, keterkaitan pada kearifan setempat (local wisdom), amat besar dan menentukan karakter bisnis. Karena sebagaimana rasionalitas individu akan ditentukan institusinya (bounded rasionality), karakter institusi juga akan ditentukan lingkungan makro setempatnya. Tetapi untuk tidak terjebak pada relativisme berlebihan, kita sepakati dasar ontologi yang satu, bagaimana pun bisnis punya karakter oportunis dan selalu berorientasi mengejar keuntungan.
Lalu bagaimana menanggapi rencana penutupan PT SEI? Jika benar industri Jepang memiliki proses institusionalisasi yang kuat dan mengakar atas industri domestik, maka bisa diasumsikan, keputusan untuk menutup atau memindahkan PT SEI diambil atas alasan yang amat mendasar dan kompleks.
Tentu saja, bisa disebut sederet persoalan, mulai dari soal ketenagakerjaan, kepabeanan, pajak, penyelundupan dan sebagainya. Tetapi harus diingat, terhadap situasi obyektif yang sama, ada respons subyektif berbeda yang bisa diambil. Contohnya, dalam situasi yang sama, baru-baru ini para pengusaha Perancis justru berbondong-bondong ke Indonesia untuk berinvestasi. Namun, kenyataan ini juga akan berbalik arah jika kerusakan lingkungan bisnis sudah meresap pada struktur yang paling dalam dan tidak kentara pada permukaannya (deep structure).
Oleh karena itu, hal yang lebih mendesak dipikirkan kini adalah mengubah struktur lingkungan bisnis sampai akar-akarnya. Menyangkut oportunisme misalnya, bagaimana para investor asing tidak berperilaku oportunis bila pemerintah dan wakil rakyat saja bersikap oportunis.
Negeri ini sudah mirip kapal yang sedang karam sehingga masing-masing berupaya menyelamatkan diri sendiri, sambil tak segan mencederai orang di sekitarnya. Inilah saat paling tepat bagi para pelaku bisnis untuk berperilaku oportunis. Kita sendiri lalu tak punya cukup energi untuk menangkap makhluk oportunis itu, karena dasar seluruh gerakan mengarah pada muara yang sama yaitu merebutkan posisi dan kekuasaan.
Akhirnya, masalah-masalah ini akan menjadi hal yang bersifat business as usual (seakan tak terjadi apa-apa), bila berhadapan dengan pertarungan kekuasaan, apalagi menjelang tahun 2004 nanti. Jadi, bila akhirnya PT SEI harus pergi juga, itu adalah bagian dari harga yang harus dibayar. Bagaimana pun perebutan kekuasaan bukan makan siang yang gratis!
A Prasetyantoko Pengajar Kebijakan Bisnis di Unika Atma Jaya, Jakarta
0 Comments:
Post a Comment
<< Home