KOMPAS

Kliping artikel Opini KOMPAS, sejak 2001

Sunday, April 16, 2006

Pemerintah, IMF dan Investor Asing

Kompas, Kamis 4 Juli 2002

Dalam lawatannya ke Roma, Italia, presiden Megawati sengaja mampir ke beberapa negara dengan target utama untuk meningkatkan kerja sama ekonomi. Konkritnya adalah mengundang masuknya modal asing dalam bentuk investasi asing langsung (Foreign Direct Investment/FDI). Ironisnya, di dalam negeri tengah terjadi perdebatan soal ketergantungan terhadap Dana Moneter International (IMF). Tidak mustahil kelak Presiden akan diserang dengan isu “menjual aset bangsa” kepada investor asing. Inilah risikonya jika isu ekonomi telah berubah jadi agenda politik.
Isu tentang penjualan aset bangsa sebenarnya sudah mulai terdengar lirih dalam kasus privatisasi BUMN dan divestasi aset Perbankan. Dan kini isu tersebut nampaknya kembali men-dompleng isu ketergantungan terhadap IMF. Berhasilkan? Agar isu tersebut jangan sampai dimainkan oleh tangan-tangan politik yang berkepentingan, ada baiknya kita memikirkannya sejak dini.
Kita harus jujur mengakui bahwa investasi asing adalah “berkah” yang dinanti-nanti dalam jangka dekat agar bisa mempercepat pemulihan siklus bisnis yang telah lama sekarat. Namun jika salah urus, modal asing bisa saja menjadi “bencana” di kemudian hari. Sama seperti modal asing yang dibawa masuk oleh IMF, Bank Dunia dan lembaga multilateral lainnya; pada mulanya adalah madu tetapi kemudian menjadi racun.
Sebagaimana kita ketahui, modal asing masuk melalui dua pintu utama. Pertama melalui utang pemerintah dan kedua utang swasta. Itulah mengapa kita punya dua skema negosiasi, yaitu Paris Club (utang pemerintah) dan London Club (utang swasta). Manakala dua sumber tersebut tersendat, maka mendorong investor asing untuk membeli aset secara langsung adalah pilihan yang strategis.
***
Salah satu studi generasi pertama tentang investasi asing dilakukan oleh Hymer (1960) dengan menekankan pada keunggulan komparatif masing-masing negara. Kemudian, hampir semua studi ekonomi industrial dikuasai oleh cara pandang yang menganggap bahwa keberadaan investasi asing adalah faktor homogen (homogenity) yang hanya dipengaruhi oleh variabel-variabel makro yang mendukung keunggulan komparatif. Misalnya gaji buruh, nilai tukar, kebijakan pajak, dll. Ide ini antara lain dikembangkan oleh Michael Porter di era-1980-an.
Sementara itu, ada generasi peneliti tertentu yang mencoba keluar dari pakem paradigma neo-klasik ini. Misalnya saja studi yang dilakukan oleh J.Song (2002) dari Yonsei University, Seoul, Korea. Dia mencoba mengaplikasikan paradigma Resource-Based View (RBV) yang menganggap bahwa investasi asing adalah faktor yang heterogen (heterogenity). Artinya tiap-tiap unit perusahaan memiliki faktor spesifik yang menentukan keberhasilan investasi.
Contoh yang baik untuk menjelaskan kasus ini adalah perkembangan investasi elektronik Jepang di Asia Timur. Setelah apresiasi mata uang yen terhadap dolar tahun 1985 terjadilah gelombang besar investasi perusahaan-perusahaan elektronik Jepang ke kawasan Asia Timur. Ketika terjadi perubahan drastis iklim investasi di Taiwan, Korea dan Singapura yang berkaitan dengan tingginya upah, menurunnya penawaran (supply) tenaga kerja, serta apresiasi mata uang lokal, banyak perusahaan memindahkan investasinya ke Malaysia dan Cina. Tetapi ada juga yang tetap tinggal dengan cara menyesuaikan diri terhadap perubahan iklim investasi (Strategic Management Journal, Vol.23:2002)
Jika memang faktor makro adalah satu-satunya variabel yang menentukan investasi asing, mengapa ada perusahaan yang memindahkan investasinya tetapi ada yang memilih tinggal? Dalam konteks mikro faktor yang menentukan investasi perusahaan di suatu negara adalah kompleks, sehingga kebijakan memindahkan investasi (downgrade) belum tentu lebih menguntungkan ketimbang menyesuaikan diri dengan perubahan iklim investasi yang baru (upgrade). Begitu kesimpulan studi tersebut.
Tentu saja cara pandang RBV ini terlalu teoritis untuk diterapkan. Tetapi dari studi yang mencoba melihat persoalan investasi dari kaca mata lain ini, ada inspirasi yang bisa mendorong kita untuk tidak menganggap persoalan investasi asing secara hitam dan putih. Masih ada wilayah abu-abu (grey area) yang memungkinkan kita melakukan tawar menawar (bargaining) dengan tujuan memaksimalkan sumber daya domestik.
Agar memiliki posisi tawar yang kuat, paling tidak kita juga harus memberi fasilitas yang memadai dalam hal iklim investasi yang nyaman (convenience). Dari kacamata ketergantungan sumber daya (resource dependence), para investor asing sangat tergantung pada sumber daya keamanan dan kepastian hukum, selain faktor-faktor ekonomis seperti upah buruh, pajak pemerintah dll. Dan jika kita bisa menciptakan iklim yang nyaman bagi investasi, artinya kita mampu memberikan sumber daya penting (resource important) yang membuat investor asing tergantung kepada kita. Baru dari sini, kita bisa melakukan tawar- menawar.
Tanpa mengecilkan arti promosi pemerintah yang diwakili Presiden & the team, harus tetap jujur diakui bahwa sekarang ini kita belum punya posisi tawar yang kuat. Alasannya, prasyarat minimal bagi iklim investasi belum kita punyai. Sebagaimana diungkapkan oleh Business Week (20/5/2002), kepergian Soeharto membuat semua orang ingin memerintah dan hasilnya adalah kekacauan yang sekaligus manjadi mimpi buruk bagi para investor. Dan jika di zaman Orde Baru hanya ada satu Soeharto, maka di era otonomi daerah ada 300 Soeharto. Inilah proyeksi tentang prospek investasi asing di pasca-Soeharto.
Selain isu daerah seperti gerakan separatis Aceh yang mengancam sumur minyak Exxon Mobil Oil, misalnya, semua pihak masih menunggu (wait & see) momentum Pemilu 2004 untuk menanamkan modalnya. Dan dalam hal ini, kontribusi para pemain politik sangat menentukan apakah kita akan bisa memiliki posisi tawar-manawar yang tinggi terhadap para investor asing.
Akibat lemahnya posisi tawar menawar kita, bahkan untuk memailitkan usaha milik investor asing saja kita tidak mampu. Apakah dalam situasi seperti ini, kita mau menjual aset semurah dan secepat mungkin? Rasanya ada benarnya juga untuk sedikit mengatur strategi dalam hal penjualan aset-aset perusahaan, baik aset BUMN maupun yang ada dibawah BPPN. Dalam hal ini, mengatur strategi bukan bearti anti-privatisasi dan divestasi.
***
Dalam kaitan dengan isu penjualan aset bangsa, rupanya justru titik kritisnya terletak pada tangan-tangan yang sengaja memainkannya demi kepentingan politik. Padahal esensi ketergantungan yang disebut-sebut sebagai “ketergantungan cara baru” tersebut bukanlah realitas yang hitam dan putih. Dalam privatisasi dan divestasi, perkaranya bukanlah menolak yang diartikan sebagai sikap anti-pasar dan mendorong yang berarti menjual aset bangsa. Meski perlu ada karakter kebijakan yang bisa menunjukkan ke mana arah pijakan ekonomi kita.
Sekarang ini, terlalu banyak perkerjaan yang harus segera diselesaikan. Dan diantaranya yang penting adalah mengembalikan siklus bisnis agar bekerja kembali. Untuk itu, peranan modal asing sangat dibutuhkan. Tinggal bagaimana caranya agar kita bisa mengelola masuknya investasi asing dengan baik agar tidak menciptakan ketergantungan tak kelihatan (invisible dependence) yang akhirnya menyusahkan kita juga di kemudian hari.
Kita harus kritis terhadap segala propaganda yang berbau politis, meskipun kita tidak lalu serta-merta menuruti apa saja yang dimaui oleh pihak asing, entah itu IMF atau pun investor swasta. Dan sebaiknya pula kita memikirkan soal ketergantungan, bukan saja dalam kaitannya dengan IMF, tetapi juga terhadap investor asing.
A.Prasetyantoko, Dosen Unika Atma Jaya Jakarta,
sedang kuliah di jurusan Strategic Management-USTL, Perancis.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home