KOMPAS

Kliping artikel Opini KOMPAS, sejak 2001

Sunday, April 16, 2006

Bisnis Pasca Teroris

KOMPAS 22 Oktober, 2002

Hanya berselang beberapa hari setelah WTC luluh lantah, bisnis di Amerika Serikat (AS) segera bangkit kembali. Perusahaan asuransi segera mengganti kerugian para pelaku bisnis yang naas. Dan kemudian, berkat bantuan teknologi dan sistem informasi yang rapi, bisnis segera berjalan seperti biasa. Di luar semua itu, kepercayaan terhadap bisnis di AS tidak turut diruntuhkan.
Bagi para pelaku bisnis rumusnya sesederhana ini. Semasa masih ada permintaan, dan konsumen tidak meninggalkannya, maka tidak ada kata rugi. Meski dana segar harus segera dikucurkan, tetapi modal tersebut namanya akan berganti menjadi investasi. Tinggal menunggu masa kembali modal (break-even point) saja, dan selebihnya adalah mengitung keuntungan. Jadi faktor utama dalam bisnis adalah kepercayaan. Jika konsumen, pemberi modal (bank), dan para pemasok masih percaya, maka di atas kertas bisnis sudah berjalan. Tinggal dibutuhkan kemampuan manajerial dan peralatan teknologi saja, dan mesin bisnis akan segera bergerak.
Rasanya, dari peristiwa Bali yang menimpa kita ini, satu hal yang turut hilang adalah kepercayaan. Begitu bom meledak di Bali, maka raib pulalah kepercayaan asing terhadap kita. Dan kita sedang kehilangan modal sosial yang penting dalam memulihkan bangsa ini dari krisis yang begitu panjang. Dalam sebuah sistem sosial yang mapan, risiko semacam ini bisa dibagi-bagi (risk-sharing). Tetapi tragedi Bali bebannya terasa menumpuk. Semuanya menjadi beban pemerintah, dan akhirnya segenap lapisan masyarakat.

Menghitung rugi
Sementara masyarakat Australia kesal karena proses pengidentifikasian mayat berjalan begitu lama, kita sendiri juga sibuk dengan menghitung kerugian yang harus dibayar atas tragedi tersebut. Para pengusaha mulai ketar-ketir akan kemungkinan penurunan nilai ekspor tektil dan produk tektil (TPT) yang diperkirakan akan mencapai 20% pada tahun 2003.
Sementara itu, para peserta pameran eksport Indonesia di Kemayoran gelisah karena sekitar 200 investor asing batal datang. Jadi wajar saja jika Menkeu Boediono harus sibuk menghitung kemungkinan kehilangan pendapatan negara di tahun depan.
Tragadi Bali berdampak sangat luas bagi pendapatan negara (APBN) di tahun 2003, khususnya dari sektor perpajakan dan bea cukai. Bisa dihitung saja, berapa penerimaan devisa dari turis asing yang akan hilang dan turunnya nilai ekspor. Belum lagi asumsi angka pengangguran, inflasi dan pertumbuhan ekonomi yang semuanya sudah tertuang dalam APBN. Selain kebutuhan jangka pendek berupa dana segar yang harus segara dikucurkan untuk merehabilitasi kawasan Kuta-Bali.
Tak kurang negara kreditor yang tergabung dalam CGI yang rencananya akan bersidang di Yogyakarta pada bulan oktober ini akhirnya diundur. Terlebih lagi, beberapa dari mereka semakin kehilangan kepercayaan terhadap kinerja pemerintah dan bangsa kita ini. Semuanya segera kacau. Dan rasanya kehilangan akal untuk menanganinya. Tapi jangan putus asa dulu.
Angka indeks dan rupiah segera terangkat setelah melihat kesungguhan pemerintah menangani masalah teroris. Dan majalah Time masih tetap menempatkan Bali sebagai tujuan wisata terfavorit. Meski tetap harus kritis. Mungkin karena tragedi Bali, popularitasnya malah terangkat. Dan para peserta survei di manca negara tetap memfavoritkan Bali. Tetapi giliran disuruh datang, mereka enggan. Dengan alasan keamanan. Jadi menjadi favorit belum tentu berarti apa-apa secara konkrit.
Bagi orang yang pernah tinggal di luar negeri tentu sangat tahu, bahwa orang asing kadang lebih mengenal Bali ketimbang Indonesia. Banyak yang tidak tahu bahwa Bali ada di wilayah Indonesia. Tetapi kini mereka sadar, ke Bali sama bahayanya ke Indonesia.
Tak kurang kantor Menperindag mencanangkan strategi pemulihan pasca tragedi Bali. Berbagai kegiatan mengunjungi negara-negara mitra (road show) segera digelar. Tujuaannya, meraih kepercayaan asing kembali. Bahkan WTO-pun memberi perhatian khusus dengan membentuk komite pemulihan Bali. Ini adalah langkah strategis yang penting. Tapi jangan lupa, ada pekerjaan sangat mandasar yang jauh lebih penting dari semua itu. Yaitu membenahi sistem bisnis dalam suasana carut-marut bangsa.

Modal Sosial
Sudah sejak lama, para ilmuwan sosial memberi nasihat bahwa bisnis tidak akan berjalan jika tidak ada sistem sosial yang mendukungnya. Inilah yang dikenal dengan modal sosial (social capital) yang tidak masuk dalam perhitungan rugi-laba menurut sistem pelaporan keuangan yang konservatif.
Setelah dicabik-cabik dengan krisis hebat yang hingga kini belum sepenuhnya usai, kini isu teroris semakin menggerogoti tingkat kepercayaan pada bisnis di negeri kita. Sebelumnya, para pengusaha Indonesia sering dijuluki Al-Capone (jaringan mafia), karena perilakunya menumpuk keuntungan sudah mirip kegiatan gengster. Kini, bisnis kita didera isu teroris.
Usaha untuk mendapatkan kembali legitimasi bisnis di Indonesia menemui kendala yang berlipat-lipat. Apalagi sekarang, ketika variabel non-ekonomi menjadi hal yang menentukan secara signifikan. Dulu menjalankan bisnis bisa hanya bermodal studi kelayakan dan perencanaan strategis yang matang. Sekarang tidak lagi. Lingkungan bisnis telah dipengaruhi oleh berbagai variabel non-ekonomi yang bahkan sulit diprediksi, apalagi dikalkulasi.
Kabarnya, serangan teroris di AS telah menyadarkan banyak sekolah bisnis terkemuka di AS untuk merubah kurikulumnya. Orientasi sekolah bisnis yang selama ini terlalu berat pada perhitungan teknis dan manajerial, kini berganti pada arah yang lebih umum. Bagaimana menciptakan manajer yang punya wawasan luas dan punya kepedulian besar pada masalah non-ekonomi dan bisnis? Tema kepemimpinan dan kewirausahaan lalu menjadi penting.
Para pelaku bisnis pun semakin menyadari bahwa melakukan bisnis tidak lagi bisa menggunakan asumsi yang sederhana (linear). Para manajer harus semakin pandai mengembangkan berbagai skenario yang mungkin terjadi, dengan juga mempersiapkan berbagai konsekuensi dan jalan keluarnya.
Kesadaran baru inilah yang semestinya menjadi titik pijak untuk menyusun strategi pemulihan ekonomi dan bisnis di Indonesia, khususnya pasca tragedi Bali. Apapun alasannya, usaha untuk memulihkan kepercayaan asing perlu dilakukan. Hanya, menyelesaikan esensi perkaranya sendiri jauh lebih penting diusahakan. Sehingga strategi pemulihan tidak terkesan manis di mulut (lips-service).
Ada dua level perkara yang mengemuka. Pertama adalah menyadari bahwa strategi pemulihan bisnis harus mempertimbangkan variabel non-ekonomi. Masyarakat bisnis sudah selayaknya turut menuntut pemegang otoritas keamanan yang punya hak sepenuhnya menuntaskan masalah teroris. Apapun usaha yang dilakukan, jika otoritas negara tidak melakukan hal yang semestinya untuk menyelesaikan masalah teroris secara serius, bisnis akan terus menjadi korban.
Level perkara kedua adalah segi teknis. Menurut teori yang cenderung klasik, strategi bisnis bisa dibagi menjadi tiga pilihan berikut ini. Mengarahkan pada harga yang murah (low price), memberi sentuhan khusus pada produk (differentiation), atau memilih konsumen yang belum digarap pihak lain (niche).
Memberi sentuhan pada produk rasanya sulit dalam situasi ketidaknyamanan yang bersifat umum. Menekan harga, sedikit sulit karena munculnya pesaing baru seperti Cina. Dan memilih pasar sasaran, rasanya masih bisa dilakukan. Bagaimanapun, ada banyak pihak yang masih punya ikatan tertantu dengan pasar Indonesia. Sentimen ini mestinya jadi titik masuk bagi strategi pemulihan ekonomi, khususnya di bidang ekspor-impor.
Akhirnya dua level ini harus diselesaikan bersama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Karena jika tidak, kita akan kehilangan momentum bagi pemulihan kepercayaan itu sendiri. Sehingga, kita benar-benar akan kehilangan kepercayaan tersebut (lost of confidence).

A.Prasetyantoko, Pengajar di Unika Atma Jaya Jakarta

0 Comments:

Post a Comment

<< Home