KOMPAS

Kliping artikel Opini KOMPAS, sejak 2001

Wednesday, February 12, 2014

Suku Bunga dan Migrasi Kapital

OPINI KOMPAS Kamis, 13 Februari 2014

Suku Bunga dan Migrasi Kapital

HARI ini, Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia akan digelar, dan pasar menanti keputusan mengenai suku bunga referensi (BI Rate). Survei ekonom menunjukkan perbedaan ekspektasi; ada yang berharap naik, terutama asing, sementara sebagian besar lainnya tidak. Mengapa asing berharap naik? Tahun lalu, rupiah terdepresiasi 25,85 persen, sementara indeks harga sahan gabungan terkoreksi 18 persen dari level tertinggi Mei 2013. Sebagai respons, BI Rate sudah dinaikkan hingga 175 basis poin. Jadi, perlukah BI Rate kali ini naik lagi?

Selama ini, kita memahami kenaikan suku bunga sebagai respons kenaikan harga (inflasi). Inflasi tahunan Desember 2013 tergolong tinggi, 8,38 persen, jauh lebih tinggi dari inflasi tahunan Desember 2012, sebesar 4,3 persen. Namun, tingginya inflasi lebih didorong kenaikan harga BBM Mei 2013. Kenaikan harga yang dipengaruhi pemerintah (administered price) 16,65 persen dan harga pangan 11,3 persen. Inflasi inti sebenarnya relatif rendah, 4,98 persen. Efek harga BBM sebelumnya lebih besar lagi. Pada 2005 kenaikan mendorong inflasi tahunan jadi 17 persen, dan pada 2008 menaikkan inflasi jadi 11 persen. Meski dampak kenaikan harga BBM terasa lebih ringan terhadap inflasi, kali ini tantangan makroekonomi domestik dan global bisa jadi lebih berat.

Migrasi modal

Salah satu sumber kompleksitas persoalan ekonomi 2013 adalah pengumuman kenaikan harga BBM (Mei) yang terjadi hampir bersamaan dengan pengumuman rencana pencabutan stimulus (tapering off) di AS Juni. Sejak itu dinamika pasar keuangan kita begitu menantang sehingga Morgan Stanley menempatkan RI dalam kelompok lima negara paling rapuh mata uangnya (fragile five), bersama Brasil, Turki, Afrika Selatan, dan India. Bisa jadi, ceritanya akan lain jika keputusan kenaikan harga BBM dilakukan setahun sebelumnya.
Faktor tapering off memang lebih signifikan memengaruhi dinamika pasar keuangan kita. Bukan pengurangan stimulus itu sendiri persoalannya, melainkan alasan di balik keputusan tersebut. Selama ini AS dan negara maju lain menerapkan strategi pelonggaran likuiditas secara berlebihan. Pertama, melalui kebijakan moneter dengan tingkat suku bunga mendekati nol. Kedua, dengan inovasi kebijakan melalui pembelian surat utang pemerintah oleh bank sentral melalui pencetakan uang (quantitative easing/QE).

Bisa dibayangkan betapa likuiditas mengalir sangat deras di pasar keuangan akibat dua pilar kebijakan ini. Maksudnya agar perekonomian negara maju segera pulih, pertumbuhan naik, dan penyerapan tenaga kerja meningkat. Namun, pasar keuangan punya logika sendiri. Para investor meminjam dalam mata uang dengan suku bunga rendah (hampir nol persen), kemudian menginvestasikan kembali dalam mata uang dengan suku bunga tinggi. Karena itulah terjadi migrasi besar-besaran modal dari negara maju ke negara berkembang, seperti Indonesia, dengan tingkat bunga relatif tinggi.

Akhir 2008, BI Rate berada pada level 9,5 persen. Bila suku bunga acuan Bank Sentral AS (the fed fund rate) pada kisaran 0,25 persen, bisa dibayangkan besarnya perbedaan suku bunga yang menghasilkan keuntungan (imbal hasil) pada seluruh instrumen keuangan Indonesia. Bagi otoritas moneter kita, melimpahnya likuiditas memberi ruang menurunkan BI Rate hingga level terendah 5,75 persen selama 16 bulan. Negara berkembang menikmati booming likuiditas yang mendorong pertumbuhan, bagaikan pesawat melaju lebih kencang akibat dorongan angin dari belakang (tailwinds).

Pengumuman pengurangan stimulus merupakan ekspektasi membaiknya perekonomian AS. Patokannya, jika inflasi sudah mencapai 2 persen dan pengangguran di bawah 7 persen, program stimulus (QE) akan dikurangi. Ketika pengumuman dilakukan, investor yang menanam portofolio investasi di negara berkembang bereaksi, dengan mengubah komposisi racikan investasi mereka. Itulah mengapa terjadi migrasi modal dari negara berkembang ke negara maju.

Guna mempertahankan minat investor asing, BI Rate mulai dinaikkan. Harapannya, hanya sebagian kecil saja portofolio investasi yang dipindahkan dari pasar keuangan domestik. Namun, faktanya kita termasuk satu dari lima negara (fragile five) yang paling banyak ditinggalkan investor. Kenapa? Karena kita punya beberapa penyakit kronis yang ditakuti investor. Pertama, inflasi tinggi akibat pengurangan subsidi. Bukan itu saja, meskipun sudah dikurangi, subsidi yang bersarang pada anggaran masih terlalu besar. Sementara untuk mengangkatnya perlu momentum, konsensus, dan keberanian politik luar biasa. Kedua, beberapa indikator terkait neraca luar negeri memburuk, seperti neraca perdagangan, neraca transaksi berjalan, dan neraca pembayaran Indonesia secara keseluruhan.

Karena terlalu menikmati aliran modal asing yang datang secara masif, kita cenderung lalai melakukan berbagai reformasi struktural. Akibatnya, terbelit ketergantungan pada aliran modal asing di satu sisi serta kemandekan transformasi ekonomi domestik di sisi lain. Satu faktor lagi, investor baru memperhitungkan pengurangan stimulus, tetapi belum mempertimbangkan kenaikan suku bunga. Bila inflasi AS sudah mencapai 2,5 persen dan pengangguran 6,5 persen, suku bunga acuan akan mulai dinaikkan. Akibatnya, seluruh instrumen investasi di negara maju juga akan meningkat imbal hasilnya. Di situlah migrasi modal tahap kedua akan terjadi.

Transformasi ekonomi

Jika secara global tengah terjadi transisi perekonomian yang berimbas pada melambatnya dinamika ekonomi negara berkembang, di Tanah Air terjadi juga transisi politik. Selain Indonesia, Brasil dan Turki akan menggelar pilpres tahun ini. Ketiganya, kebetulan, masuk daftar lima negara paling ditinggalkan investor. Bukan sekadar pemilu sebagai kegiatan politik. Lebih penting lagi, karena pemilu, pemerintah tak punya komitmen memperbaiki fundamental ekonomi. Itulah mengapa surplus neraca perdagangan tiga bulan berturut-turut dan nilai surplus besar Desember 2013 senilai 1,5 miliar dollar AS tak mampu membuat rupiah menguat.

Masih ada sederet persoalan, seperti besarnya impor minyak, subsidi BBM, dan daya saing produk ekspor nonmigas. Persoalan ini jelas tak bisa hanya ditopang kebijakan moneter dan fiskal semata. Perlu reformasi di kementerian teknis lain, paling tidak di beberapa sektor vital, seperti energi, pangan, industri, dan ketenagakerjaan. Sayangnya, kita tak melihat transformasi pada kementerian terkait bidang strategis ini. Seakan persoalan dinamika ekonomi ini hanya jadi beban Gubernur BI dan Menkeu saja. Itulah salah satu kesalahan fatal kita.

Padahal, kinerja pertumbuhan kuartal IV-2013 agak lebih tinggi dari dugaan, 5,72 persen. Angka ini mampu mengangkat kinerja pertumbuhan sepanjang 2013 menjadi 5,78 persen. Konsumsi rumah tangga tumbuh 5,25 persen, pengeluaran pemerintah 6,45 persen, dan investasi 4,37 persen. Sebuah prestasi yang tak terlalu mengecewakan di tengah turbulensi perekonomian. Andai saja kementerian teknis mau lebih kerja keras, semestinya pertumbuhan 2014 bisa lebih baik karena ada faktor pemilu.
Jika fundamental membaik, sentimen buruk menurun dan kita bisa keluar dari kelompok negara terapuh di dunia. Sementara beban kebijakan moneter bisa lebih ringan. Jika reformasi struktural berjalan baik, BI Rate bisa dipertahankan pada posisi maksimal 7,5 persen hingga akhir tahun. Jika ketegangan di pasar keuangan sudah reda, bahkan bisa diturunkan di akhir tahun.  

A Prasetyantoko, Pengajar Unika Atma Jaya, Jakarta

Monday, January 27, 2014

Kalkulasi Biaya Bencana - Kompas 27 Januari 2014

Senin, 27 Januari 2014

Kalkulasi Biaya Bencana (A Prasetyantoko)

BANJIR di Jakarta mulai membuat banyak pihak kewalahan, mulai dari warga yang menjadi korban, pengusaha yang menderita kerugian, pemerintah yang kedodoran menangani, hingga masyarakat umum yang terkena dampaknya. Ditambah dengan bencana di daerah lain, seperti erupsi Sinabung serta banjir di Manado dan jalur pantai utara Jawa, secara kumulatif jelas menimbulkan kerugian sangat besar meski sebenarnya tak mudah mengalkulasi nilainya. Dari pengalaman di sejumlah negara, disimpulkan, perhitungan biaya yang bisa dilaporkan biasanya tak sampai 50 persen dari kerugian sebenarnya.

Berapa biaya akibat banjir di Jakarta? Ada banyak versi dengan rentang cukup lebar. Katakan saja kerugiannya mencapai Rp 5 triliun-Rp 7 triliun. Jika dibandingkan dengan bencana lain, jumlahnya tak seberapa. Misalnya, kerugian tsunami Aceh (2004) ditaksir sekitar Rp 40 triliun, gempa Yogyakarta (2006) sekitar Rp 21 triliun, dan gempa Padang (2007) sekitar Rp 27 triliun. Bedanya, banjir bersifat musiman sehingga sebenarnya ada pola yang bisa dipetakan, baik dari dampak kerusakan, kalkulasi kerugian, maupun langkah antisipasi dan mitigasinya. Selain kerusakan fisik dan kerugian material, jatuhnya korban jiwa semestinya membuat semua perangkat kebijakan bekerja lebih keras. Jika gejolak nilai tukar saja direspons dengan cepat lewat seperangkat kebijakan, semestinya bencana alam diantisipasi dengan lebih intensif. Ada dimensi kemanusiaan yang mendesak, bukan sekadar dinamika ekonomi yang menggerus nilai kekayaan atau kualitas kehidupan.

Bencana adalah fenomena global, sama sekali bukan monopoli Indonesia, apalagi Jakarta. Global Assessment Report on Disaster Risk Reduction 2013, terbitan United Nations Office for Disaster Risk Reduction (UNISDR), menyatakan, total kerugian akibat bencana di seluruh dunia terus meningkat dari tahun ke tahun. Lagi pula, bencana terburuk belum terjadi. Artinya, pada masa depan bencana akan lebih parah. Ada tiga hal utama yang mendorong bencana lebih intens: kenaikan jumlah penduduk, tingkat urbanisasi yang cepat, dan perubahan iklim. Dengan upaya cepat mengantisipasi bencana saja belum tentu mampu mereduksi dampaknya. Apalagi dengan sikap biasa saja, tanpa urgensi.

Bencana secara langsung memengaruhi daya saing perekonomian. Ada beberapa pengalaman menarik secara global. Misalnya, sebelum gempa 1995, Pelabuhan Kobe merupakan pelabuhan tersibuk keenam di dunia, tetapi pada 2010 merosot ke posisi ke-47. Dalam rantai produksi global yang semakin terintegrasi, bencana di suatu negara bisa menimbulkan efek berantai ke negara lain. Toyota rugi secara global luar biasa karena pabrik komponen di Jepang tersapu tsunami 2011; produksi mobil di India berkurang 70 persen dan di China 50 persen. Kerugian akibat bencana menjadi permanen jika merusak infrastruktur, seperti jalan, listrik, dan instalasi dasar lain. Krisis nuklir di Jepang berpotensi menggerus daya saing karena perannya sebagai sumber energi utama. Mengingat dampaknya sistemik, baik secara ekonomi maupun kemanusiaan, upaya untuk memitigasi bencana secara global dilakukan secara terorganisasi pula. Berbagai inisiatif global dilakukan untuk memitigasi bencana secara sistematis, baik melalui antisipasi maupun penyusunan protokol penanganan bencana. Karena bencana tidak bisa dihindari, yang diperlukan adalah memastikan kita siap menghadapinya.

Terkait dengan bencana banjir di Jakarta, dampaknya begitu luas. Jalur distribusi, terutama pangan dan bahan bakar, terancam terganggu. Pengiriman barang ekspor tidak maksimal, banyak kawasan industri mulai lumpuh, sementara perbankan akan menghadapi risiko kenaikan kredit macet di beberapa daerah. Mengingat setiap tahun hampir pasti terjadi hal seperti ini, semestinya bisa dipetakan risikonya sehingga bisa diantisipasi lebih baik. Misalnya, memindahkan sentra industri dari daerah berpotensi banjir lewat penataan ruang yang dijalankan secara konsisten.

Inflasi bulanan Januari ini diprediksi lebih tinggi daripada bulan Januari sebelumnya. Pada Januari 2009 terjadi deflasi, sementara 2010-2012 inflasi Januari 0,7-0,8 persen. Sementara Januari 2013 relatif tinggi, sebesar 1,03 persen. Meski inflasi Januari diperkirakan melonjak, inflasi tahunan tak akan banyak terpengaruh. Sementara kerusakan fisik akibat banjir di sejumlah kawasan juga dipastikan tak akan banyak menyedot tambahan biaya dari APBN. Pendeknya, dampak banjir tak akan terlalu banyak mengoreksi besaran makroekonomi.

Namun, bukan berarti dampak banjir bisa dianggap remeh. Ketidakseriusan pemerintah mengantisipasi risiko rutin seperti ini akan meninggalkan kesan absennya kepedulian. Akibatnya, investor memilih untuk tak mempertimbangkan Indonesia, terutama Jakarta, sebagai bagian dari mata rantai produksi global. Tahun depan, Masyarakat Ekonomi ASEAN mulai berjalan. Pertanyaan kunci bagi kita, di manakah posisi Indonesia dalam mata rantai produksi regional? Sebagai basis pasar sudah jelas karena penduduknya yang banyak. Namun, sebagai basis produksi, ada begitu banyak agenda yang perlu disiapkan. Khusus untuk Jakarta, perlu ada upaya khusus mengantisipasi banjir. Selain untuk mengurangi risiko korban jiwa bagi penduduk, juga memastikan basis produksi dan kegiatan bisnis tetap bisa berjalan dengan baik.

Pemetaan masalah, rencana jangka panjang mitigasi, serta protokol baku penanganan banjir di sentra industri dan wilayah bisnis menjadi penting. Untuk DKI Jakarta, masalahnya begitu kompleks dan roadmap penanganan banjir tak bisa diserahkan kepada pemerintah daerah saja. Harus ada sinergi dengan pemerintah pusat. Bukan sebaliknya, banjir justru menyulut sikap saling menyalahkan dan berlomba menarik simpati masyarakat menjelang pemilihan umum. Kenyataan itu sungguh menjadi ironi luar biasa bagi bangsa kita.

A Prasetyantoko, Pengajar di Unika Atma Jaya, Jakarta

Thursday, January 16, 2014

Kebijakan demi Kualitas Pertumbuhan


A Prasetyantoko  ;   Pengajar di Unika Atma Jaya, Jakarta
KOMPAS,  13 Januari 2014
                                                                                                                        
BARU-baru ini, Jim O’Neill, mantan ekonom dan petinggi Goldman Sachs, datang ke Jakarta dan kembali mengeluarkan ramalan tentang masa depan Indonesia melalui konsep MINT (Meksiko, Indonesia, Nigeria, dan Turki). Keempat negara ini dianggap akan menggantikan posisi Brasil, Rusia, India, dan China (BRIC). O’Neill pula yang pertama kali pada 2001 memopulerkan istilah BRIC.

Setelah berhasil menggagas konsep BRIC, O’Neill sebenarnya juga mengeluarkan konsep N-11 atau kelompok 11 negara yang prospektif (the next 11 countries) dan kemudian konsep MIKT (Meksiko, Indonesia, Korea, dan Turki). Kedua konsep ini tak begitu banyak mendapat tanggapan publik. Sekarang ia kembali mengeluarkan singkatan MINT. Indonesia diproyeksikan menjadi kekuatan ekonomi terbesar di kawasan Asia Tenggara, dengan catatan mampu mengatasi persoalan infrastruktur dan daya saing ekonomi di luar sektor komoditas. Tak ada hal yang baru dan kita semua sudah paham dengan masalah itu.

Lagi pula, proyeksi semacam ini terasa kehilangan relevansi jika dilihat dalam konteks terkini. Sepanjang 2013, nilai tukar rupiah terdepresiasi hampir 26 persen, sementara kinerja pasar modal (IHSG) pada akhir tahun dibandingkan dengan level tertingginya terkoreksi lebih dari 18 persen. Kita termasuk negara yang mata uangnya paling rapuh, sementara kinerja sektor keuangannya termasuk paling buruk. Mungkin gejolak pasar keuangan tak bisa menjadi indikator dari kehidupan riil masyarakat. Namun, beberapa indikator lain juga menunjukkan memburuknya situasi. Rilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada awal tahun ini menunjukkan jumlah orang miskin September 2013 bertambah 0,48 juta orang dibandingkan dengan Maret 2013, menjadi 28,55 juta orang. Dengan demikian, jumlah penduduk miskin menjadi sekitar 11,47 persen dari total penduduk.

Bukan itu saja, tingkat kedalaman kemiskinan serta indeks keparahannya juga meningkat. Bagaimana kita melihat kaitan proyeksi perekonomian yang begitu prospektif dengan realitas meningkatnya gejolak pasar keuangan dan makin akutnya masalah kemiskinan. Terkait gejolak di pasar keuangan, sejumlah instrumen stabilisasi jangka pendek sudah dikeluarkan dan sudah mulai bekerja. Bagaimana dengan masalah kemiskinan? Sering kali, kebijakan mengatasi persoalan ini berhenti pada hal yang artifisial jangka pendek.

Salah satu penyebab peningkatan jumlah orang miskin tahun lalu adalah kebijakan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) pada Juni tahun lalu, selain melonjaknya harga beberapa komoditas pangan hingga akhir tahun. Kenaikan harga BBM sebesar lebih dari 33 persen diikuti dengan meningkatnya ketidakpastian ekonomi global. Persis setelah pengumuman kenaikan harga BBM, gubernur bank sentral Amerika Serikat mengumumkan rencana pengurangan stimulus (tapering off). Setelah itu, dinamika perekonomian kita terasa begitu menantang, hingga hari ini.

Setelah kenaikan harga BBM, inflasi Juli melonjak sebesar 3,29 persen sehingga ekspektasi inflasi tahunan juga meningkat. Pada saat itu, inflasi tahunan diperkirakan akan mencapai 9 persen-9,8 persen. Tentu saja situasi ini memengaruhi persepsi investor. Masih ditambah dengan data defisit neraca perdagangan dan transaksi berjalan, minat investor untuk bertahan di pasar domestik menipis. Kini, sentimen di dalam negeri membaik karena realisasi inflasi tahunan pada Desember hanya 8,38 persen, sementara neraca perdagangan juga mulai membaik.

Konteks tersebut perlu dipahami agar kita tak lagi salah (terlambat) mengambil kebijakan. Bagi negara berkembang seperti Indonesia, satu-satunya cara mengatasi kemiskinan dan pengangguran adalah meningkatkan pertumbuhan. Sayangnya, tahun ini kita justru terpaksa harus memangkas angka pertumbuhan demi mengatasi persoalan defisit perdagangan dan transaksi berjalan. Masalah lainnya, kualitas pertumbuhan itu sendiri juga semakin menurun. Artinya, kemampuan setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi menyerap tenaga kerja dan menurunkan angka kemiskinan semakin turun. Apa penyebabnya?

Salah satu ilmuwan paling terkemuka dalam riset kemiskinan ialah Francois Bourguignon, dari Paris School of Economics yang pernah menjadi wakil presiden Bank Dunia. Argumennya sangat jelas: korelasi antara pertumbuhan ekonomi dan pengentasan rakyat dari kemiskinan semakin menurun seiring meningkatnya ketimpangan. Situasi ini persis yang kita alami sekarang. Pelambatan ekonomi, kenaikan jumlah kemiskinan terjadi bersamaan dengan naiknya ketimpangan. Dengan demikian, cukup kuat untuk mengatakan kualitas pertumbuhan kita makin memburuk. 

Fakta ini kembali menguatkan risiko perekonomian kita masuk dalam perangkap negara berpenghasilan menengah (middle-income trap). Sebagaimana dijelaskan dalam salah satu publikasi Bank Pembangungan Asia, ada beberapa negara di kawasan Asia yang sebenarnya sangat prospektif, tetapi memiliki risiko masuk dalam perangkap tersebut. Indonesia adalah salah satunya.

Soal kualitas pertumbuhan ini harus menjadi fokus dari pemerintah ke depan. Pemerintah tidak hanya bekerja keras dalam hal stabilisasi ekonomi, tetapi juga mendorong intermediasi. Menurut pengalaman, berbagai paket kebijakan bagus biasanya dikeluarkan pada saat situasi buruk. Namun, ketika situasi membaik, justru tak banyak dilakukan sesuatu untuk mendorong intermediasi serta memperbaiki sisi pasokan dalam ekonomi. Kita harus mampu menjadikan momentum Pemilihan Umum 2014 ini sebagai transformasi untuk menjadikan bangsa ini lebih punya pijakan dalam menatap masa depan. ●

Monday, December 23, 2013

MIDDLE INCOME TRAP Keluar dari perangkap negara penghasilan menengah Senin, 23 Desember 2013 | 09:19 WIB


JAKARTA. Benarkah perekonomian kita sudah masuk dalam perangkap kelompok negara berpenghasilan menengah? Tak ada jawaban lugas, selain beberapa indikasi agak luas dan lentur.
Sejumlah indikator dini sering ditunjukkan, seperti ketimpangan, kemiskinan, dominasi angkatan kerja tidak terampil, serta produktivitas dan daya saing rendah. Kita semua, termasuk pemerintah, mengamininya; dengan kata lain kita paham betul akar permasalahannya. Sayangnya, kita tak pernah sampai pada solusi dan implementasi nyata.
Dinamika perekonomian akhir-akhir ini sebenarnya juga menunjuk pada akar masalah yang sama. Pertama, nilai tukar rupiah, yang pada penutupan minggu lalu hampir Rp 12.200 per dollar AS.
Sejak pengumuman rencana pengurangan program stimulus (tapering) di AS, Mei lalu, pasar kita terus bergejolak. Kini, saat tapering diputuskan dilakukan bertahap per Januari 2014, gejolak tak kunjung reda, bahkan berisiko meningkat. Banyak pihak menilai, sebenarnya nilai fundamen rupiah lebih dekat ke angka Rp 11.000, tetapi faktanya melewati Rp 12.000.
Kedua, sudah sejak April 2012, neraca perdagangan kita lebih sering defisit. Selama 20 bulan, hanya lima kali terjadi surplus perdagangan yang relatif kecil, termasuk Oktober lalu surplus 42,4 juta dollar AS.
Sejak neraca perdagangan defisit, neraca transaksi berjalan juga tertekan berat. Selama ini, surplus neraca transaksi berjalan sangat mengandalkan neraca barang (ekspor-impor) karena neraca jasa selalu defisit.
Seharusnya, negara sebesar Indonesia mampu bersaing lebih baik di tingkat global dan regional dengan memanfaatkan kekayaan sumber daya alam dengan lebih baik. Faktanya, kita selalu tertatih-tatih dalam persaingan regional dan global.
Ketiga, salah satu penyumbang terbesar impor kita adalah bahan bakar minyak (BBM). Selain membebani neraca impor, impor BBM juga menekan anggaran akibat subsidi yang meningkat.
Akibat depresiasi rupiah sekitar 25 persen dari awal tahun, beban subsidi BBM bertambah sekitar Rp 50 triliun. Besarannya setara dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, seperti DKI Jakarta.
Jika tidak ada perubahan perilaku (harga dan konsumsi), beberapa tahun ke depan kita akan menjadi negara pengimpor BBM terbesar di dunia. Kita selalu meyakini, tak seharusnya subsidi BBM begitu membebani, tetapi selalu gagal menemukan konsensus penyelesaian mendasar.
Tiga hal itu sudah meyakinkan bahwa kita tengah memasuki perangkap negara berpenghasilan menengah. Ada banyak hal yang seharusnya tidak terjadi, tetapi faktanya persoalan tersebut seakan menjerat kita.
Hari-hari ini kita terperangkap dengan tekanan nilai tukar, masalah neraca perdagangan dan anggaran subsidi BBM. Sinyal kuat, kita tengah memasuki middle-income trap.
Kita ”terperangkap” dalam sejumlah persoalan yang seakan tak ada solusinya. Setiap kali kita meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan investasi, neraca kita tertekan oleh impor bahan baku yang tinggi.
Setiap kali kita menghadapi tekanan pasar, seakan tak ada pilihan selain menaikkan BI Rate. Begitu pula dalam hal strategi industri. Semestinya kita tak lagi mengekspor komoditas primer, tetapi faktanya tak mudah mendorong hilirisasi.
Mestinya kebijakan low cost green car (LCGC) mampu memberikan insentif bagi kebangkitan industri komponen di Tanah Air. Faktanya, selain menambah kemacetan, LCGC juga meningkatkan konsumsi BBM.
Akibat terjebak dalam berbagai hal, kita menjadi bangsa yang seakan tak punya arah kebijakan jelas. Setiap kali muncul kebijakan yang maksudnya baik, implementasinya di lapangan begitu buruk. Kita terjebak dalam begitu banyak masalah rumit yang menghantui perekonomian kita. Dari mana kita mulai mengatasi kerumitan tersebut?
Paling tidak ada dua elemen pokok yang harus ditata. Pertama, elemen terkait kelembagaan. Sebagus apa pun kebijakan teknis, tanpa kelembagaan yang baik hanya akan menimbulkan kontradiksi dan kontroversi.
Faktor penting pada kelembagaan adalah kepemimpinan, koordinasi, dan kompetensi. Tanpa ada tiga unsur tersebut, mustahil bisa membangun kelembagaan yang baik bagi perekonomian kita. Kedua, kebijakan teknis yang memadai dalam menjawab aneka persoalan aktual di berbagai bidang.
Pertama, soal defisit neraca jasa. Sebenarnya ada diskusi tentang perubahan cara penghitungan dari freight on board (FOB) menjadi cost, insurance, and freight (CIF).
Intinya, selama ini kalau kita mengekspor, hanya menaruh barang di pelabuhan. Sementara mitra kita mengurus mulai dari pengapalan dan asuransi.
Kita harus berani memikirkan menggunakan pelaku domestik dalam hal pengapalan dan asuransi. Untuk diketahui, biaya pengapalan dan asuransi menjadi salah satu penyumbang defisit neraca jasa terbesar.
Jika kita bisa mendorong agar pelaku domestik terlibat dalam bisnis pengapalan dan asuransi, akan sangat membantu menyelesaikan defisit neraca jasa.
Kedua, soal defisit perdagangan. Insentif fiskal bisa diarahkan bagi investor yang ingin membangun industri bahan baku dan bahan penolong di dalam negeri.
Tujuannya, kebutuhan bahan baku bisa disediakan di pasar domestik sehingga setiap kali terjadi peningkatan pertumbuhan akibat konsumsi dan investasi tak terlalu membebani neraca impor. Meski masih jauh, kebijakan tersebut bisa menjadi langkah awal membangun industri domestik.
Ketiga, soal defisit anggaran akibat besarnya subsidi BBM. Pemerintah harus berani mengeksekusi kebijakan subsidi tetap, mengalokasikan subsidi setiap liter; jika ada kenaikan harga, konsumen yang harus menanggung.
Tanpa ada keberanian melakukan perubahan mendasar dalam sejumlah kebijakan jangka panjang, kita akan selalu terjebak dalam pilihan sulit.
Di luar segala hal tersebut, faktor paling penting adalah kepemimpinan untuk menjalankan kebijakan tersebut dengan arah yang jelas dalam jangka panjang. (A Prasetyantoko Pengajar di Unika Atma Jaya, Jakarta/Kompas Cetak)
Editor: Dikky.setiawan
SUMBER: KOMPAS.COM

Monday, November 19, 2007

Ketidakpastian dan Intervensi

Selasa, 20 November 2007

Meski tiap kejadian bersifat unik, pada dasarnya tidak ada yang baru di muka Bumi ini. Begitu pula soal perlambatan ekonomi global akhir-akhir ini yang diiringi kenaikan harga minyak, dunia pernah mengalami. Selebihnya, perekonomian global 2008 adalah sebuah ketidakpastian.

Tentang dinamika ekonomi, masa depan, dan ketidakpastian, tampaknya kita perlu berpaling pada Keynes yang telah merumuskan secara garis besar (prophetic) dalam The General Theory of Employment, Interest and Money (1936). Satu-satunya kepastian, kata Keynes, dalam jangka panjang kita semua akan mati.

Harga minyak yang berfluktuasi mendekati 100 dollar AS per barrel membuat prediksi ekonomi 2008 makin tidak pasti. Di Indonesia, fluktuasi harga minyak akan memengaruhi secara signifikan APBN serta dinamika ekonomi. Target pertumbuhan ekonomi tahun depan pun direvisi dari 6,3 menjadi 6,2 persen.

International Energy Agency (IEA) mengingatkan kelangkaan penawaran minyak akan terjadi paling tidak hingga 2015. Lembaga ini menilai guna menopang lonjakan permintaan, pasokan minyak harus ditingkatkan dua kali lipat hingga 25 tahun ke depan. Asumsinya, keseimbangan baru akan tercapai pada 2030.

Dilema ekonomi

Fluktuasi harga minyak amat menimbulkan dilema rumit bagi perekonomian dunia. Krisis kredit perumahan berkualitas rendah di AS telah menyeret berbagai perusahaan keuangan besar, seperti Citigroup dan Merrill Lynch (AS), UBS and Barclays (Eropa), serta Mizuho (Jepang), mengalami kerugian serius.

Bahkan, hingga kini masih banyak lagi perusahaan rugi yang belum terdeteksi. Dana Moneter Internasional (IMF) telah mengingatkan otoritas keuangan di kawasan Uni Eropa agar lebih transparan tentang perusahaan mana saja yang terkena dampak subprime mortgage. Krisis yang bersumber pada pasar kredit serta berdampak pada pasar finansial, masih akan berlanjut di tahun depan.

Penurunan suku bunga The Fed (Federal Fund Rate/FFR) pun masih diliputi ketidakpastian. Banyak kalangan memprediksi pada Desember tahun ini, atau paling lambat awal tahun depan, The Fed akan kembali menurunkan suku bunganya. Keyakinan ini diperkuat testimoni Ben Bernanke (chairman The Fed) di depan Senat AS baru-baru ini bahwa lembaganya akan konsisten menerapkan kebijakan inflasi terkendali (inflation targeting). Para investor, terutama pasar uang, bertarung dengan ketidakpastian tentang titik terendah penurunan FFR.

Ketidakpastian arah kebijakan suku bunga mendorong depresiasi dollar AS terus terjadi. PAIN Index, sebuah alat ukur yang dikembangkan Merrill Lynch guna memprediksi arah perdagangan nilai tukar, menunjukkan gejala itu.

Nouriel Roubini, Kepala RGE Monitor, memprediksi dollar AS akan terdepresiasi hingga 10 persen, sementara FFR akan berada pada level 3,0 persen. Padahal, hingga kini dollar baru terdepresiasi sekitar 7,0 persen dan suku bunga masih di level 4,5 persen. Bahkan, beberapa kalangan berani memprediksi FFR akan menyentuh level 2,5 persen.

Sebenarnya, perlambatan ekonomi global bisa dikendalikan melalui kebijakan yang searah dan kompak di antara negara-negara maju (G-7). Masalahnya, secara fundamental kepentingan ekonomi negara maju cenderung kontradiktif sehingga aksi bersama nyaris tidak mungkin. Di tengah kecenderungan penurunan suku bunga di AS, Bank Sentral Eropa (ECB) justru berancang-ancang menaikkan suku bunga. Sementara itu, Bank of England serta Bank Sentral Jepang cenderung menahan tingkat suku bunganya.

Intervensi

Melihat kondisi itu, pertanyaannya, apakah perekonomian dunia akan kembali mengalami krisis seperti tahun 1970-1980-an? Pada dekade itu perekonomian dunia diliputi sejumlah gejolak, seperti tingginya harga minyak, inflasi, dan tingkat pengangguran. Perekonomian benar-benar mengalami kemandekan disertai inflasi tinggi (stagflasi).

Pada saat itu setelah mengalami kejayaan hampir 30 tahun, perekonomian dunia mengalami perlambatan. Sebagai respons, nilai dollar dilepaskan dari standar emas karena terjadi depresiasi amat signifikan. Itulah masa keruntuhan sistem Bretton Woods yang mengandalkan pola intervensi. Pada periode ini terjadi revitalisasi pola kebijakan liberal, yang dijuluki sebagai paham "neoliberal".

Salah satu ciri perekonomian global yang dikelola secara neoliberal adalah perkembangan pesat pasar derivasi finansial. Pada tahun 1990-an pernah terjadi perdebatan serius menanggapi usul Commodity Futures Trading Commission (CFTC) tentang penerapan regulasi lebih ketat terhadap pasar derivatif. Alan Greenspan, Ketua The Fed saat itu, membela dengan mengutip Schumpeter, inovasi di pasar finansial adalah bagian dari creative destruction yang akan membawa kemakmuran bagi semua pihak.

Tampaknya, diskusi tentang peran pasar finansial yang terlalu "kreatif" ini terjadi hingga kini. Baru-baru ini di AS terjadi perdebatan soal penerapan pajak yang lebih tinggi terhadap pendapatan perusahaan investasi keuangan (hedge funds). Pajak atas pendapatan yang diperoleh dari pengelolaan modal diusulkan naik dari 15 persen menjadi 35 persen. Tampaknya usulan ini tidak akan lolos di Senat mengingat kuatnya lobi pelaku bisnis yang berusaha menggagalkan proposal tersebut.

Hingga hari ini usaha membangun sistem finansial yang relatif stabil sehingga tidak mengganggu dinamika perekonomian global masih menjadi tarik ulur yang dipenuhi ketidakpastian.

Salah satu regulasi yang sudah diterapkan di AS adalah Glass–Steagall Act yang mengatur pemisahan antara bank komersial dan bank investasi. Aturan ini dibuat agar jika terjadi kerugian akibat aktivitas investasi finansial, dampaknya tidak merembet pada sektor ekonomi lainnya, melalui sistem perbankan komersial.

Jika di pasar yang dianggap paling liberal saja terjadi begitu banyak aturan (intervensi), mengapa kita tidak mengadopsinya? Itu juga yang menjadi teka-teki pada tahun 2008.

A Prasetyantoko Dosen Unika Atma Jaya; Partner pada Strategic Indonesia, Jakarta

Thursday, November 01, 2007

Bayang-bayang Depresi Ekonomi

Selasa, 30 Oktober 2007

Menjelang pesta Halloween yang diperingati secara meriah, terutama di Amerika Serikat, dunia dihantui bayang-bayang depresi ekonomi global yang menakutkan. Akankah depresi ekonomi, seperti tahun 1930-an, terjadi lagi?
Ada dua kejadian yang terjadi bersamaan. Pertama, dampak krisis kredit perumahan di AS telah merembet ke berbagai sektor serta akan menyumbang ketidakpastian global. Kedua, harga minyak telah mencapai level mengerikan, 92 dollar AS per barrel. Kedua faktor itu tak mudah diisolasi karena akarnya amat kompleks.
Tentang pertanyaan apakah depresi ekonomi akan terjadi lagi, saya teringat buku klasik Hyman Minsky berjudul Can "It" happens again? Essays on instability and finance (1982). Buku ini bercerita tentang gelombang krisis yang datang silih berganti menyusul depresi ekonomi tahun 1930. Misalnya, runtuhnya industri real estate investment trust (REIT), kegagalan Penn Central dan Penn Square (krisis surat utang), lonjakan harga minyak, kenaikan inflasi dan suku bunga, serta berbagai masalah dalam sistem keuangan global lainnya.
"It" adalah depresi 1930. Minsky berargumen, hiruk-pikuk gelombang krisis selama beberapa dekade setelah depresi besar (great depression) itu sebenarnya akarnya sama, yaitu perilaku spekulasi. Minsky yang meninggal 1996, persis sebelum krisis Asia meledak, oleh para pengikutnya juga dianggap mampu menjelaskan berbagai krisis yang masih terus bermunculan hingga hari ini.
Krisis perkreditan
Apa akar krisis kredit perumahan kelas dua di AS? Majalah The Economist edisi 20-26/10/2007 menyebut krisis itu menunjukkan keberhasilan sekaligus kegagalan The Fed.
Selama dua dekade terakhir bank sentral di hampir semua negara di dunia berhasil menciptakan stabilitas dan pertumbuhan ekonomi yang baik. Salah satunya melalui politik inflasi terkendali (inflation targeting).
Menurut Teori Siklus Bisnis, saat booming ekonomi, kredit akan bergerak tak terkendali, moral hazard tumbuh, sehingga masa kemakmuran akan berbalik menjadi krisis. Menurut Minsky, akar instabilitas adalah stabilitas itu sendiri. Saat ekonomi berjalan baik, spekulasi yang berbuntut instabilitas akan terjadi.
Krisis subprime mortgage harus dibayar amat mahal. Pada Agustus, The Fed telah menurunkan suku bunga sebesar 50 basis poin. Bulan Oktober ini suku bunga diturunkan lagi 25 basis poin. Dampaknya, nilai kurs dolar AS terpuruk pada titik terendah atas euro dan defisit perdagangan juga kian sulit dibendung.
Menurut prediksi World Economic Outlook (IMF), pada tahun 2008 AS hanya akan tumbuh 1,9 persen. Tentu dampaknya akan sangat signifikan karena selama ini AS menyumbang sekitar 25 persen produksi global.
China dan India diprediksi menggantikan pelemahan peran AS. Beberapa waktu lalu, Goldman Sachs Group Inc mengeluarkan analisis yang berisi berpisahnya (decoupling) perekonomian AS terhadap perekonomian global. Brasil, Rusia, India, dan China (BRIC) dianggap mampu menggantikan peran AS itu.
Krisis kredit perumahan juga telah menyeret Merrill Lynch dalam kerugian amat besar, delapan miliar dollar AS, sehingga memaksa CEO Stanley O’Neal mengundurkan diri. Salah satu bank investasi terbesar di Jepang, Mizuho, juga terkena dampaknya.
Guna menyelamatkan gejolak itu, Menteri Keuangan AS Henry Paulson mengambil prakarsa mendirikan semacam lembaga penjaminan swasta yang disebut superfund. Lembaga ini didukung Citigroup Inc, JP Morgan Chase dan Co, dan Bank of America Corp. Sayang, langkah ini juga banyak dipertanyakan, termasuk oleh Alan Greenspan, mantan Ketua The Fed yang masih amat berpengaruh. Mekanisme "nonpasar" itu dikhawatirkan akan menutupi borok yang ada di pasar.
Krisis minyak
Menghadapi ketidakpastian ekonomi AS, banyak perusahaan besar yang mulai berpaling ke negara lain. Misalnya, konglomerat di bawah payung General Electric (GE) ke depan menargetkan perluasan pangsa pasar di luar AS sebesar 10-15 persen per tahun. "Selama China dan India masih tumbuh, kami akan survive," kata petinggi GE.
Masalahnya, jika gejolak minyak tak terhindarkan, semua negara harus merevisi pertumbuhan ekonominya. Harga minyak saat ini sudah amat tidak realistis. IMF membuat prediksi pertumbuhan ekonomi dunia dengan asumsi harga minyak 75,50 dolar AS per barrel. APBN kita, asumsinya adalah 60 dolar AS per barrel.
Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) menengarai adanya spekulasi dari para pemain besar, selain faktor peningkatan permintaan. China menambah permintaan untuk tahun 2007 ini rata-rata 400.000 barel per hari (barrel/day), sementara permintaan di negara-negara di Timur Tengah sendiri meningkat 300.000 barrel per hari. Menanggapi lonjakan harga minyak itu, 40 persen kartel penghasil minyak telah sepakat akan meningkatkan pasokan 500.000 barrel per hari.
Dilihat dari postur permintaan dan penawaran, harga dimungkinkan masih bisa naik. Faktor spekulasi yang selalu memanfaatkan ruang sempit di sela-sela mekanisme pasokan dan permintaan menjadi amat penting pengaruhnya. Apalagi, jika di ruang sempit itu diliputi ketidakpastian yang bersumber pada konflik politik, seperti sering terjadi dalam hal pasokan minyak bumi.
Mungkin benar, di tengah gelombang krisis yang datang silih berganti dalam berbagai wujudnya, semangat dan muasalnya tetap sama, yaitu sikap spekulasi. Spekulasi sering ditempatkan berlawanan dengan sifat fundamental ekonomi.
Hari-hari ini sifat fundamental telah bercampur dengan spekulasi, ekonomi riil sudah tidak bisa dipisahkan lagi dari ekonomi virtual. Minsky dalam bahasa formal mengatakan, faktor keuangan (finance) tidak bisa dipisahkan dari ekonomi makro. Tak mungkin lagi bicara ekonomi tanpa uang (sirkulasi kapital) dan spekulasi.
A Prasetyantoko Pengajar Unika Atma Jaya; Partner pada Strategic Indonesia, Jakarta

Tokoh Sosialis Memimpin IMF

Kompas 02 Oktober 2007

Dominique Strauss-Kahn (58) terpilih menjadi Direktur Eksekutif Dana Moneter Internasional atau IMF. Kahn yang akan dilantik 1 November 2007 dan bertugas hingga akhir 2012 adalah mantan Menteri Ekonomi Perancis dan tokoh politik kawakan berhaluan sosialis. Apakah itu berarti akan terjadi perubahan di IMF?
Mengapa Kahn terpilih? Di Perancis sendiri, pencalonannya tidak terlepas dari strategi Presiden Sarkozy untuk melumpuhkan kekuatan Partai Sosialis (PS) yang menjadi lawan politik terkuatnya pada pemilu presiden pertengahan 2007. Meski kalah di putaran kedua, Ségolène Royal dari PS sempat unggul dalam debat politik. Kahn sendiri termasuk dari tiga nama kandidat presiden dari PS, sebelum akhirnya memilih Madame Royal sebagai calon dari PS.
Dalam kancah politik global, keberhasilan Kahn menggantikan Rodrigo Rato ini tak lepas dari dukungan AS dan Inggris. Mengapa kedua negara kuat ini mendukung Kahn? Hal itu karena secara mengejutkan dan di luar skenario Uni Eropa (UE), Rusia mengusulkan Josef Tosovsky, mantan Perdana Menteri dan Gubernur Bank Sentral Ceko.
Dilihat riwayat kariernya, Tosovsky lebih cocok sebagai Direktur Eksekutif IMF. Saat ini dia menduduki jabatan penting di Bank for International Settlements (BIS) yang bermarkas di Basel, Swiss. Namun, justru Kahn yang berhaluan sosialis menang. Sarkozy mengklaim hal itu sebagai keberhasilan diplomasi Perancis di tingkat UE ataupun global.
Banyak pihak menilai kursi Direktur Eksekutif IMF itu diberikan kepada Kahn, yang di dalam negeri Perancis dikenal sebagai sosok yang amat kental dengan paham sosial demokrasi, dalam rangka memperbaiki citra lembaga yang makin dipertanyakan eksistensinya tersebut.
Krisis legitimasi
Keberhasilan Kahn juga tak lepas dari dukungan negara-negara seperti Brasil (mewakili Amerika Latin) serta Afrika Selatan dan Mozambik (mewakili Afrika).
Pencalonannya diterima UE karena Kahn dianggap berhasil membawa Perancis memelopori pembentukan mata uang tunggal Eropa (euro) saat menjabat sebagai Menteri Keuangan 1997-1999.
Di luar itu, tugas berat menunggu Kahn. IMF sedang mengalami krisis legitimasi. Keberadaannya dipertanyakan, hingga usulan reformasi besar-besaran, bahkan pembubaran kian sering terdengar. Krisis legitimasi disebabkan dua alasan: IMF gagal mengantisipasi berbagai krisis yang melanda dunia dan saat krisis terjadi, dia gagal menyelesaikannya.
Kehancuran perekonomian Brasil dan beberapa negara Amerika Latin, krisis Rusia, serta kehancuran ekonomi Asia Tenggara menunjukkan betapa IMF tidak mampu berbuat banyak dalam situasi krisis. Indonesia adalah pasien terakhir yang melunasi utangnya kepada IMF. Sebelumnya, Thailand dan Korea lebih dulu bebas.
Bagi IMF, lunasnya utang negara-negara berkembang, terutama Indonesia, Serbia, dan Uruguay, membuatnya memasuki fase krisis. Tak salah jika dikatakan IMF hidup dari negara miskin yang terkena krisis.
Pada tahun fiskal 2007 IMF diprediksi akan mengalami defisit 105 juta dollar AS. Dan pada tahun 2009, dia akan mengalami defisit 280 juta dollar AS. Sementara ini, solusi yang sedang digodok adalah menjual cadangan emas yang dimiliki lalu menginvestasikannya dalam aset berbunga tinggi.
Namun, krisis internal bukan satu-satunya masalah. Kritik terhadap pendekatan dan ideologi yang diusung IMF juga makin marak terjadi.
Ideologi liberal
Kehadiran Kahn menjadi menarik karena selama ini IMF dianggap memiliki ideologi tunggal: ekonomi (finansial) liberal. Dalam hal kebijakan mengatasi krisis di berbagai kawasan dunia, IMF dikenal dengan satu resep yang sama untuk kasus berbeda (one-size-fits-all recipe).
Baru-baru ini Bank Indonesia menerbitkan buku IMF dan Stabilitas Keuangan Internasional, Suatu Tinjauan Kritis (2007), yang berisi kritik pedas kepada IMF. Sementara itu, dalam berbagai analisis akademik, IMF dianggap agen yang melancarkan gerakan besar liberalisasi finansial yang diyakini menjadi salah satu akar krisis amat berbahaya pada hari ini.
Liberalisasi arus modal membuat negara-negara sedang berkembang, seperti Indonesia, memiliki pertumbuhan ekonomi tinggi. Namun, risikonya amat fatal karena harus dibayar dengan hadirnya krisis hebat. Ketika krisis datang, IMF juga mandul dalam penyelesaian. Resep baku IMF, seperti sistem kurs mata uang mengambang, menaikkan suku bunga, memotong anggaran publik, dan liberalisasi keuangan, dianggap kian menjerumuskan banyak perusahaan menuju kebangkrutan dan ledakan pengangguran. Hasilnya, perekonomian yang kolaps makin dalam.
Resep liberalisasi, terutama bidang finansial yang dikendalikan IMF, dikritik sebagai bius mematikan. IMF berargumen, rangkaian liberalisasi itu tak lain adalah obat mujarab yang harus ditelan penderita sakit akibat krisis. Namun, terlalu banyak obat juga akan membunuh pasien.
Akankah Kahn mampu memengaruhi kebijakan IMF? Selama ini IMF terjebak dominasi negara-negara kuat. Hal itu ditunjukkan dengan penerapan kuota hak suara, bukan prinsip satu negara satu suara (one country one vote). Sebagai satu negara, misalnya, AS memiliki hak suara 16,83 persen dari total negara anggota yang berjumlah 185. UE memiliki 32 persen.
Tanpa mereformasi sistem pengambilan keputusan ini, struktur kekuasaan IMF tetap ada dalam bayang-bayang negara kuat seperti AS. Selebihnya, jika ada tokoh sosialis seperti Kahn yang masuk, bukan dia yang akan memengaruhi lembaga, justru dia akan "tertelan" lembaga.
Kahn yang berhaluan sosialis justru dicalonkan Sarkozy sebagai salah satu langkah penggembosan PS di dalam negeri Perancis. Di tingkat global, tampaknya gejalanya lebih kurang sama. Kahn dipasang untuk kepentingan pencitraan IMF yang makin karut-marut. Selebihnya soal reformasi lembaga itu sendiri.
A Prasetyantoko Pengajar Unika Atma Jaya, Jakarta; Sedang Menyelesaikan Program Doktoral di ENS-Lsh, Perancis

Instabilitas dan Institusi

10 September 2007

Di hari ini, sulit membayangkan dinamika ekonomi tanpa gejolak. Dan gejolak tersebut umumnya digerakkan oleh bagaimana sirkulasi kapital terjadi dalam sistem ekonomi, baik dalam bentuk tradisional (kredit) maupun kontemporer (investasi finansial). Apa makna dan relevansinya bagi kehidupan ekonomi kita hari ini?
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) baru saja menyetujui target pertumbuhan ekonomi RAPBN-P 2007 sebesar 6,3 persen. Target tersebut akan ditopang dengan peningkatan kinerja ekspor serta realisasi investasi. Meski begitu, target pertumbuhan tidak akan tercapai jika uang tidak dipompa dari sektor perbankan.
Kalangan DPR juga menekankan agar Bank Indonesia berusaha lebih keras mendorong ekspansi perbankan membiayai sektor riil. Menurunkan suku bunga pinjaman yang saat ini masih berada di kisaran 14 persen menjadi salah satu implikasi penting. BI mencatat angka penyerapan kredit baru mencapai 80 persen. Dari plafon kredit yang direncanakan perbankan masih ada lebih dari Rp 150 triliun menganggur di bank.
Sehingga, salah satu agenda terpenting dalam ekonomi kita saat ini adalah menyalurkan kredit ke sektor produktif. Karena dengan begitu target pertumbuhan ekonomi akan tercapai.
Sirkulasi Kapital
Penyaluran kredit adalah bagian dari peran uang (sistem moneter) dalam ekonomi. Dalam bahasa yang lain, kita sedang bicara soal sirkulasi kapital. Isu tersebut sama sekali bukan tema baru. Schumpeter telah mempelopori kajian tentang bagimana uang mempengaruhi dinamika ekonomi.
Apakah uang bersifat netral? Menurut aliran utama atau (neo)-klasik, uang hanya bersifat sebagai “pelumas” yang akan melancarkan kegiatan ekonomi saja. Jadi uang bersifat netral. Namun Schumpeter, didukung Keynes, menolak asumsi tersebut. Mereka menyatakan, uang tidak netral karena dialah motor dari fluktuasi dan instabilitas ekonomi.
Dalam keyakinan kedua tokoh, uang tercipta karena ada permintaan dari sektor produktif (demand approach), dan bukan terjadi secara suka rela serta bisa ditawarkan begitu saja (supply approach). Jadi motor utama perekonomian adalah sektor riil dan bukan sektor finansial.
Ada dua tahap hubungan uang dengan sektor produktif. Tahap pertama, uang mengalir karena ada proses inovasi (creative destruction) yang akan memompa dinamika ekonomi ke arah kemakmuran. Namun, pada tahap kedua, ketika ekonomi sudah makmur, uang akan memfasilitasi perilaku spekulasi. Dan akibatnya, uang akan mendorong resesi. Begitulah siklus bisnis terbentuk.
Dalam kehidupan sehari-hari kita bisa dengan mudah menemukan bentuk konkritnya. Kalau ada orang yang sedang memulai usaha, umumnya mereka akan berhati-hati merencanakan bisnisnya. Tetapi begitu sukses, dia akan cenderung bersifat ekspansif dan kurang berhati-hati terhadap masa depan. Dan, kredit yang mengucur pada orang yang cenderung spekulatif akan mendorong ekonomi ke arah resesi. Masa inovasi, kemakmuran, resesi dan bangkit kembali merupakan siklus alamiah yang terus menerus ada dalam ekonomi.
Ungkapan Ketua Dewan Pertimbangan Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Seluruh Indonesia (Gapensi) berikut ini bisa menjadi ilustrasi yang baik dari siklus ekonomi: "Setelah resesi 1997-2002, dunia jasa konstruksi Indonesia akan mengalami lonjakan proyek hingga beberapa tahun mendatang, sebab Indonesia mulai giat membangun," KOMPAS (28/8).
Ada implikasi penting pada kondisi ekonomi kita hari ini. Pertama, menganggurnya uang di bank tidak sepenuhnya menjadi kesalahan perbankan. Sektor riil yang tidak bergerak bisa jadi merupakan faktor yang lebih signifikan. Sementara, restrukturisasi sektor riil menjadi perkara rumit yang sudah sejak lama didiskusikan, tetapi selalu mandul di tingkat implementasi.
Kedua, jika sektor riil mulai bergerak, dan dana mulai tersedot, ada risiko lain yang datang, yaitu munculnya sikap spekulasi dan kecerobohan menggunakan uang (kredit). Maka dari itu, menggerakkan sektor riil harus disertai juga dengan pembangunan institusi hukum, sehingga uang hanya mengalir pada kegiatan yang benar-benar inovatif dan bukan spekulatif.
Dalam kaca mata mikro, tidak ada jaminan pencairan kredit akan meningkatkan produktivitas. Atau secara makro, tidak ada jaminan masuknya uang pada perekonomian yang mendorong pertumbuhan ekonomi akan menambah peluang kerja serta membantu mengatasi kemiskinan. Diskusi ini bisa diperas menjadi soal kualitas pertumbuhan ekonomi.
Spekulasi
Minsky meneruskan tradisi Keynes dan Schumpeter dalam kajian finansial, sehingga pemikirannya sering disebut ‘financial keynesianism’. Dia berargumen, kualitas ekonomi akan ditentukan oleh sehat tidaknya neraca (perilaku) keuangan unit-unit dan agen-agen ekonomi dalam skala mikro. Dalam ekonomi tradisional perusahaan adalah agen penting dalam ekonomi. Dan dalam ekonomi modern, investor finansial mengambil peran sangat aktif.
Kontribusi Minsky adalah melakukan pembagian unit-unit ekonomi dalam tiga kategori: unit yang berhati-hati (hedge), berspekulasi dan ceroboh (ponzi). Apa yang mendorong sikap ceroboh itu? Dalam situasi stabil, minat untuk memburu keuntungan makin menguat, sehingga spekulasi makin tinggi. Jadi, sumber instabilitas adalah stabilitas itu sendiri.
Perilaku ini terjadi baik dalam sektor riil (penggunaan kredit) maupun sektor finansial (investasi keuangan). Pengaruh instabilitas finansial yang makin penting di hari ini hanya menunjukkan bahwa proporsi sektor finansial dalam perekonomian makin signifikan.

Secara sederhana, pemikiran ‘Schumpeter-Keynes-Minsky’ ini mencoba membangunkan kesadaran bahwa ekonomi tidak bekerja secara alamiah, melainkan dijalankan oleh para pelaku ekonomi yang pada dirinya mengandung faktor psikologi, sosial, hukum, politik serta faktor-faktor institusi lainnya.
Sayangnya, dengan cepat kita tergoda untuk segera meremehkan diskusi seperti ini sebagai sesuatu yang teoritis dan tak berguna. Sementara yang kita anggap berguna hanyalah soal-soal prakmatis, bagimana menggerakkan sektor riil, menyalurkan uang dan akhirnya memperoleh hasil (keuntungan). Tanpa mau tau bagaimana sirkulasi kapital terjadi dalam sistem ekonomi.
Nampaknya kesadaran inilah yang mendominasi berbagai target pencapaian pertumbuhan ekonomi serta visi Indonesia 2030.
Jika begitu, kita sedang memecahkan masalah dengan mengundang masalah baru.

A Prasetyantoko Pengajar Unika Atma Jaya- Jakarta; Sedang Menyelesaikan Program Doktoral di ENS-Lsh, Perancis

Gejolak Finansial

Senin, 13 Agustus 2007

Sejak krisis hebat, terutama sejak 10 tahun terakhir, kehidupan kita lebih banyak ditentukan dinamika sektor finansial ketimbang sektor riil.
Hegemoni sektor finansial kian merasuk ekonomi kita. Fluktuasi ekonomi tak lagi ditentukan oleh kegiatan produksi riil, tetapi oleh gejolak sektor finansial. Rasanya, ekonomi telah bermetamorfosis menjadi entitas semu, akibat proses "finansiarisasi".
Hari-hari ini kita disibukkan oleh melorotnya indeks harga saham gabungan (IHSG) dan nilai tukar rupiah yang menembus level terendah dalam setahun ini.
Keguncangan pasar finansial (saham, obligasi, dan valuta asing) dalam negeri merupakan dampak krisis di bursa saham AS yang disebabkan krisis kredit perumahan dengan kualitas rendah (subprime mortgage).
Penyebab
Sudah banyak analisis teknikal menjelaskan mengapa pasar finansial kita rontok, sekaligus prediksi ke depan. Namun, kita masih miskin analisis yang mendasar, misalnya, mengapa terjadi finansiarisasi ekonomi.
Tulisan Martin PH Panggabean dan Ade Prima RB (Kompas, 31/7/2007 ) menjelaskan dengan baik betapa produk saham dan valuta asing yang diperdagangkan di bursa kita dihargai terlalu mahal (overvalued). Maka, logis jika terjadi penyesuaian. Kali ini, penyesuaian dipicu perilaku investor di bursa saham AS.
Ada dua hal menarik dari analisis itu. Pertama, jurang kian lebar antara "nilai fundamental" dan "nilai pasar". Kedua, gejolak pasar selalu dipicu dua enigma, sentimen pasar (psikologis) dan faktor likuiditas (modal).
Tentang mengapa pasar di negara berkembang lebih menarik, sudah menjadi masalah klasik. Robert E Lucas, pemenang Nobel Ekonomi 1995, mengajukan tesis "paradoks kapital": kapital beranak pinak di negara berkembang, tetapi akan segera mengalir kembali ke negara maju.
Di negara berkembang upah buruh lebih murah sehingga keuntungan membiakkan modal lebih besar. Namun, karena kepastian hukum rendah, modal akan segera kembali ke negara maju, begitu menghasilkan keuntungan. Dalam sistem hegemoni finansial, perpindahan modal makin cepat terjadi sehingga volatilitas gejolak makin tinggi.
Lalu, kapan sektor finansial menjadi dominan? Hingga sebelum krisis finansial di AS tahun 1929, ekonomi global sudah mengarah ke ekonomi liberal. Namun, krisis 1929 (malaise) telah mengubah pendulum ekonomi menuju "kompromi Keynesian". Artinya, pada masa itu dalil yang diakui paling ampuh memecahkan masalah ekonomi adalah menggunakan berbagai intervensi negara.
Titik balik kembali terjadi saat negara-negara mengalami krisis, dipicu krisis minyak pada 1970-1980-an. Saat itu ekonomi bergerak ke arah ekonomi "neo-liberal". Di era inilah pasar finansial berkembang, eksistensinya mendominasi dinamika ekonomi seperti sekarang.
Tentang dominasi sistem finansial dalam ekonomi dunia, sudah banyak kekhawatiran muncul. Jika hampir semua ekonom sepaham soal liberalisasi perdagangan, isu liberalisasi finansial sebagai bagian hegemoni finansial global terus menjadi perdebatan sengit hingga kini.
Paul O’Neill, treasury secretary AS di bawah Bush senior, menilai para spekulan di bursa saham justru akan merugikan dinamika ekonomi. Joseph Stiglitz dikenal sikapnya yang kritis terhadap liberalisasi finansial di negara berkembang.
Bahkan Jagdish Bhagwati, pembela globalisasi, tampak ragu memberi legitimasi pada liberalisasi finansial. Begitu pula George Soros, yang jelas mendapat keuntungan dari sistem finansial liberal.
Intervensi
Sering dikatakan, berbagai krisis dan gejolak telah mengundang negara untuk merumuskan kembali intervensinya pada dinamika ekonomi. Intervensi seperti apa yang dibutuhkan untuk mengendalikan gejolak finansial global dewasa ini? Lagi-lagi, analisis teknikal sudah banyak disajikan. Katakan saja, guna mengurangi risiko pelarian modal ke luar negeri, Bank Indonesia diharapkan tetap mempertahankan suku bunga 8,25 persen.
Selebihnya, apa yang bisa dilakukan? Tampaknya, kita tidak bisa berbuat apa-apa, karena hanya korban dari konstelasi hegemoni finansial global. Mungkin benar, sebagai bangsa, hegemoni finansial global merupakan realita, bukan pilihan. Apalagi bagi penganut paham yang menganggap mekanisme pasar sebagai satu-satunya cara terbaik memecahkan segala macam masalah.
Meski demikian, sebenarnya, kita bisa "menghidupkan" berbagai bentuk intervensi, bukan dalam pengertian memberi kesempatan bagi pemburu rente, tetapi sebagai bagian dari cara membangun sistem agar disiplin pasar bisa ditegakkan.
Dalam konteks gejolak finansial global ini, ada dua hal yang bisa dilakukan. Pertama, menerapkan prinsip intervensi sebagai instrumen ex ante (sebelum kejadian), bukan ex post (setelah). Mengenai bentuk konkretnya, kita masih butuh diskusi lebih mendalam. Kedua, menguatkan kerja sama regional untuk bersama-sama "melawan" tekanan global.
A Prasetyantoko Pengajar Unika Atma Jaya Jakarta; Sedang Menyelesaikan Program Doktoral di ENS-Lsh, Perancis

Wednesday, June 20, 2007

Disiplin Pasar Modal

Disiplin Pasar Modal
Senin, 18 Juni 2007

A Prasetyantoko

Disiplin mengandung pengawasan dan hukuman. Derajat pengawasan dan hukuman amat menentukan bentuk disiplin, kebiasaan, atau tata kelola secara nyata. Disiplin macam apa yang terjadi pada pasar modal kita?

Ada dua cerita yang bisa dirujuk. Pertama, pernyataan Menteri Keuangan beberapa waktu lalu, ekonomi kita kini sudah menyerupai keadaan sebelum krisis 1997. Maksudnya, aliran modal jangka pendek terlalu besar sehingga bisa menimbulkan gejolak. Kedua, peristiwa aktual dugaan terjadinya kerugian negara akibat transaksi derivatif yang dilakukan manajemen Indosat.

Pada kasus Indosat, meski otoritas pasar modal mencium gejala pelanggaran, namun tak mudah mengidentifikasi pelakunya. Seperti dugaan praktik kecurangan perdagangan saham yang melibatkan informasi orang dalam (insider trading) Perusahaan Gas Negara (PGN) beberapa waktu lalu, penegak hukum tak punya bukti menangkap pelakunya. Setiap kali berhubungan dengan kejahatan finansial, aparat hukum selalu bertemu ruang hampa

"Hedge-fund"

Pada tahun 1999, para menteri keuangan negara maju (G-7) memelopori berdirinya Forum Stabilitas Finansial. Ada dua kejadian yang mendasarinya. Pertama, krisis hebat yang melanda Asia Tenggara (1997) dan Amerika Latin (1998). Kedua, runtuhnya LTCM (long term capital management) yang mengelola dana berjumlah amat signifikan.

Dalam pertemuan di di Essen (Jerman, 10/2/2007), forum ini menegaskan kekhawatiran makin ganasnya risiko instabilitas finansial global. Kesimpulannya, kerisauan hadirnya momok instabilitas finansial bukan monopoli kita. Sayang, para pemegang otoritas di negeri kita justru lebih senang menutupi realitas dengan "sindrom menutupi kenyataan".

Pertanyaannya, siapa sebenarnya "pelaku" yang menimbulkan risiko menakutkan itu? Dan, yang menyedihkan, kita tak pernah tahu "siapa" mereka sebenarnya. Implikasinya, setiap terjadi dugaan kejahatan finansial, pelakunya selalu tak bisa ditangkap. Bahkan, dalam kasus yang relatif kasat mata dan primitif pun, seperti Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), pelakunya tak bisa ditangkap. Dalam kasus-kasus kejahatan transaksi derivatif, hantunya jauh lebih sakti sehingga meski bergentayangan di sekitar kita, sulit melihatnya apalagi menangkapnya.

Akhir-akhir ini, otoritas finansial di dunia, seperti Federal Reserve, Securities and Exchange Commission (SEC), European Central Bank, dan Bank for International Settlements sedang sibuk memasang kuda-kuda untuk mengawasi sepak terjang para manajer investasi atau yang dikenal dengan istilah hedge-funds. Pasalnya, kehadiran mereka dikhawatirkan memunculkan risiko sistematis terhadap stabilitas finansial global.

Semula, kehadiran mereka dibutuhkan guna melindungi (to hedge) kebijakan keuangan perusahaan dari berbagai risiko, seperti beda nilai tukar, kebijakan suku bunga, fluktuasi nilai pasar dan sebagainya. Dalam perkembangannya, para manajer investasi beralih fungsi dari melindungi menjadi berspekulasi. Berbeda dengan para pengelola keuangan dalam format konvensional, seperti dana pensiun, para manajer investasi dalam transaksi derivatif pada dirinya adalah investor.

Dalam istilah tata kelola klasik, dikenal dua aktor utama, yaitu pemilik modal (investor) dan pengelola (manajer). Namun, dalam kasus dana investasi ini, seorang manajer juga seorang investor. Jadi, hubungan principal-agency seperti dalam tata kelola klasik tidak berlaku. Begitu pun dalam teknik penggajian. Para manajer investasi tidak mendapat gaji, tetapi bagi hasil dari keuntungan investasi yang dilakukannya.

Risiko sistematis

Kerumitan tata kelola bukan saja terjadi pada tingkat mikro, tetapi juga makro. Banyak pihak mulai khawatir, kian banyak dana yang dikelola hedge-funds, kian tinggi risiko sistematis terhadap stabilitas finansial global.

Selain itu, peningkatan dana dalam transaksi derivatif juga akan diikuti oleh kehilangan kesempatan dalam pendanaan investasi di sektor riil. Jadi, fenomena perpisahan sektor riil dan sektor finansial itu merupakan fenomena global.

Sementara itu, kekhawatiran akan meningkatnya peran manajer investasi dalam konstelasi finansial global cukup beralasan. Pertama, secara kuantitas jumlah hedge fund resmi (tersertifikasi) melonjak pesat. Sebuah lembaga riset, Hedge-fund research Inc. tahun 1999 mencatat, jumlah hedge fund resmi baru mencapai 39, dan menjadi 1.427 (2006).

Kedua, secara kualitas, para pelaku di pasar derivatif ini terdiri dari orang-orang terbaik di bidangnya. Mereka menggunakan metode, teknik, dan perlengkapan pendukung (sistem informasi, software, dan sebagainya) mutakhir dalam mengembangkan investasi alternatif. Teknik kalkulasinya pun supercanggih, melibatkan sarjana-sarjana matematika dan fisika.

Di luar itu, secara karikatural ideologi kaum hedge-funds adalah "mengambil uang dan pergi" (take the money and run). Jadi, meski di atas kertas fungsi mereka melakukan strategi lindung nilai, tetapi dalam praktiknya mereka adalah spekulan ulung.

Mengingat perkembangan ini, urgensi kebutuhan untuk meningkatkan pengawasan serta hukuman guna membangun sebuah disiplin pasar modal kian terasa. Selain itu, usaha memisahkan aktivitas transaksi derivatif dari dunia perbankan juga mendesak dilakukan. Jangan sampai risiko sistematis yang ditimbulkan perilaku spekulatif dalam transaksi derivatif ini merusak tatanan finansial dan perekonomian, yang akhirnya mengacaukan "neraca rumah tangga" kita.

A Prasetyantoko Pengajar Unika Atma Jaya- Jakarta; Sedang Menyelesaikan Program Doktoral di ENS-Lsh, Perancis