KOMPAS

Kliping artikel Opini KOMPAS, sejak 2001

Sunday, April 16, 2006

"Another World is Possible"

KOMPAS, 29 Januari 2003

Di WEF orang-orang seperti Bill Gates, Jack Welch serta jajaran CEO terkemuka dunia, para enterpreneur dan pelaku bisnis lain selalu mendapat tempat terhormat. Dari merekalah arah perkembangan ekonomi dan bisnis dunia ditentukan. Mereka adalah pemegang kendali modal (capital), yang pada gilirannya akan menjadi kekuasaan yang amat menentukan. Apa relevansi WSF bagi mereka ini?

Jika di WEF, para pelaku bisnis mendapat tempat terhormat, di WSF mereka dicerca sebagai pihak paling bertanggung jawab atas memburuknya situasi dunia. Di mata para aktivis, pelaku bisnis-sebagai pemegang kendali modal-telah melakukan persekongkolan tak suci (unholly alliance) dengan para birokrat Bank Dunia, IMF, dan WTO-sebagai penentu kebijakan ekonomi dunia-dengan para pejabat domestik. Para aktivis ini adalah representasi generasi yang beraliran anti-globalisasi serta anti-paham neo-liberal. Dan, kini mereka sedang mencari dunia yang lain dari yang ada kini.

Dikaitkan konstelasi persekongkolan antara pelaku bisnis, pejabat lembaga multilateral dan pejabat domestik, pertanyaannya adalah is another world and another business possible?

Para teoritisi bisnis banyak yang gelisah dengan pertanyaan itu. Charles Handy, salah satu tokoh strategi bisnis di London, membuat refleksi tentang peta bisnis paska-skandal keuangan di Amerika Serikat (AS). Dia membuka analisisnya dengan tesis. Mekanisme pasar selalu bertumpu pada aturan dan hukum (rules and laws), sedangkan aturan dan hukum basisnya adalah kebenaran dan kepercayaan (truth and trust). Jadi, aturan dan hukum saja tidak cukup. Di luar aturan dan hukum (beyond rules and laws), masih ada kebenaran dan kepercayaan.

Skandal keuangan di AS adalah salah satu bukti, sekuat apapun aturan, jika tak didukung penerapan nilai kebenaran dan kepercayaan, manipulasi tetap mungkin terjadi. Dalam konsepsi teoritis yang dibangunnya, Handy tak hanya mengaitkan praktik bisnis dengan aturan dan hukum saja, tetapi juga dengan kebenaran dan kepercayaan. Sebuah konsepsi abstrak, tetapi mendasar dalam praktek bisnis.

Perilaku bisnis

Sebuah survei di AS yang diselenggarakan Gallup Poll mengungkap, 90 persen responden (representasi orang AS) tak percaya, orang yang menjalankan bisnis akan memperhatikan kepentingan pekerjanya. Sedangkan survai serupa oleh lembaga lain di Inggris menunjukkan 95 persen responden tak mempercayainya (Harvard Business Review/HBR, 12/2002). Adakah hal yang salah?

Sinisme masyarakat terhadap perilaku pengelola perusahaan ini didukung laporan yang menyebutkan, para CEO (Chief Executive Officer) di AS menerima gaji lebih dari 400 kali gaji karyawan level terendah. Sebenarnya fakta ini merupakan refleksi dari sebuah sistem yang ambisius. Dalam sistem bisnis Anglo-Amerika, kriteria sukses tidaknya sebuah perusahaan akan diukur dari tambahan nilai yang berhasil diberikan kepada para pemegang saham (shareholder value). Semakin banyak keuntungan yang bisa dibagikan (deviden), semakin sukses bisnis itu. Konsekuensinya, harga saham akan kian diburu orang, dan harga sahamnya akan segera meningkat. Sebuah logika yang menyerupai garis lurus.

Peningkatan nilai saham adalah pusat seluruh aktivitas dan perilaku bisnis. Guna memacu para eksekutif kian rajin mengakumulasi nilai saham, mereka diberi insentif berupa kepemilikan saham (stock option). Dengan begitu para eksekutif berkepentingan meningkatkan nilai saham, karena akan mendapatkan manfaatnya dari pembagian deviden. Sebuah metode insentif yang efektif.

Mengingat efektifnya mekanisme itu, tak mengherankan jika penerapan sistem ini dari hari ke hari kian populer di kalangan bisnis kontemporer. Dilaporkan, di AS, tahun 1980 hanya dua persen perusahaan yang menerapkan sistem itu, namun kini sudah mencapai lebih dari 60 persen. Sebuah peningkatan fantastis.

Atas fakta ini, Charles Handy punya sebuah pertanyaan mendasar. Untuk apa sebenarnya bisnis itu ada? Ini adalah pertanyaan yang menyangkut alasan adanya (raison d ĂȘtre). Apakah demi pengejaran keuntungan pada dirinya, guna memenuhi obsesi pengelolanya, atau demi kepentingan yang lain?

John Browne, CEO British Petroleum (BP) punya pendapat berikut ini. Menyangkut tanggung jawab bisnis dalam pembangunan yang berkelanjutan, dia berujar "bagaimana mungkin bisnis tetap bisa berjalan, jika masa depan planet itu sendiri tak jelas?". Maka dari itu, bisnis bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup dunia ini. Pada prinsipnya tujuan utama organisasi perusahaan adalah hidup terus, selama-lamanya. Dia akan memilih preferensi keuntungan sedang- sedang, tetapi berjangka panjang, ketimbang keuntungan besar, tetapi sesaat.

Secara lebih elegan bisa dirumuskan, bisnis sebenarnya memiliki tanggung jawab untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat (wealth-creating community). Bisnis sama sekali tak terlepas dari konteks sosialnya. Usaha untuk menghasilkan keuntungan tak mungkin berjalan, jika konteks sosialnya tak memiliki prospek dalam jangka panjang.

"Philanthropy" bisnis

Istilah belas kasihan perusahaan muncul dari asumsi, bisnis tak punya tanggung jawab sosial. Milton Friedman tahun 1970, sebagaimana dikutip New York Times Magazine, mengatakan, satu-satunya tanggung jawab sosial perusahaan adalah menghasilkan keuntungan.

Prinsip yang diusung para penganut paham neo-liberal ini diterapkan dengan baik oleh kebanyakan perusahaan AS. Selama 15 tahun terakhir, jumlah uang yang disalurkan perusahaan-perusahaan di AS untuk kepentingan kedermawanan perusahaan (corporate philanthropy) menurun drastis sebesar 50 persen (HBR, 12/2002). Tentu saja alasannya bisa segera ditemukan. Sederet program yang dikemas dalam CSR (corporate social responsibility) adalah kegiatan yang tak populer di mata para investor. Mereka lebih menyukai alokasi dana itu dialihkan dalam bentuk paket pembagian keuntungan (deviden).

Tidak seperti pengeluaran perusahaan untuk kepentingan sosial, ongkos yang harus ditanggung demi peningkatan produktivitas perusahaan, berapapun besarnya rela dikeluarkan. Data berikut memberi konfirmasi. Banyak perusahaan di AS mengalami lonjakan pengeluaran untuk kegiatan yang berhubungan dengan pemasaran dari 125 juta dollar AS/tahun pada 1990 menjadi 828 juta dollar AS (2002).

Kasus Philip Morris adalah ilustrasi yang baik. Sebagai perusahaan rokok besar, mereka bertanggungjawab guna mengalokasikan dana demi kepentingan kesehatan. Tahun 1999 misalnya, dikeluarkan 75 juta juta dollar AS demi kepentingan sosial, sementara biaya untuk mempublikasi kampanye itu membutuhkan 100 juta dollar AS (HBR, 12/2002).

Banyak perusahaan alergi dengan penerapan tanggungjawab sosial perusahaan. Padahal, Michael E Porter, ahli strategi bisnis dari Harvard Business School, telah menunjukkan adanya hubungan positif antara pengeluaran sosial dengan kemampuan bersaing perusahaan. Menurutnya, kedermawanan perusahaan akan meningkatkan apa yang disebut competitive context. Artinya sumbangan sosial yang diberikan perusahaan pada lingkungan sekitar akan meningkatkan kualitas lingkungan itu. Memang tidak seluruh program sosial memiliki dampak signifikan atas konteks persaingan. Sehingga, dibutuhkan kemampuan untuk mengintegrasikan keuntungan sosial (social benefit) dan keuntungan ekonomis (economic benefit) dalam sebuah program yang memiliki nilai strategis (strategic value).

Misalnya, Cisco Systems, perusahaan yang menyediakan layanan sistem informasi, memberi program sosial berupa pendidikan bagi tamatan sekolah menengah dalam Cisco Networking Academy. Selain mendidik angkatan muda cuma-cuma, keuntungan yang diperoleh Cisco adalah tersedianya tenaga kerja siap pakai yang paham tentang sistem yang dibangunnya. Program serupa juga dilakukan Apple Computer yang memberi pendidikan komputer gratis pada generasi muda. Demikian juga IBM yang sejak tahun 1994 punya komitmen 70 juta dollar AS dalam program Reinventing Education, yang telah menjangkau 65.000 guru dan enam juta murid.

Grand Circle Travel, perusahaan perjalanan wisata favorit di AS, memiliki komitmen mendanai program-program rehabilitasi tempat-tempat bersejarah. Misalnya, museum dan situs reruntuhan Ephesus di Turki atau museum nasional Auschwitz-Birkenau di Polandia. Selain mendeliver nilai sosial, mereka sedang meningkatkan nilai bisnis sendiri, karena akan kian banyak pelancong yang mengunakan agen perjalanannya.

Singkatnya, bisnis tak selalu harus luput dari tanggungjawab untuk meningkatkan nilai sosial. Dengan demikian, konteks persaingannya menjadi semakin tinggi dan akan menambah nilai ekonomis perusahaan.

Jadi, jika mau dirumuskan dengan satu kata, seluruh argumen ini akan berbunyi good business is good society. Dengan demikian, another world is really possible!

A Prasetyantoko, Pengajar Strategic Management & Business Policy di Unika Atma Jaya Jakarta

1 Comments:

Blogger Unknown said...

ya... stuju bget tuh, bisnis buat menyejahterakan rakyat, bukan tuk menyengsarakan rakyat.

4:56 PM  

Post a Comment

<< Home