KOMPAS

Kliping artikel Opini KOMPAS, sejak 2001

Sunday, April 16, 2006

Di Antara Hirarki dan Pasar

(KOMPAS, 23 Januari 2002)

Jika individu adalah otonom, rasional dan mudah memperoleh informasi (well-informed); dan jika hukum kepemilikan berlaku dengan baik, maka pasar adalah institusi yang paling handal dalam mangalokasikan sumber daya secara optimal.
Tapi kenyataannya individu tidak otonom, karena rasionalitasnya terbatas (Simon, 1947). Informasi sulit didapatkan, karena bersifat asimetri (Arrow, 1957; Stiglitz, 1994). Sementara itu, setiap transaksi yang dilakukan selalu membutuhkan biaya (Coase, 1937; Williamson, 1977). Jadi pasar tidak efektif?
Menurut para pemikir institusionalis pasar telah dianggap gagal, dan sebagai gantinya hirarki diyakini akan lebih efektif dalam mengalokasikan sumber daya. Generasi pertama pemikir institusionalis, seperti Veblen dan Schumpeter, sangat menekankan inovasi dan “internalisasi” dibanding “eksternalisasi” yang terlalu menekankan pada kekuatan pasar.
Williamson, seorang neo-institusionalis, mengatakan bahwa dibanding dengan pasar organisasi lebih memiliki keuntungan, karena rendahnya biaya transaksi (transaction cost). Sebabnya, dalam organisasi terdapat hirarki dan kekuasaan yang mengatur mekanisme alokasi sumber daya menjadi lebih efektif.
Di antara dua kutub besar ini, yaitu antara hirarki dan pasar, muncul tesis mengenai kepercayaan (trust). Tesis yang dikembangkan dari teori neo-institusionalisme ini mencoba memperluas konsep kelembagaan menjadi semacam “kontrak sosial”. Lembaga bukan harus selalu berarti kekuasaan dan hirarki, tetapi juga bisa berarti jaringan dan kontrak yang dibangun atas dasar kepercayaan antar-individu.
Dan dari titik pijak ini, dilema antara hirarki dan pasar bisa dipecahkan.
***
Penerapan euro sebagai mata uang tunggal Eropa bukan tanpa masalah. Pemerintah Inggris menolak menerapkan euro dengan pertimbangan ekonomi dan politik dalam negerinya. Sementara Swedia yang sebenarnya berminat tidak bisa menerapkan euro, karena masyarakatnya menolak melalui referendum.
Pada tingkat makro penerapan mata uang tunggal Eropa memang impresif, tetapi pada tingkat mikro pelaksanaannya di lapangan muncul banyak sekali masalah. Di Perancis misalnya, pemerintah sudah jauh-jauh hari mempersiapkan momentum 1 Januari 2002 dengan berbagai cara, sampai hal yang paling teknis yaitu cara penghitungan konversi mata uang franc ke euro. Metode yang digunakan adalah simulasi kepada kelompok-kelompok masyarakat bawah. Sampai di toko mainan anak-anakpun dijual permainan simulasi ini. Akibatnya proses adaptasi bagi anak-anak tidak terlalu sulit, sementara bagi masyarakat berusia lanjut jauh lebih rumit.
Pada tingkat masyarakat awam, penerapan euro banyak mendapat pertentangan. Semula beberapa kelompok sindikasi perbankan berencana akan melakukan pemogokan di hari pertama penerapan euro. Demikian pula generasi tua cenderung enggan malakukan penggantian mata uang. Dan hampir di setiap transaksi muncul fenomena perdebatan kecil antara pedagang dan pembeli yang umumnya berusia lanjut.
Alasan penolakan mereka tentu saja beragam. Dari mulai yang bersifat ideologis, sampai yang romantis. Beberapa kelompok yang memiliki alasan romantis sangat keberatan jika mata uang nasional yang umumnya berlogo tokoh nasional tertentu dihilangkan dari peredaran. Sementara dari perspektif ideologis, kelompok anti-euro keberatan dengan konvergensi sosial politik yang dibawa oleh gerakan “euroisasi”. Mereka tetap ingin mempertahankan identitas nasionalismenya.
Pemerintah yang sadar akan situasi ini, tentu saja tidak tinggal diam. Selain lewat iklan media, pemerintah juga membuka kios-kios konsultasi yang siap melayani pertanyaan seputar mata uang euro hampir di setiap sudut kota di mana orang pada umumnya melakukan transaksi. Sebuah usaha pelayanan simpatik yang sangat efektif meredam penolakan terhadap euro.
Dari kasus euro, persoalan yang segera mengemuka adalah bahwa tingkat partisipasi dan kepercayaan masyarakat bagaimanapun memainkan peranan kunci dalam setiap penerapan kebijakan. Mekanisme pasar di satu sisi dan kekuatan hirarki kekuasaan di sisi lain, banyak mengalami kemandulan jika tidak didukung oleh landasan kepercayaan dari masyarakat.
Jadi hubungan tiga pilar antara negara-pasar-masyarakat adalah kunci bagaimana kebijakan diterapkan dan sumber daya dialokasikan. Jika pasar selalu berorientasi pada mekanisme pembentukan harga (price), dan hirarki terlalu menekankan otoritas dan kekuasaan (power), maka kepercayaan (trust) adalah bangunan kontrak sosial yang muncul secara partisipatif dari komunitas masyarakat.
Dalam masyarakat modern, bentuk kepercayaan yang dibutuhkan bukan kepercayaan yang ideologis atau hasil dari hirarki kekuasaan yang represif, melainkan kepercayaan yang bersifat refleksif (reflective trust). “Kepercayaan refleksif” sebagai lawan dari “kepercayaan buta” (blind trust), terbentuk dari kesalingtergantungan antara mekanisme harga, otoritas dan kepercayaan itu sendiri (Adler, 2001).
Dikotomi ini mirip dengan apa yang dilakukan Giddens (1984) dengan pembedaan antara tindakan yang bersifat recursif dan discursif. Tindakan rekursif adalah aksi yang sudah secara otomatis dilakukan tanpa ada usaha untuk dipersoalkan lagi, sehingga menjadi aksi rutin yang berulang-ulang. Tindakan rekursif bersumber dari sebuah tatanan, aturan, nilai (struktur) tertentu dan hasil dari tindakan tersebut akan memperkuat struktur yang sudah ada (status quo). Sebaliknya tindakan diskursif berpola mempersoalkan tatanan, aturan, nilai (struktur) yang sudah ada dan hasilnya adalah perubahan terhadap struktur tersebut.
Kepercayaan refleksif muncul dari mekanisme mempersoalkan bentuk kemapanan tertentu, sebelum akhirnya memutuskan untuk menaruh ikatan kepercayaan pada suatu tatanan. Kepercayaan adalah salah satu bentuk mekanisme koordinasi dalam sistem kebersamaan (komunalitas). Sementara itu, kepercayaan bisa terbentuk karena alasan kebiasaan (familiarity) melalui interaksi yang berulang-ulang, kepentingan (interest) yang terwakili dalam interaksi, atau atas alasan nilai (values) tertentu.
Betapapun bervariasinya alasan sebuah “kontrak sosial” terbentuk, tetapi kepercayaan dalam komunitas individu tidak terbentuk begitu saja. Kejadian menarik di Monaco, sebuah negara kecil yang terletak di perbatasan Italia-Perancis, pada hari pertama penerapan euro, seorang pedagang kaki lima dengan sangat lincah dan dengan senang hati menerima mata uang lira, franc dan euro dalam waktu bersamaan. Tanpa beban dan penolakan ketika harus dengan sibuk dan cermat mengubah transaksi lira, franc dan euro.
Tidak sulit bagi negara kecil dan kaya sepergi Monaco untuk membangun kepercayaan di antara warganya. Rendahnya otoritas negara, kuatnya mekanisme pasar pada kasus ini memperkuat kepercayaan masayarakat. Dari rutinitas interaksi tertentu, dari titik pijak kepentingan tertentu dan atas dasar landasan nilai tertentu, masyarakat tidak keberatan dengan kebijakan pemerintah, yang dalam kasus ini adalah keputusan untuk menerapkan mata uang euro.
***
Pada tingkat mikro, tingkat kepercayaan adalah kunci dalam membangun jaringan. Menurut teori biaya transaksi (Transaction Cost Theory) kepercayaan akan mengurangi biaya pengendalian antara prinsipal dan agen dan risiko agensi (agency risk). Hilangnya kepercayaan akan meningkatkan biaya kontrol dan pada saat bersamaan menurunkan efisiensi dan efektivitas kerja. Itulah mengapa banyak perusahaan sangat menekankan metode partisipatif. Menurut teori ini, tujuan akhirnya tetap saja menekan biaya transaksi.
Jika hubungan prinsipal-agen ini diterapkan dalam kasus hubungan antara negara dan masyarakat, maka kepercayaan masyarakat terhadap negara pada dasarnya juga akan menurunkan biaya transaksi, sehingga kebijakan publik menjadi lebih efisien. Di lain pihak, kepercayaan hanya akan muncul jika ada reputasi. Maka langkah pertama dan utama untuk menarik tingkat kepercayaan masyarakat adalah membuat institusi negara menjadi lembaga yang berwibawa dan memiliki reputasi.
Mengapa masyarakat sangat percaya pada mekanisme harga di pasar? Karena menurut pengalaman historis tertentu, pasar lebih memiliki reputasi ketimbang negara. Negara selalu identik dengan insitusi korup dan penuh dengan kepentingan, sementara pasar dianggap netral dan alamiah.
Namun jangan lupa bahwa pergeseran pada salah satu kutup punya dampak yang sama, yaitu munculnya otoritarianisme. Entah itu otoritarianisme pasar atau otoritatiranisme negara. Jadi bukankah lebih baik berorientasi pada pembentukan kepercayaan (kontrak sosial) di antara anggota masyarakat, sehingga terbangun sebuah istitusi kemasyarakatan yang kuat. Dan bukan menekankan pada institusi negara dan pasar.
Dan jika dalam hukum pasar, kepercayaan hanya diletakkan pada kekuatan invisible (in God we trust, semboyan untuk mata uang dolar AS), maka kepercayaan konkrit yang terbangun antar-individu akan menjadi solusi yang mempertemukan perdebatan antara kutup otoritarianisme pasar dan negara**.

Penulis adalah dosen Unika Atma Jaya Jakarta, sedang belajar di Perancis

0 Comments:

Post a Comment

<< Home