“Moral or Commercial Imperative?”
KOMPAS, 10 September 2002
Jika ada pejabat penting atau tamu negara yang mau lewat, segera saja ruas-ruas jalan di Jakarta dibersihkan dari para pengamen, gelandangan, dan pedagang kaki lima. Ini terjadi juga di Johannesburg, Afrika Selatan (South-Africa/SA), menjelang berlangsungnya World Summit on Sustainable Development.
Gara-gara hajatan besar ini, kawasan Sandton—masih di wilayah Johannesburg—mengalami banyak perubahan, mulai dari pemindahan jalur kendaraan, pemasangan barikade, sampai penggunaan detektor dan penjinak bom. Sial bagi para pedagang informal di kawasan tersebut. Mereka harus pindah ke tempat lain tanpa pemberitahuan sebelumnya.
“Ini adalah ironi. Sementara tema utama acara adalah pengentasan kemiskinan, tetapi pada saat yang sama tidak mempertimbangkan nasib orang miskin”. Demikian Churchill Mrasi, juru bicara Informal Business Forum, ketika melakukan advokasi terhadap nasib para pedagang yang tergusur. Tetapi akhirnya terjadi kesepakatan. Mereka rela membayar “ongkos kecil” demi nama baik negara di mata dunia. Ini memang perkara bisnis!
Menyambut kira-kira 60.000 pengunjung dari seantero dunia dalam pertemuan puncak tersebut, para bussinesmen di SA menggelar “South-Africa Business Week expo” yang mengambil tempat di Gallagher Estate, tak jauh dari World Summit berlangsung. “Pertemuan puncak menyedot tidak kurang dari 2.000 pimpinan bisnis dari seluruh penjuru dunia. Dan ini adalah kesempatan bagus untuk menarik mereka agar melakukan investasi di SA”. Demikian penggagas acara tersebut menjelaskan.
Dalam kaitannya dengan dunia bisnis, pertanyaan yang segera mengemuka adalah bagaimana peranan para pelaku bisnis dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan?
Isu Sentral
Tujuan utama pertemuan puncak ini adalah mencapai konsensus dalam pengentasan kemiskinan, pengelolaan yang lebih baik terhadap sumber daya alam (natural resources) serta merubah pola produksi dan konsumsi yang ada. Dari tema ini, secara sepintas memang tak terlihat adanya serangan secara langsung terhadap perilaku dunia bisnis.
Dan faktanya, pusat perdebatan yang hangat lebih mengarah pada persoalan seputar konservasi lingkungan, subsidi bagi petani dan bantuan kepada negara miskin. Tapi benarkah dunia bisnis bisa begitu saja lolos dari kejaran tanggung jawab? Rupanya, jika menyusur lebih dalam lagi pada akar persoalannya, akan ditemukan fakta begitu sentralnya peranan bisnis dalam pencapain cita-cita pembangunan berkelanjutan.
Perdebatan yang juga menghangat dalam forum ini adalah perkara kesenjangan antara negara kaya dan miskin. Dan meskipun negara-negara maju sangat kuat melakukan lobi untuk menggagalkan isu tersebut, tetapi fakta tetap jelas menunjukkan bahwa kesenjangan telah menjadi persoalan krusial yang harus diselesaikan. Menurut laporan UNDP, sejak tahun 1970, 20 negara terkaya di dunia telah meningkat 30 kali lebih kaya dari 20 negara termiskin di dunia.
Kembali secara sepintas, bisnis nampak lolos dari tanggung jawab. Tapi siapa sebenarnya aktor yang mempelopori proses kesenjangan tersebut?
Dalam mempersiapkan World Development Report 2003, Bank Dunia secara lugas menegaskan bahwa untuk mencapai pembangunan berkelanjutan, harus dilakukan reformasi terhadap sistem perdagangan dunia, sambil mendorong diberlakukannya prinsip-prinsip demokrasi. Dan karena perdagangan dunia tidak mungkin terjadi tanpa adanya aktor-aktor perusahaan multi-nasional, maka penegasan ini juga berimplikasi terhadap reformasi sistem bisnis secara global.
Sulit mengenali peranan bisnis dalam percaturan global yang umumnya lebih menonjolkan peran negara. Tapi jangan terlena dulu. Kalau kita jeli, tidak bisa dimungkiri bahwa peranan perusahaan global dalam percaturan politik negara sangatlah kuat. Dalam kasus pemerintahan apartheid di Afrika Selatan, lembaga keuangan international (seperti Credit Suisse, UBS, Deutsche Bank, Commerzbank, Dresdner Bank dll.) telah melakukan konspirasi secara tidak langsung dengan cara membiayai perusahaan-perusahaan yang beroperasi di negara tersebut (Sunday Times, 25/8/2002).
Sementara itu, the Friends of the Earth International (FOEI) yang berbasis di London melaporkan bahwa pemerintah di negara berkembang terlalu lemah untuk menjalankan regulasi terhadap perusahaan multi-nasional. Sebaliknya, perusahaan-perusahaan multi-nasional terlalu kuat untuk menyakinkan pemerintah agar tidak terlalu membebani mereka dengan berbagai macam aturan.
Sebagai ilustrasi, lembaga ini menyodorkan data mengenai aliansi bisnis antara Shell Company, British Petroleum (BP) dan South Africa Petroleum Refinery. Aliansi bisnis tersebut mampu menghasilkan 165.000 barrels minyak mentah per-hari. Pada tahun 1950-an, pemerintahan apartheid telah mengijinkan aliansi ini membuka usahanya di daerah pemukiman orang hitam di bagian selatan. Hasilnya, para penduduk mengalami resiko cukup tinggi terhadap polusi kimiawi yang sangat membahayakan, karena tingkat polusi yang sudah di atas ambang batas. Namun, karena perusahaan-perusahaan tersebut masuk dalam daftar pembayar pajak terbesar kepada pemerintah, keberadaan mereka sampai sekarang tidak pernah dipersoalkan.
Melihat fakta ini, sepertinya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa akuntabilitas perusahaan yang terikat secara hukum (legally-binding) adalah bagian esensial dari perwujudan pembangunan berkelanjutan.
Moral atau Komersial?
Dalam berbagai persoalan kemanusiaan, bisnis selalu bisa tampil sebagai sosok yang suci tanpa dosa. Juga dalam perkara lingkungan hidup maupun tanggung jawab sosial. Bahkan tak jarang bisnis mampu mencitrakan diri sebagai mesin penggerak pembangunan berkelanjutan yang memperhatikan kemakmuran, kemajuan sosial dan perlindungan lingkungan.
Posisinya yang kuat dalam hal penguasaan sumber daya modal juga telah membuat perusahaan menjadi jauh lebih berkuasa dari pada negara. Misalnya saja, angka penjualan General Motors yang tiap tahunnya mencapai $ 176.6 miliar adalah lebih tinggi dari GDP Afrika Selatan yang hanya sebesar $ 140 miliar. Konsekuensinya, tanpa ada regulasi yang diberlakukan pada tingkat global, bisnis berkekuatan besar akan terus lolos dari kejaran tanggung jawab atas berbagai dampak yang diakibatkannya. Masalahnya adakah institusi global yang berwenang memberikan regulasi sekaligus sangsinya? Rasanya belum ada. Dan pertemuan puncak ini pun tak menyinggung sama sekali persoalan tersebut.
Berkaitan dengan isu pembangunan berkelanjutan, secara pragmatis dunia bisnis memiliki keterbatasan mendasar untuk mewujudkannya. Pertama, karena dalam kamus bisnis selalu hanya dikenal dua pilihan, menang (the winners) atau kalah (the losers). Sementara, dalam usaha mewujudkan pembangunan berkelanjutan sangat dibutuhkan kerja sama (cooperation) yang mengandaikan tidak ada yang menang dan kalah, seperti misalnya dalam usaha pengentasan kemiskinan atau konservasi lingkungan.
Kedua, muara dari aktivitas bisnis biasanya hanya dievaluasi dari dua kritaria saja, untung atau rugi. Sementara, usaha untuk mendukung pembangunan berkelanjutan lebih menjadi biaya bagi perusahaan yang bisa merugikan dalam jangka pendek. Dengan kata lain, program pembangunan berkelanjutan tidak memiliki legitimasi dalam perhitungan komersial (commercial imperative), melainkan hanya sebagai himbauan moral (moral imperative) saja.
Tetapi, mengapa para pengusaha tertarik dengan pertemuan puncak ini? Ternyata jawabannya tidak selalu terletak pada alasan moral, melainkan juga pada alasan komersial. Salah satu program yang gencar dikemukakan dalam pertemuan ini adalah tentang pengadaan air bersih bagi masyarakat miskin. Ini adalah ladang bisnis yang luar biasa. Sudah banyak para pelaku bisnis di SA yang menjalankan proyek the Water neutral Legacy, dan telah berhasil melayani kurang lebih 40 komunitas di daerah pendesaan yang kekurangan air. Mereka berharap dari pertemuan puncak ini akan diperoleh proyek yang lebih besar dalam pengadaan air bersih di daerah miskin lainnya.
Akhirnya, tetap harus diakui bahwa program sosial dalam kerangka pembangunan berkelanjutan tidak akan berjalan dengan baik, jika tak sejalan dengan prinsip kalkulasi komersial. Dalam arti tertentu, World Summit on Sustainable Development ini pun adalah ajang komersial, terutama bagi negara penyelenggara. Sebagaimana diungkapkan oleh Moss Mashishi, chief executive Jowsco (penyelenggara pertemuan puncak), “kesempatan ini merupakan investasi luar biasa untuk memposisikan Afrika Selatan di tengah percaturan global di masa depan”.
Jadi, relevankah pemisahan antara pertimbangan moral dan komersial? Akhirnya keduanya akan berjalan secara bersamaan.
A. Prasetyantoko. Pengamat bisnis &
pengajar di Unika Atma Jaya Jakarta,
0 Comments:
Post a Comment
<< Home