KOMPAS

Kliping artikel Opini KOMPAS, sejak 2001

Sunday, April 16, 2006

"Business Under Attack"

Kamis, 26 September 2002

PADA suatu pagi di lobi sebuah hotel di Paris, seorang turis Amerika Serikat (AS) berujar kepada saya, "Wah, hari ini cerah ya. Apa lagi, nilai bursa terangkat naik pagi ini. Inilah saat yang baik untuk mengakhiri liburan dan kembali bekerja."


Sambil terus melayani percakapan, benak saya bekerja. Manusia modern sungguh hebat. Dalam waktu yang sama bisa menikmati indahnya Kota Paris sambil terus memelototi bursa.

Kemudian, gagasan saya berlari pada sebuah analisis tentang stereotype orang AS yang sangat ambisius dan inovatif. Letak kehebatan orang AS adalah pada semangat (etat d'esprit)-nya yang selalu berorientasi ke depan, bukan ke belakang. Hegel pernah menulis,"The American lives even more for his goals, for the future, than the Europe". Sementara Einstein menambahkan, "Life for him is always becoming, never being" (Newsweek, 16-23/9/2002).

Amerika adalah ladang paling subur untuk menanamkan benih-benih bisnis di era modern ini. Di sana pulalah generasi pertama sekolah bisnis muncul dan berkembang. Pada tahun 1908, Amerika sudah mulai menghasilkan gelar MBA (master of business administration) yang kemudian berkembang sangat pesat hingga kini. Menurut survei yang dilakukan oleh Institute for International Education, 14,4 persen siswa yang belajar MBA di AS pada musim gugur tahun 2000, datang dari negara lain.

Akhirnya, harus diakui bahwa AS adalah pusat bisnis dunia. Bukan saja karena didukung oleh perusahaan-perusahaan besar yang berkinerja baik, bursa saham yang dinamis, lembaga keuangan yang kuat, tetapi juga karena didukung oleh para pelaku bisnis yang hebat, lulusan sekolah bisnis terkemuka.

Dan karena pentingnya posisi AS dalam percaturan bisnis dunia, maka guncangan pada bisnis di AS berdampak sangat luas. Dalam dua tahun terakhir ini, paling kurang ada dua peristiwa penting yang bisa ditunjuk sebagai biang getaran dalam dinamika bisnis modern.

Pertama, runtuhnya World Trade Center tidak jauh dari Wall Street. Kedua, terkuaknya deretan skandal keuangan yang menimpa perusahaan-perusahaan besar di AS. Apa implikasi dua peristiwa ini bagi masa depan peradaban bisnis modern?

Sekolah bisnis

Dalam The Economist (5/6/2002) terpampang sebuah artikel berjudul "Business School Under Attack". Tentu saja, jika setahun sebelumnya tidak ada headline di hampir semua media massa di dunia dengan tajuk "America Under Attack", maka judul ini tidak akan menarik. Judul artikel-yang saya adopsi jadi judul tulisan ini-dengan segera memberi inspirasi untuk mengaitkan antara serangan teroris dengan krisis sekolah bisnis. Secara tidak langsung tentu saja.

Dua tokoh yang dirujuk dalam artikel tersebut adalah Jeffrey Pfeffer, profesor dari Stanford University (pesaing terberat Harvard Business School) dan Henry Mintzberg, profesor dari McGill University, Canada, yang juga mengajar di INSEAD, Perancis. Mereka berdua adalah para profesor bisnis yang kritis terhadap eksistensi sekolah bisnis.

Setiap tahun lebih dari 100.000 lulusan MBA membanjir masuk bursa kerja AS. Pfeffer mengajukan kalkulasi berikut ini. Jika mereka menghabiskan masa studi selama kurang lebih dua tahun untuk menyelesaikan program MBA di salah satu sekolah terkemuka, maka masing-masing akan mengeluarkan lebih dari 100.000 dollar AS untuk meraih gelarnya. Malangnya, dari survei yang dilakukannya selama hampir 40 tahun, gelar sama sekali tidak berhubungan secara positif dengan tingkat gaji maupun kariernya di perusahaan.

Secara agak provokatif, Pfeffer mengajukan proposisi bahwa sekolah bisnis dianggap telah gagal. Tidak semua lulusan MBA dari sekolah terkemuka berhasil memimpin perusahaan dengan baik. Sebaliknya, banyak manajer sukses tanpa gelar. Jika dilanjutkan, olok-olok akan sampai pada fakta bahwa George Bush Jr yang notabene adalah seorang MBA telah gagal mengendalikan sistem bisnis AS.

Sementara itu, Mintzberg memberi rekomendasi bahwa program MBA hanya baik bagi orang yang sudah memiliki pengalaman kerja. Karena pada dasarnya, bisnis bukanlah perkara teori melainkan soal praktik dan pengalaman.

The Economist Intelligence Unit (EIU) pernah memprakarsai sebuah diskusi yang menghadirkan para dekan dari beberapa sekolah bisnis terkemuka. Pertanyaan yang diajukan sangat sederhana dan mendasar, "untuk apa sebenarnya MBA?"

Meyer Feldberg, dekan sekolah bisnis dari Columbia University menjawab dengan nada enteng, "kebanyakan hanya untuk gagah-gagahan saja, menambah percaya diri". Sementara itu, Peter Lorange-dekan Institute for Management Development (IMD) di Switzerland - menjelaskan bahwa program MBA bertujuan membangun cara berpikir yang kontekstual dalam jangka panjang. Mike Vitale, dekan Australian Graduate School of Management mempercayai bahwa peranan program MBA yang utama adalah menciptakan kondisi bagi para peserta didik agar mampu mempertajam kemampuannya memimpin organisasi.

Tema yang cukup menonjol dalam diskusi adalah soal pentingnya pengalaman dalam pendidikan MBA. Jadi sangat dibutuhkan metode komprehensif dari berbagai pendekatan yang berbeda. Tema hangat lainnya adalah soal perlunya memberikan wawasan yang bersifat interdisipliner. Misalnya saja, mata kuliah manajemen strategik sebaiknya mengadopsi juga pendekatan-pendekatan sosiologi.

Demikian juga mata kuliah kewirausahaan yang membutuhkan bantuan psikologi dan juga antropologi. Tanpa ada pendekatan yang komprehensif, para lulusan MBA hanya akan menjadi "teknisi" dalam bisnis saja.

Konsekuensi

Provokasi Pfeffer dan Mintzberg secara tersirat menunjukkan bahwa pendekatan konvensional dalam bisnis sudah tidak relevan lagi. Konteks bisnis telah berubah. Serangan teroris menyadarkan para pelaku bisnis bahwa kalkulasi bisnis tidak bisa meniadakan begitu saja konteks sosial-politik-budaya. Bisnis tidak bisa lepas dari konteksnya, sebagaimana disangka selama ini.

Konsekuensinya, dalam pembuatan perencanaan strategi misalnya, para pelaku bisnis tidak bisa hanya mengandalkan variabel-variabel konvensional saja. Sekarang ini, metode scenario planning banyak dipakai karena memberi kemungkinan melakukan perhitungan bisnis secara lebih luas, sekaligus komprehensif.

Sementara itu, terkuaknya berbagai malpraktik perusahaan AS telah menunjukkan bahwa para aktor tidak bisa diberi kekuasaan terlalu besar. Bagaimanapun, kerangka institutional penting agar keseimbangan bisa sedikit diwujudkan. Pertanyaannya, apakah dari dua peristiwa penting ini bisnis bisa digerakkan menuju peradaban yang lain?

Usaha untuk itu memang ada. Tetapi apakah berarti sedang terjadi perubahan paradigma, saya agak ragu.

Hari-hari ini, di AS sedang terjadi diskusi tentang sistem pengawasan terhadap kinerja keuangan perusahaan. Intinya adalah memasukkan pihak ketiga yang dianggap netral sebagai dewan pengawas.

Jack Bogle, pendiri sekaligus mantan direktur Vanguard-sebuah kelompok mutual fund-mengusulkan agar pola evaluasi kinerja keuangan tidak diorientasikan dalam jangka pendek saja, melainkan jangka panjang (Financial Times, 18/9/2002). Dia menggunakan istilah "the silent of the funds", sebagai sesuatu yang seharusnya ditiadakan, untuk meningkatkan transparansi pengelolaan keuangan perusahaan.

Rupanya, dari segi pengawasan kinerja keuangan ini saja, sudah melibatkan perangkat yang begitu rumit. Karena pergeseran prinsip ini harus melalui persetujuan terlebih dahulu dari Financial Accounting Standards Board (FASB), sebagai pembuat aturan sistem pembukuan di AS, dan juga International Accounting Standards Board (IASB) guna mendapatkan legitimasi pada tingkat internasional.

Rasanya, usaha untuk mereformasi praktik bisnis di era-modern ini akan menyangkut perkara yang sangat besar dan melibatkan perangkat yang luas. Bukan saja pada tingkat aturan, yang sudah jelas akan selalu tertinggal dari praktik bisnis. Tetapi, juga pada sumber daya yang lain, seperti teknologi dan informasi yang telah membuat praktik bisnis bisa dikendalikan dari tempat yang sangat jauh, sambil liburan.

Dan dari semua itu, hal yang paling mendasar untuk direformasi adalah soal cara pandang yang sudah melekat pada gerak pikir para aktor yang tentu saja tidak mudah dipatahkan hanya oleh sekadar regulasi. Maka salah satu usaha untuk melakukan reformasi adalah melakukan perubahan pada sekolah bisnis, tempat para pelaku bisnis menjalani masa pendidikan.

Alasannya? Karena struktur bisnis modern disangga oleh para aktor, maka mempengaruhi cara pikir para pelaku bisnis bukanlah sesuatu yang tak ada gunanya.

A PRASETYANTOKO Pengajar di Unika Atma Jaya Jakarta

0 Comments:

Post a Comment

<< Home