KOMPAS

Kliping artikel Opini KOMPAS, sejak 2001

Sunday, April 16, 2006

Bisnis Pascamodern

(KOMPAS, 25 Juli 2002)

BAGAI permainan kartu domino, satu per satu kebobrokan perusahaan-perusahaan besar di Amerika Serikat (AS) mulai terbongkar secara beruntun. Berawal dari kasus skandal Enron Co., disusul kasus yang menimpa Xerox, WorldCom Inc., dan akhirnya Merck. Sebagian melibatkan peran akuntan publik yang telah memberi penilaian serta rekomendasi yang "besar pasak daripada tiang" (tidak mencerminkan informasi sebenarnya).
Akibat kebohongan para akuntan publik-yang seharusnya independen-terjadilah distorsi harga saham di bursa (Wall Street) yang mengakibatkan kerugian masyarakat. Konspirasi antara CEO (chief executive officers), sebagai pihak pengelola perusahaan, dan akuntan publik sebagai pemberi opini terhadap kondisi kesehatan keuangan perusahaan, telah membuat nilai perusahaan menjadi lebih tinggi dari senyatanya. Akibatnya, ekspektasi terhadap keuntungan perusahaan menjadi lebih tinggi sehingga keputusan untuk membeli saham tidak mencerminkan informasi yang sebenarnya.

Kemuakan para pemegang saham (stockholders) terhadap keroposnya perusahaan, ditandai penurunan minat untuk berinvestasi di bursa saham. Hal itu tercermin dari penurunan indeks harga saham dari 500 perusahaan yang masuk daftar Standard & Poor, yaitu sebesar 13,4 persen pada kuartal II tahun ini. Kecenderungan ini diikuti penurunan minat investor asing untuk menanamkan modalnya pada bursa saham di AS. (Business Week, 15/7/02)

***
DALAM peradaban modern, aktivitas menimbun keuntungan tidak lagi dilakukan para pemilik modal, tetapi oleh para pengurus perusahaan (kaum eksekutif). Mereka menanggung beban dan tanggung jawab untuk mengoptimalkan keuntungan atas investasi yang dilakukan para pemilik modal. Menurut para penggagas Agency Theory (Jansen & Macling) serta Transaction Cost Theory (Williamson) hubungan antara pemilik modal (stockholders) dan para eksekutif selalu ditandai konflik kepentingan yang permanen.

Asumsi dasar kedua teori besar ini, para eksekutif pengelola modal memiliki sikap oportunis. Untuk itu, harus ada kontrol kuat dari pemilik modal atas para eksekutif. Maka terjadilah hubungan yang bersifat konfliktual (asymmetric) antara principal (pemilik modal) dan agency (pengelola perusahaan). Para eksekutif (CEO) selalu berorientasi untuk meluaskan cakupan bisnisnya (kebijakan ekspansif), sehingga perlu ada sebagian keuntungan yang ditahan (retained earning). Sementara bagi pemilik modal yang penting adalah mendapatkan keuntungan (dividen) secepat mungkin, dan tidak perlu ada laba yang ditahan.

Dalam kaitan dengan para pemilik modal, para eksekutif selalu berusaha menyampaikan informasi positif, agar mereka mau terus menanamkan modalnya, dengan cara membeli saham perusahaan itu. Dengan begitu para eksekutif akan leluasa mengembangkan perusahaannya dengan dana segar itu. Filosofi inilah yang melatarbelakangi perilaku para CEO untuk berkonspirasi atau menyogok para akuntan publik.

Menurut beberapa pengamat, kebobrokan ini menunjukkan, kesalahan bukan lagi terletak pada regulasi pasar finansial, landasan kebijakan korporasi atau kecerobohan para akuntan publik, tetapi berasal dari jantung bisnis modern itu sendiri. Semangat (l'etat d'esprit) bisnis modern telah mengalami distorsi sehingga tanpa memperbarui paradigmanya, bangunan apa pun tidak akan mampu menanggulangi kebobrokan yang dihasilkannya.

Jika ditilik dari sejarah perkembangannya, bisnis modern lahir dari suasana gemerlap revolusi industri yang amat menekankan produktivitas dan keuntungan produksi. Pada tahap awal perkembangan bisnis ini, muncul nama seperti Frederick Taylor (1859-1915) dengan faham Taylorism, Henry Ford (1863-1947) dengan Fordism, dan Henri Fayol yang tahun 1916 meluncurkan teorinya tentang prinsip-prinsip umum administrasi industrial. Semuanya menekankan pada prinsip rasionalisasi dan sistematisasi sistem organisasi dan hubungan antarmanusia. Inilah perkembangan teori bisnis klasik.

Aliran yang mencoba mengkritisi pemikiran klasik ini adalah paradigma bisnis yang berhaluan hubungan kemanusiaan (humanistic) dan perilaku individu (behavioral). Tokohnya adalah Elton Mayo, Likert, Maslow, McGregor, dan lain-lain. Mereka mulai memberi perhatian pada aspek kemanusiaan dalam dunia kerja, tetapi mereka terperangkap pada pemikiran yang terlalu menonjolkan perilaku para aktor individu, sehingga mengabaikan faktor struktural baik yang ada di dalam maupun di luar organisasi.

Faham yang muncul kemudian adalah aliran yang menekankan faktor eksternal, yang dikenal dengan teori kontigensi (contigency theory). Intinya, perilaku individu dalam organisasi perusahaan hanya fungsi dari situasi lingkungan eksternal. Setelah itu, bermunculan berbagai mashab teori bisnis, mulai dari faham (neo)-institutionalism, teori kompetensi, Resource-Based View of the firms, knowledge management, dynamic capabilities, learning organization, dan sebagainya.

Secara epistemologis, teori bisnis bisa dipilah menjadi tiga bagian. Dalam tradisi teori bisnis klasik, aliran yang amat berpengaruh adalah positivisme. Lalu mulai masuk pengaruh teori kritis (critical theory), lalu pemikiran post-modernism. Dalam daftar 10 "jurus" yang paling berpengaruh versi The Economist (edisi 25/12/93), muncul nama Jaques Derrida, seorang filosof post-modernis. Apa pun alasannya, pemikiran post-modernis telah mempengaruhi praktik bisnis dan perilaku manajerial.

Diakui atau tidak, kini ilmu bisnis sudah menjadi ajang pertarungan epistemologis. Sayang, hal ini tidak pernah disadari oleh para praktisi bahkan para akademisi yang hanya berorientasi pada hal teknis. Sebagai generasi bisnis, baik praktisi maupun akademisi, mereka tetap bertekun dalam usaha yang materialistik, modernis, dan positivistik.

Belakangan ini, konsep Balanced Scorecard-yang dipopulerkan oleh Robert Kaplan dan David Norton-amat populer di kalangan praktisi maupun akademisi bisnis. Menurut beberapa kalangan, konsep ini telah mengintroduksi paradigma baru dalam bisnis yang sedikit banyak dipengaruhi cara pandang post-modernis. Konsep Balanced Scorecard memahami kinerja organisasi tidak hanya menurut ukuran finansial saja (tangible asset), tetapi juga dari kinerja kultur dan ideologinya (intangible asset). Sementara itu, pemikiran H Mintzberg tentang "teori konfigurasi organisasi" dianggap mengandung pemahaman organisasi sebagai proses strukturasi.

Praktik dunia bisnis memang sudah melesat jauh, rumit dan makin tidak jelas ujung pangkalnya. Sementara usaha untuk merefleksikannya melalui kerja para akademisi sudah amat tertatih-tatih. Lebih lagi, para praktisi bisnis telah "memperkosa" teori bisnis untuk kepentingan praktis, teknis dan berdimensi pendek saja.

***
MENGIKUTI perkembangan bisnis belakangan ini sungguh melelahkan. Tetapi, akan jauh lebih melelahkan jika tidak mulai dari sekarang untuk mencoba membuat botol yang baru bagi anggur lama. Seruan Presiden Bush di hadapan para pelaku bisnis untuk kembali pada etika bisnis yang baik adalah satu bagian dari imbauan moral yang dalam kenyataannya lebih banyak diabaikan oleh para pelaku bisnis, jika tidak ada hukuman yang nyata.

Dan pemerintah sebenarnya tidak pernah peduli jika tidak mendapatkan "hukuman" dari masyarakat dengan tindakan tidak menginvestasikan modalnya di bursa saham. Jadi lebih penting lagi adalah mendorong masyarakat untuk bersikap kritis dan punya keberanian untuk "menghukum" setiap perilaku para pelaku bisnis yang menyimpang dari aturan main yang baik.

Jadi inilah saatnya mensosialisasikan teori bisnis yang tidak hanya mengabdi pada kepentingan pelaku usaha, tetapi memihak pada kepentingan publik. Dalam hal ini, ilmu bisnis bukan ilmu yang hanya berdimensi praktis dan teknis saja, tetapi juga emansipatoris. Artinya ilmu bisnis tidak hanya mengeksploitasi manusia saja, tetapi juga membebaskannya.


A Prasetyantoko Dosen Unika Atma Jaya Jakarta. Sedang belajar Strategic Management di USTL, Perancis

0 Comments:

Post a Comment

<< Home