KOMPAS

Kliping artikel Opini KOMPAS, sejak 2001

Sunday, April 16, 2006

“Corporate Family”

KOMPAS, Rabu, 06 November 2002

Serangan teroris telah memberi pesan moral bagi kehidupan umat manusia. Begitu kaum agamawan mencoba membesarkan hati para korban. Ternyata, ada juga pelaku bisnis yang memiliki perasaan yang sama. Paling tidak, hal tersebut dialami oleh Jeffrey W.Greenberg, chairman Marsh & McLennan, perusahaan multinational yang berkantor pusat di World Trade Center (WTC), New York.
Pada hari yang naas, tanggal 11 september 2001, di kantor Marsh & McLennan terdapat 1.908 orang. Mereka adalah para pekerja dan klien yang kebetulan datang pada hari tersebut. Sebanyak 845 orang bekerja di lantai 93-100 gedung pertama WTC. Asal tahu saja, di lantai itulah salah satu pesawat yang dikendalikan para pembajak persis menabrak gedung. Sementara, 934 orang bekerja pada gedung kedua, di lantai 48-54. Dan, 129 orang lainnya tengah berkunjung dan mengadakan berbagai pertemuan di beberapa ruangan kantor tersebut. Satu orang karyawan lagi, secara kebetulan, menumpang di salah satu pesawat yang menabrak menara kembar WTC (lihat, Harvard Business Review, 10/22).
Tentu saja, Greenberg tidak pernah membayangkan tragedi ini akan menimpa perusahaan yang dipimpinnya. Sebuah kenyataan yang sangat berat, ketika pada tanggal 11 september dia harus menyaksikan dari kaca jendela ruangannya –yang kebetulan berada digedung lain di wilayah Manhattan juga— bahwa kantor dari perusahaan yang dipimpinnya luluh lantah dan kemudian rata dengan tanah.
Saat itu, dia harus memimpin sebuah usaha penyelamatan. Dan dia bukan lagi seorang bos pada sebuah perusahaan global yang ternama. Melainkan seorang “panglima perang” yang memimpin pasukan menghadapi situasi sangat genting. Segera saja, dia merubah kantornya yang rapi menjadi pusat informasi dan ruang gawat darurat untuk menentukan berbagai aksi mengatasi situasi. Berbagai alat komunikasi di pasang, meja rapat digeser dan sekian orang mulai berunding, berdebat dan menentukan tindakan. Tindakan yang cepat, sporadis dan tidak selalu sistematis. Emergency actions!

Family Care
“Kami bekerja dengan siapa saja yang ada di sini, entah apa pangkat, kedudukan dan posisinya. Sebisa mungkin kami menentukan perencanaan, tetapi juga membiarkan improvisasi terjadi, jika memang diperlukan”. Begitu Greenberg melukiskan. Secara cepat, tim yang ada menentukan prioritas kerja. Prioritas pertama, tentu saja terfokus pada usaha menyelamatkan para pekerja yang tertimpa musibah. Mulai dari evakuasi, rumah sakit, koordinasi dengan petugas dsb.
Prioritas kedua adalah komunikasi. Mulai dari cell-phones, email, TV, radio dan berbagai peralatan komunikasi dikerahkan untuk memaksimalkan kerja penyelamatan. Prioritas berikutnya, baru memikirkan kegiatan operasional perusahaan. Entah memfungsikan kembali data base, memberi informasi kepada para klien dan yang terakhir menghitung berbagai dampak finansial dari tragedi tersebut.
Jadi ada dua hal. Tindakan cepat penyelamatan manusia dan memfungsikan kembali perusahaan. Dan diluar dua hal tersebut, ada hal lain lagi yang penting. Selang beberapa hari setelah kejadian, suasana perusahaan yang biasanya formal dan dingin, telah berubah menjadi komunitas kekeluargaan (corporate family) yang bersifat emosional. Dalam sebuah upacara pemakaman korban yang berjumlah 295 orang, sang CEO mengatakan “kita kehilangan anggota keluarga kita”. Lebih lanjut, berbagai program santunan tercipta dengan begitu saja. Banyak simpati, uluran tangan dan perhatian yang tulus muncul dalam perusahaan. Mereka dengan suka rela membantu yang menderita.
Di kemudian hari, perusahaan secara resmi mencanangkan berbagai program, seperti Family Relationship Management Program, Psycological and Emotional Counselling, Financial Assistance dsb. Semuanya berorientasi pada manusia. Tiba-tiba saja, arti penting sebuah kehidupan umat manusia menjadi fokus perusahaan. Sebelumnya? Mana terpikir.
Potret kecil ini bisa menjadi cermin, bagaimana tragedi telah mengubah wajah perusahaan yang tadinya dingin dan formal, menjadi hangat dan penuh perhatian (care). Tentu saja, tidak ada satu orang pun yang berharap tragedi ini menimpa mereka. Tetapi dari kejadian tersebut, ternyata ada perubahan suasana yang tidak terbayangkan sebelumnya. Inilah yang sering dikatakan oleh kaum spiritualis sebagai “berkah terselubung” (bleshing in disguished). Serangan teroris telah menjadi tonggak penting dalam peradapan bisnis modern.
Dan dalam kaitannya dengan kondisi di tanah air, jangan lupa, kita juga kebagian jatah teror tersebut. Puncaknya adalah tragedi Legian-Kuta-Bali. Dan apakah kondisi ini telah menggelisahkan para teoritisi dan pelaku bisnis kita? Jawabannya, jelas ya. Tapi sejauh mana? Ternyata kita masih risau pada pusaran persoalan di permukaan saja. Belum menyusur pada jantung perkara yang sebenarnya.

Orientasi Manusia
Dalam sebuah kuliah teori organisasi yang saya ikuti, seorang profesor menerangkan perusahaan sebagai bôite noire (ruangan kelam). Apa pasalnya? Rupanya dia sedang menyitir suatu pandangan yang pernah populer di Perancis. Bahwa perusahaan itu dianggap ruangan gelap yang cenderung mencelakakan keseimbangan hidup masyarakat. Mungkin pandangan tersebut sama dengan filosofi Jawa yang menganggap kegiatan mengambil untung sebagai profesi yang tidak terhormat. Orang jawa kuno menganggap berdagang itu pekerjaan nistha. Makanya mereka menyarankan anak cucu mereka memilih profesi guru atau pegawai negeri saja. Jangan sampai menjadi pedagang.
Ternyata, dalam manajemen modern pun, terjadi perdebatan soal keberadaan organisasi perusahaan sekaligus nilai-nilai yang mendasarinya. Misalnya saja, dua begawan manajemen, Christopher A.Bartlett (Harvard Business School) dan Sumantra Ghoshal (London Business School) menggugat organisasi perusahaan yang tidak berorientasi pada manusia. Keduanya adalah profesor organisasi dan strategi yang sangat tersohor. Mereka menerangkan bahwa pada mulanya bisnis hanya berorientasi pada modal keuangan (financial capital). Tetapi setelah itu bergeser pada kemampuan organisasi (organizational capability), dan akhirnya bertumpu pada kemampuan manusia (human and intellectual capital).
Selain memelopori gerakan bisnis untuk lebih berorientasi pada manusia, dua tokoh ini juga pernah mengusulkan adanya “manifesto baru” dalam bisnis. Alasannya? Menurut mereka praktek bisnis yang selama ini terjadi tidak lain adalah “persekongkolan tak suci” (unholly alliance) antara para praktisi dan teoritisi bisnis. Para praktisi memperoleh legitimasi atas aksi-aksi yang dijalankannya dari pada teoritisi. Sebaliknya, para teoritisi mendukung aksi para praktisi untuk mendapatkan uang. Akibatnya bisnis lalu hanya menjadi sarana untuk mengejar keuntungan yang tidak ada batasnya.
Serangan teroris adalah dering jam waker. Para teoritisi maupun praktisi diingatkan bahwa persekongkolan tidak suci yang selama ini mereka jalankan harus segera diubah. Tidak ada saat yang lebih baik untuk merubah arah bisnis, kecuali sekarang ini. Saat di mana musim gugur yang ganas tengah melanda dunia bisnis. Rontoknya saham-saham berteknologi tinggi, serangan teroris dan terbongkarnya skandal keuangan adalah musim gugur yang sangat ganas bagi dunia bisnis.
Telah banyak pemikiran berorientasi ke depan yang memberikan rekomendasi agar bisnis direposisi. Tinggal dibutuhkan kemauan untuk mendengar dan meresapi. Jangan sampai harus diterjang bom, ditabrak pesawat atau diruntuhkan teroris terlebih dahulu untuk berubah. Jika saja, perusahaan-perusahaan di WTC sejak dulu membangun sistem bisnisnya dalam suasana kekeluargaan (corporate family), siapa tahu serangan teroris tidak pernah terjadi.
Dengan kata lain, mungkin saja luasnya perkembangan ideologi teroris, salah satu sebabnya adalah karena peradapan modern yang selalu berorientasi pada pengejaran keuntungan yang tak ada batasnya. Tidakkah peristiwa-peristiwa belakangan ini menjadi pelajaran bagi para pelaku dan teoritisi bisnis?

A.PRASETYANTOKO, Pengajar Kebijakan Bisnis (Business Policy) di Unika Atma Jaya, Jakarta

0 Comments:

Post a Comment

<< Home