KOMPAS

Kliping artikel Opini KOMPAS, sejak 2001

Sunday, April 16, 2006

"Business as Usual"

KOMPAS, Jumat, 03 Januari 2003

MEMASUKI tahun baru, ada pertanyaan yang cukup mengganggu. Mengapa krisis yang sudah berlangsung lebih dari lima tahun ini tak kunjung usai juga? Thailand saja telah bebas dari IMF, sementara kita malah semakin dalam terlibat.

Sedihnya, kita justru menganggap semua hal itu sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja (business as usual), tak ada yang menggelisahkan (urgency of crisis).

Jika kita sempat mampir di galeri Laffayete, Paris, tempat belanja bergengsi, kita akan melihat banyak orang Indonesia berbelanja di sana. Begitu pun di Champs Elysee, kawasan pertokoan elite, sering terlihat orang Indonesia belanja di toko tas Louis Vuiton yang terkenal mahal, atau galeri parfum Sephora yang mewah. Seorang teman pernah memberitahu saya, sewaktu di Geneva (Swiss), hampir setiap hari dia berpapasan dengan gerombolan turis Indonesia. Segera dia bertanya, "apa benar Indonesia sedang dilanda krisis?"

Di negara-negara maju, di Eropa Barat khususnya, seorang dosen biasa makan siang atau naik metro yang sama dengan para mahasiswanya. Demikian juga, seorang manajer sebuah perusahaan tak jarang bertemu dengan salah satu stafnya yang tengah berlibur di tempat yang sama di mancanegara, entah di Venice, Tunis, Marrakesh, atau bahkan Bali.

Teman tadi menyindir dengan argumen berikut ini, negara yang kaya, masyarakatnya cenderung biasa-biasa saja, tetapi negara miskin masyarakatnya malah terlihat kaya. Dan, gurauan pun berlanjut bahwa negara miskin tetap miskin karena hartanya dijarah oleh segelintir orang yang kemudian menjadi sangat kaya.

Mungkin saja tak seluruh gurauan ini keliru. Dalam suasana krisis, semua orang justru sangat leluasa mengambil keuntungan. Lihat saja kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang sampai sekarang tak jelas perkaranya. Sedangkan para pelakunya sama sekali tak menjadi miskin. Jadi, krisis tak memberi pelajaran apa pun, selain tetap membiarkan siapa pun leluasa bersikap oportunis.

Oportunisme

Jika mau disederhanakan, perilaku utama yang mengiringi proses keruntuhan ekonomi hingga pemulihan yang tertatih-tatih ini adalah sikap pragmatisme dan oportunisme. Dalam kasus penjualan 41,94 persen saham Indosat Tbk (ISAT) kepada Singapore Technologies Telemedia (STT), pemerintah merasa tak perlu menghiraukan masukan dari KPPU tentang kemungkinan terjadinya monopoli pada industri telekomunikasi.

Setahun yang lalu, di Eropa pernah muncul kasus serupa. Sewaktu General Electric (GE) berniat membeli saham Honeywell, komisi pengawas Eropa di Brusel menolak dengan alasan berpotensi menimbulkan monopoli. Dan, para pihak yang bersangkutan pun tunduk pada putusan ini. Meski tentu saja, pihak GE sangat keberatan karena tertutup peluangnya untuk meraup sekian banyak keuntungan. Akhirnya keuntungan tak selamanya bisa dijadikan tujuan, ketika terjadi konflik kepentingan di antara banyak pihak.

Memang privatisasi dan divestasi BUMN di Indonesia merupakan sebuah keharusan yang secara riil sudah terikat oleh perjanjian dengan IMF. Maka, kemudian pertanyaannya, mengapa kita tak bisa melepaskan diri dari IMF? Paul Krugman, ekonom senior, pernah memberi saran bahwa untuk keluar dari IMF birokrasi kita harus bersih dan ramping (clean and lean). Sedangkan birokrasi pemerintahan kita sangat besar, boros, dan tak bersih. Tata kelola (governance), baik pemerintah maupun perusahaan, tidak dijalankan secara baik. Organisasi pemerintahan tak mengalami perubahan mendasar, kecuali hanya berubah wujud saja (bermetamorfosis) dengan kandungan esensi yang sama.

Di kelas mata kuliah pengembangan organisasi (organization development), perubahan adalah tema menarik yang tak kunjung selesai didiskusikan. Menghadapi dunia yang makin kencang berlari, hampir semua teoretisi organisasi menyepakati satu hal ini, hanya organisasi yang mampu mengantisipasi perubahan yang akan bertahan. Mereka mengusulkan pilihan, to be reformed or die! Ungkapan ini sudah menjadi rumus bagi organisasi kontemporer.

Pepatah ini bukan isapan jempol belaka. Terbukti, perusahaan-perusahaan terkemuka di Amerika Serikat (AS) dalam sejarahnya menghadapi realitas ini. Sebut saja IBM, Ford, Xerox, dan lain-lain. semuanya pernah mengalami masa krisis, pembenahan diri (reformed) dan akhirnya kebangkitan kembali (recovery). Begitulah asumsi kaum naturalis tentang prinsip siklus hidup, yang diterapkan baik dalam kasus produksi (product life cycle) maupun organisasi (organizational life cycle).

Pengalaman kaum korporat mengatasi masa sulit di organisasinya bisa memberikan banyak pelajaran. Misalnya saja, CEO legendaris Jack Welch berhasil memimpin General Electric (GE) keluar dari kemelut krisis. Mungkin jika Welch tak datang, GE tak akan menjadi perusahaan bergengsi seperti sekarang ini. Kepemimpinan adalah faktor penting, meskipun tak seluruh kisah sukses ditentukan oleh faktor pemimpin saja. Namun yang jelas, peranan pemimpin dalam mengarahkan (visioning) organisasi menuju perubahan sangatlah vital. Andai saja, para pemimpin kita tak bersikap pragmatis dan oportunis, mungkin saja perilaku masyarakatnya juga tak separah sekarang ini.

Dalam organisasi, satu faktor terkait dengan faktor lain sehingga tanpa ada usaha untuk merombak secara total tidak mungkin ada perubahan yang berarti. Dan untuk itu, dibutuhkan partisipasi semua anggota untuk mendukungnya. Hal terakhir ini begitu penting, mengingat bahwa persoalan dalam sebuah organisasi bukan saja perkara pemimpin, aturan, prosedur, dan sebagainya, tetapi juga menyangkut roh dan cara pandang yang sudah tertanam dalam setiap benak individu yang menopang kegiatan rutin organisasi sehari-harinya.

Akhir-akhir ini para teoretisi organisasi menyangsikan keabsahan praktik perubahan secara mendadak dan total dalam organisasi, atau yang sering disebut reengineering. Sekalipun perkaranya sudah mengakar pada seluruh tatanan organisasi, tetapi merombaknya secara brutal juga akan menghilangkan komitmen para aktor untuk menopang perubahan. Jadi, perlu ditemukan jalan tengah. Perubahan yang total dan dramatis, tetapi dengan tetap memberikan ruang bagi partisipasi terhadap proses perubahan itu sendiri.

Perubahan

Mungkin saja, salah satu sebab mengapa kita tak bergerak pada arah pemulihan yang baik adalah karena sikap kita yang tak pernah mampu melihat persoalan dengan cara lain. Semuanya berjalan begitu saja, bagai tak terjadi apa pun sehingga semua kepentingan tetap bebas memenuhi ambisi sempitnya.

Terhadap para pembobol uang negara, pemerintah bersikap pragmatis berikut ini: daripada tidak kembali sama sekali, kalau mau mengembalikan sedikit saja akan dianggap sebagai pahlawan. Buat para pengambil kebijakan, mereka terdesak oleh minimnya kas negara yang terus digerogoti oleh biaya untuk menomboki para pengemplang utang. Bayangkan saja biaya rekap bank jumlahnya sekitar Rp 600 trilyun!

Pemulihan ekonomi akhirnya mengarungi perjalanan yang panjang, dan tak jelas arah tujuannya. Dan, masalahnya adalah pada cara memandang persoalan yang terlalu berorientasi jangka pendek sambil terus membiarkan sikap pragmatis dan oportunis. Semua teknik, perhitungan, dan teori pemulihan ekonomi, seharusnya bertumpu pada landasan yang sama, yaitu meningkatkan kepercayaan (trust). Sementara kepercayaan tak pernah muncul dalam sebuah bangunan yang berdinding pragmatisme dan oportunisme.

Kepercayaan adalah bagian dari sikap yang mengedepankan reputasi dalam jangka panjang. Dan, reputasi tak pernah terbangun jika semua pihak masih saja bersikap biasa-biasa, tanpa pernah merasa harus melakukan sesuatu yang mendesak ke arah tertentu. Membangun reputasi tidak semata membangkitkan kesan saja, misalnya seolah-olah bekerja membuat banyak peraturan yang tak jelas implementasinya. Seandainya pengungkapan korupsi sama gesitnya dengan langkah polisi mengungkap jaringan terorisme, mungkin negeri kita sudah keluar dari krisis.

Sayangnya, kita hanya melakukan sesuatu dengan serius jika terdesak. Jika tak ada desakan, yang terjadi adalah business as usual. Bagi lapisan masyarakat, inilah saatnya untuk bangkit menuntut agar negara dikelola dengan baik (good governance) dan bisnis dijalankan dengan rambu-rambu (good corporate governance). Karena hanya dengan dua hal ini, kepercayaan akan kembali, dan aliran darah ekonomi akan segera mengalir.

A Prasetyantoko Pengajar di Unika Atma Jaya Jakarta

0 Comments:

Post a Comment

<< Home