"Corporate Image"
KOMPAS, 02 Desember 2002
MENURUT sebuah logika, satu-satunya tanggung jawab sosial perusahaan adalah menghasilkan keuntungan. Berikut penjelasannya. Bila perusahaan menghasilkan keuntungan, dia akan mampu membayar lebih tinggi karyawannya.
Bila karyawan berpendapatan naik, daya beli meningkat. Jika daya beli meningkat, pemintaan terhadap hasil produksi bertambah. Bertambahnya permintaan akan meningkatkan output produksi yang akhirnya diikuti peningkatan keuntungan. Jadi ada semacam "mata rantai malaikat" yang membuat semua orang pasti akan gembira (win-win solution).
Inilah cara pandang utama dalam bisnis. Secara alamiah, keuntungan akan memunculkan "kebaikan-kebaikan" (benefit) yang akan terdistribusi dengan sendirinya kepada semua pihak, baik yang terlibat maupun tidak. Jadi, tak perlu ada mekanisme lain karena hanya akan mengganggu proses alamiah itu. Sampai di sini, kita tiba pada jantung pemikiran liberal yang mengedepankan mekanisme pasar bebas. Inilah fondasi utama aktivitas bisnis modern.
Dalam sebuah kesempatan, seorang teman praktisi bisnis mendebat prinsip itu. Diungkapkan, banyak perusahaan amat aktif memprakarsai berbagai program sosial. Dia gunakan logika perusahaan sebagai organisasi yang bersifat organis (organism), selalu tumbuh dan berkembang sesuai tuntutan lingkungan. Lalu apakah mereka jenis (genre) organisasi baru dalam bisnis? Rasanya tidak!
Perusahaan sebagai organisasi memiliki logika seperti ini. Seperti makluk hidup yang tinggal di tengah komunitas dan lingkungan tertentu, dia akan dibentuk dan membentuk diri sesuai alur perubahan lingkungan. Ini adalah soal bagaimana cara hidup (facon d'etre) bukan alasan keberadaan (raison d'etre).
Menciptakan kesan
Seperti organisasi lain, tujuan paling dasar perusahaan adalah terus hidup (survive). Sampai kini, cara yang diyakini paling baik untuk mempertahankan keberadaannya adalah mengakumulasi keuntungan. Jadi, perusahaan tidak didirikan untuk tujuan sosial. Dia adalah mesin pencipta laba! Hanya, lingkungan yang berubah kian menuntut agar perusahaan lebih peduli pada masalah lingkungan dan tanggung jawab sosial.
Dengan kata lain, tanggung jawab sosial perusahaan adalah salah satu cara mempertahankan kelangsungan hidup. Harus diakui, perusahaan mau tak mau harus memberi kesan (corporate image) yang baik kepada publik jika ingin diterima lingkungannya. Ini adalah usaha untuk mendapatkan legitimasi publik. Bagi perusahaan, tak ada salahnya mengeluarkan biaya demi meraih keuntungan dalam jangka panjang. Dan prinsip yang digunakan pun tetap sama, yaitu mengalkulasi keuntungan (rugi-laba).
Demikian pula masalah tata kelola perusahaan (corporate governance) yang baik. Apa sebenarnya motivasi perusahaan peduli? Jawabannya sama, untuk mendapatkan legitimasi pasar dan lingkungan di mana dia hidup dan berkembang.
Menyusul terbongkarnya skandal keuangan di Amerika Serikat (AS), investor menjadi lebih berhati-hati dalam memilih saham perusahaan. Hanya perusahaan yang berindikasi baik, tidak mengandung kebohongan, yang diburu investor. Jadi, ada keterpaksaan atas perubahan lingkungan yang membuat perusahaan menjadi peduli dengan tata kelola perusahaan.
Ilustrasi berikut bisa menjadi gambaran. Dalam sebuah survei, tiba-tiba Apria Healtcare Group Inc-perusahaan kecil yang tidak begitu terkenal-melonjak naik dan masuk daftar perusahaan terbaik dalam pengelolaan perusahaan. Alasannya, dewan direksi telah menunjukkan kinerja meyakinkan. Dalam 24 jam setelah mengetahui istri CEO Phillip L. Carter terbukti disewa untuk menjalankan salah satu proyek perusahaan melalui mekanisme yang tidak jujur, dewan direksi mampu membuat sang CEO membatalkan proyek itu, diikuti pengunduran dirinya (Business week, 7/10/2002).
Para investor menjadi amat sensitif terhadap data-data kualitatif dan tak hanya terpaku data kuantitatif, seperti laporan keuangan dan hasil audit akuntan.
Sebagaimana diakui Henry R. Silverman, CEO Cendant, pendorong terhadap reformasi perusahaan sebenarnya bukan regulasi pasar modal, imbauan presiden atau desakan lembaga perwakilan rakyat, tetapi keputusan investor. Pasar telah menjadi pembuat aturan (regulator) yang amat menentukan ke mana arah perusahaan harus digerakkan. Dalam kasus pasar modal di AS, selera pasar sedang digerakkan pada minat untuk menerapkan tata kelola perusahaan yang baik. Dan perusahaan yang ingin bertahan harus peduli pada selera pasar ini.
Karena itu Donald P. Jacobs, mantan dosen sekolah bisnis ternama di AS mengatakan, "Enron membawa perubahan paling menyeluruh pada pengelolaan perusahaan di AS" (Business week,7/10/2002). Hal esensial yang ingin disampaikan adalah pengelolaan yang baik terhadap perusahaan bukanlah sesuatu yang dengan begitu saja dan dengan sukarela (volunteer) dilakukan perusahaan, tetapi lebih karena desakan eksternal yang amat rill dilakukan para investor dan konsumen.
Mendidik masyarakat
Melongok kenyataan yang ada, tidak berlebihan bila dikatakan, hal paling pokok dari usaha untuk menciptakan tata kelola perusahaan yang baik adalah mendidik masyarakat. Entah sebagai konsumen, investor, atau pihak lain yang punya kepentingan. Masyarakat adalah pihak terkait (stakeholder) paling penting bagi perusahaan.
Akhir-akhir ini, istilah sumber daya (resources) menjadi amat populer, mengganti kata kekayaan (assets). Apalagi setelah muncul konsep balanced scorecard yang dipopulerkan Robert S. Kaplan (profesor pada Harvard Business School) dan David P. Norton (seorang konsultan bisnis), evaluasi kinerja organisasi tak hanya dilihat dari segi finansial saja. Kaplan adalah profesor bidang akuntansi sekaligus pengembangan kepemimpinan (leadership development).
Prinsip utama konsep ini adalah, kinerja organisasi sebaiknya dipahami secara multiperspektif, bukan hanya dari perspektif keuangan, tetapi juga dari perspektif konsumen, praktek internal bisnis, serta proses pembelajaran dan pertumbuhan. Poin singkatnya, sumber daya organisasi bukan hanya keuangan, tetapi juga sumber daya yang tak tampak (intangible) lainnya.
Dalam hal ini, citra perusahaan (corporate image) yang baik dan kesan tentang penerapan tata kelola perusahaan (corporate governance) yang baik, adalah modal penting proses belajar untuk tumbuh menjadi kian dewasa. Kembali masuk logika naturalis-yang menganggap perusahaan adalah organisasi yang tumbuh mulai bayi, dewasa, dan mati-orientasi utama perusahaan adalah menjadi dewasa (mature).
Di Indonesia, kini banyak disajikan berbagai temuan survei dari berbagai lembaga riset tentang penerapan corporate image dan corporate governance. Sebenarnya, temuan ini bisa dijadikan program aksi untuk melakukan kampanye publik agar masyarakat pun menjadi kian dewasa, menyadari hak-haknya dan bersikap kritis terhadap berbagai praktik penyelenggaraan perusahaan. Bila demikian, proses pembentukan karakter perusahaan akan terjadi dari dua arah, yaitu bertemunya niat untuk hidup terus dengan tuntutan publik.
Kalau sudah begitu, tidak penting memperdebatkan apakah perusahaan berorientasi sosial atau hanya mencari laba. Karena pada akhirnya, sistemlah yang akan mendesak diberlakukannya prinsip-prinsip yang baik. Dalam sistem masyarakat yang kritis bisnis mau tak mau akan tumbuh menjadi organisme yang murah hati.
Karena itu, membangun "karakter bisnis akan menjadi agenda tersendiri, agar tidak begitu saja runtuh oleh tiupan badai perubahan lingkungan yang setiap saat pasti akan terjadi. Ternyata, menciptakan citra saja tidak cukup!
0 Comments:
Post a Comment
<< Home