Menuju Kekuasaan Bisnis
Selasa, 27 Agustus 2002
PERISTIWA ini terjadi di Riyadh, Arab Saudi. Seorang aktivis memaki-maki Amerika Serikat (AS) dan memuji-muji Al Qaeda sambil menggenggam secangkir Coffee Latte di salah satu sudut Starbucks Cafe. Perusahaan AS ini baru saja membuka outlet-nya yang terakhir di pusat Kota Arab Saudi. Ironi ini menggambarkan bagaimana bisnis mampu melakukan penetrasi sampai ke jantung wilayah yang tak tembus pengaruh apa pun, seperti ideologi, politik, maupun religius.
Bisnis adalah salah satu bahasa universal yang paling kuat menyebar ke seluruh penjuru dunia. Saat mendarat pertama kali di Bandara Internasional Johanesburg, saya langsung menangkap tempat yang nyaman untuk duduk sambil menunggu pesawat berikutnya. Di sana ada Newscafe, tempat yang sudah biasa ditemui di Jakarta dan kota-kota besar lain. Dalam hal ini, bisnis telah menyeragamkan selera.
Dalam kacamata filosofis, Polanyi (1957) menyebut bisnis sebagai kekuatan utama yang mampu menggerakkan transformasi besar (great transformation) di masyarakat. Di tengah membusuknya institusi seperti negara, politik, agama, dan lembaga sosial lain, bisnis muncul sebagai kekuatan yang diterima amat baik tanpa dipersoalkan lagi. Maka bisnis lalu menjadi raja dalam singgasana kekuasaan yang tiada taranya di peradaban modern ini.
Bangun dari mimpi
Tidak ada peristiwa yang begitu mengguncangkan kemegahan bisnis modern, selain terbongkarnya skandal keuangan yang terjadi di pusat bisnis dunia. Berderetnya perusahaan besar yang ternyata menyimpan kebusukan itu telah meredupkan gegap gempitanya bisnis modern. Tetapi, benarkah dinamika bisnis modern akan meredup?
Para praktisi dan teoritesi bisnis "menggarap" lubang perahu bisnis dari berbagai malpraktik dengan mengumandangkan sistem baru yang dinamainya bisnis post-Enron atau post-bubble world. Ada semacam gerakan untuk membuat jarak dengan berbagai malpraktik bisnis di masa silam dengan mengatakan, deretan skandal itu hanya sebagian "apel busuk" dari banyak "apel yang baik". Berhasilkah?
Respons spontan para investor menanggapi berbagai malpraktik bisnis di AS adalah mengalihkan investasinya ke bursa saham di kawasan Asia Timur. Bursa saham di Korea Selatan, Thailand, dan Indonesia sedang mengalami masa pemulihan dengan kembalinya permintaan domestik, meningkatnya kembali ekspor dan membaiknya sektor keuangan (Business Week, 26/8/2002). Sementara harapan para analis bertumpu pada kegagahan perekonomian Cina yang diharapkan menjadi mesin penggerak ekonomi yang baru. Lalu, para investor mulai berpaling dari bursa AS dan mengarahkan investasinya di bursa-bursa Asia yang sedang pulih dari kemelut krisis.
Namun, jangan terlalu optimistis dulu. Gejala spontan ini hanya bersifat sementara. Alasannya?
Pertama, pemulihan secara internal belum sungguh-sungguh terjadi dengan masih bergantungnya perekonomian domestik negara-negara di kawasan Asia Timur terhadap perekonomian AS.
Kedua, sejelek apa pun berita mengenai sistem korporasi di AS, dalam kenyataannya para investor masih menaruh harapan pada perusahaan-perusahaan yang sudah telanjur mapan di AS.
Kalaupun para investor berminat mengalihkan investasinya ke saham-saham perusahaan di luar AS, mereka pasti tetap mempertahankan sebagian portfolio investasinya pada saham-saham perusahaan AS. Jadi, perusahaan-perusahaan AS masih tetap tidak terkalahkan. Mereka masih menjadi patron dalam percaturan bisnis di masa depan.
Kawasan Asia masih amat tergantung pada ekspor ke luar kawasan, dan AS telah menyerap 10 persen dari GDP (gross domestic product) seluruh Asia. Demikian penjelasan ekonom Morgan Stanley, Andy Xie. Sementara itu, bursa saham di kawasan Asia masih amat tergantung pada investor asing. Sepertiga dari uang yang ada di Thai Stock Market, misalnya, datang dari AS (Business Week, 26/8/2002).
Kesimpulannya, tingkat ketergantungan Asia pada AS-baik dalam pasar ekspor maupun finansial-justru kian dalam dan luas. Sehingga, tidak masuk akal mengandaikan terjadinya pertumbuhan spektakuler di Asia, sementara perekonomian AS justru menyurut. Dengan begitu, para investor akan kembali lagi menanamkan modalnya di bursa AS.
Itulah hebatnya bisnis. Sumber utama yang menggerakkannya adalah alasan yang amat rasional, yaitu ekspektasi terhadap keuntungan, bukan pada alasan fundamental moral. Kalaupun pasar sempat bereaksi negatif terhadap sederetan skandal keuangan di AS, itu bukan berarti mereka memihak kekuatan moral, tetapi hanya didasarkan pada perhitungan yang amat rasional tentang harapan akan pendapatan mereka di masa depan (expected return).
Sumber legitimasi
Apa sebenarnya yang menjadi sumber legitimasi bisnis, sehingga kehadirannya bisa diterima meski penuh dengan malpraktik? Jawabannya adalah karena secara manusiawi bisnis tetap dibutuhkan. Bisnis diterima legitimasinya, karena dia telah memberi kepuasan pada kebutuhan individu. Ingat kasus seorang aktivis di Arab Saudi. Di satu sisi memaki-maki AS, tetapi di sisi lain menerima kehadiran perusahaan AS (Starbucks Cafe) sebagai sesuatu yang wajar.
Bagi para pemikir institusionalisme (institutionalism), salah satu prasyarat hidup dan berkembangnya sebuah institusi/lembaga dalam masyarakat adalah jika lembaga itu diterima dengan baik dan dianggap sebagai sesuatu yang ada begitu saja tanpa dipersoalkan lagi (taken-for-granted) oleh lingkungan sosialnya. Dan satu-satunya institusi yang telah diterima dengan amat baik adalah institusi bisnis. Lain halnya dengan institusi politik, negara, religius, bahkan keluarga. Itulah mengapa Polanyi menyebut bisnis sebagai satu-satunya institusi yang bertahan di tengah pembusukan institusi yang lain.
Untuk melihat begitu kuasanya kekuatan bisnis, berikut disajikan ilustrasi. Salah satu acara televisi yang amat
diminati penonton di Afrika Selatan adalah Big Brother. Acara itu berisi kisah hidup sehari-hari sekelompok anak muda yang dikurung di sebuah rumah selama tiga bulan. Di dalam rumah itu sudah dipasang kamera di semua sudut ruangan. Jadi, para pemirsa bisa melihat apa saja yang mereka lakukan, termasuk aktivitas di kamar mandi dan aktivitas amat pribadi lainnya. Lalu para pemirsa dipersilahkan memilih satu pemenang yang paling disukai dari mereka. Para pemirsa juga diperbolehkan mengeluarkan salah satu peserta dari ruangan tertutup dan menggantinya dengan yang lain.
Di Perancis, acara ini amat populer dan disebut Loft Story. Pada penayangan tahun ini, siarannya persis bersamaan dengan siaran sepak bola Piala Dunia. Ternyata, popularitasnya sama sekali tidak kalah. Sepengetahuan saya, model acara ini diperkenalkan pertama kali oleh salah satu stasiun televisi di Belanda, lalu dijadikan model yang sukses dan ditiru hampir kebanyakan stasiun televisi di Eropa dan Kanada, dan kini mulai menjalar ke Afrika.
Bisnis hiburan seperti ini menjadi ada justru karena para pemirsa menyukainya. Meski bertentangan dengan alasan moral bagi sementara kalangan, tetapi jika "selera pasar" menerimanya, apa pun itu akan terus berkembang. Itulah faktanya, bisnis telah menjadi sebuah kekuatan luar biasa kuasa. Alasannya, justru karena mendapatkan legitimasi dari para individu yang menerimanya sebagai sesuatu yang wajar. Bahkan berbagai malpraktik bisnis akan terus dianggap sebagai sesuatu yang wajar-hanya sebagian apel busuk dari banyak apel baik lainnya-jika konsumen terus menerimanya.
Dan hanya jika ada kekuatan nyata berupa penolakan dari sementara konsumen, investor atau individu yang mempersoalkan berbagai malpraktik bisnis yang bertentangan dengan pertimbangan moralitas, bisnis akan bisa sedikit digerakkan ke arah moralitas.
A Prasetyantoko, Pengajar di Unika Atma Jaya Jakarta
0 Comments:
Post a Comment
<< Home