KOMPAS

Kliping artikel Opini KOMPAS, sejak 2001

Sunday, April 16, 2006

Ketergantungan

Selasa, 11 Juni 2002

SEBAGAIMANA dikutip Kompas Cyber Media (Senin, 3/6/2002), Kwik Kian Gie menyerukan untuk tidak memperpanjang lagi kontrak dengan Dana Moneter Internasional (IMF) yang akan habis November tahun ini. Dengan kata lain, sebaiknya kita segera memutuskan "ketergantungan" terhadap penyandang dana asing itu. Meski usulan ini diungkapkan dalam kapasitasnya sebagai pribadi, bukan sebagai Menteri Negara Perencanaan Pembangunan/Kepala Bappenas, tetapi mampu menjadi "wacana tandingan" dalam masyarakat.


Tampaknya sikap kritis terhadap IMF sudah menjadi wacana yang makin berkembang luas dalam masyarakat kita. Tak kurang kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Sjafruddin Temenggung, secara tegas dan lugas menyatakan ketidaksetujuannya terhadap tekanan IMF untuk segera melakukan divestasi terhadap Bank Niaga. Pihak IMF meminta agar saham Bank Niaga segera dijual, dengan alasan untuk memenuhi target time table sebagaimana tercantum dalam letter of intent (LoI). Namun, BPPN enggan segera melepasnya karena masih ada di bawah harga pasar.

Bukan itu saja, setelah mengucurkan utang sebesar 347 juta dollar AS beberapa waktu lalu, IMF lalu merasa punya legitimasi untuk menekan ini dan itu kepada Pemerintah Indonesia. IMF pernah menekan agar BII dilikuidasi dengan menolak rencana pemerintah menerbitkan right issue senilai Rp 3,9 trilyun sebagai alternatif solusi penyelamatan. Demikian halnya dengan tekanan terhadap BPPN untuk segera melepas aset Asia Pulp and Paper (APP) kepada pihak kreditor asing.


***
DULU, saat para ekonom pendiri Republik ini selalu tunduk pada apa pun yang dikatakan lembaga multilateral seperti IMF dan Bank Dunia, maka hampir seluruh pendapat publik tidak ada yang mempersoalkannya. Inilah efek meniru (mimetic) yang diciptakan oleh opini publik bentukan para ahli (teknokrat). Namun kini, saat sikap kritis terhadap lembaga itu mulai muncul, maka diskusi di masyarakat pun menjadi divergen.

Dalam hal ini, pers juga berperan dalam menciptakan ide tentang sebuah kenyataan yang bernama ketergantungan. Dengan kata lain, pers punya kekuatan amat besar untuk menciptakan "wacana" yang akhirnya membentuk "realita" tertentu. Dan, tentang hubungan atara kedua hal ini bagaikan ayam dan telur. Apakah realita muncul duluan, baru kemudian wacana terbentuk, atau sebaliknya wacana yang menciptakan realita? Rupanya persoalan ini juga menjadi salah satu pusat perdebatan klasik ilmu sosial yang nyaris tak terselesaikan pula.

Telepas dari hal itu, realita hadirnya IMF di negara kita bisa ditangkap dengan cara amat berbeda, tergantung dari sudut pandang penalaran (sense making) yang mana persoalan itu dilihat. Selama ini, hampir semua pendapat dituntun pada suatu paham, IMF adalah lembaga penyelamat yang membantu banyak negara berkembang keluar dari krisis, termasuk Indonesia. Tetapi, dari sudut pandang penalaran yang lain, IMF bukan apa-apa. Dia juga banyak melakukan kesalahan.

Sebagaimana diungkapkan Kwik Kian Gie, kini peranan IMF sudah tidak relevan lagi. Tanpa bantuan IMF pun, Indonesia dapat keluar dari krisis ekonomi. Alasannya, kucuran utang sebesar hampir 400 juta dollar AS itu hanya sebagai bumper, tidak boleh digunakan satu sen pun bila cadangan devisa kita belum habis. Jadi, pinjaman yang disertai persyaratan yang kadang tidak masuk akal itu hampir tidak ada gunanya. Apa benar? Tentu saja dari sudut penalaran yang lain akan dibantah dengan membenarkan, IMF tetap penting peranannya.

Jadi pendapat tentang penting/tidaknya IMF bagi perekonomian kita, bukan semata-mata pada fakta peran IMF itu sendiri, tetapi pada sudut pandang mana yang digunakan sehingga terjadi proses penalaran yang berbeda. Dengan kata lain, penting tidaknya peranan IMF di negara kita pada mulanya ditentukan oleh konsepsi ide-ide yang mendukung pembenaran kehadirannya, bukan pada realitasnya sendiri.

Dalam analisis yang lebih faktual, kita bisa mengupasnya dari sudut pandang teori ketergantungan sumber daya (resource dependence), sebagaimana dikembangkan Pfeffer dan Salancik (1978). Inti teori ini adalah kekuatan sebuah organisasi akan ditentukan oleh relasi ketergantungan sumber daya yang mampu diciptakannya terhadap pihak lain. Jika IMF dan Pemerintah Indonesia adalah dua organisasi yang saling berinteraksi, maka mudah ditebak siapa pihak yang memiliki ketergantungan sumber daya. Sudah bertahun-tahun kita terbelit utang yang makin hari makin besar, hingga nyaris tak terbayar. Inilah ketergantungan kita pada IMF.

Namun begitu, jangan putus asa dulu. Menurut teori ketergantungan sumber daya, ada tiga hal yang akan menentukan tingkat ketergantungan suatu organisasi, yaitu tingkat penting tidaknya sumber daya yang dimiliki (resource importance), alternatif sumber daya yang dimiliki (alternatives) dan kemampuan untuk menentukan pilihan (discretion). Dari teori ini pula, kita sadar, sumber daya modal bukan satu-satunya "sumber daya penting" yang bisa menentukan tingkat ketergantungan. Jika saja pemerintah mampu memberi alternatif sumber pembiayaan bukan dari IMF semata dan mampu menentukan pilihan-pilihan yang konsisten dan sistematis, maka tingkat ketergantungan terhadap IMF tidak akan separah ini.

Bagaimana tidak tergantung jika sejak awal pembangunan seluruh model ekonomi sudah selalu diorientasikan pada platform yang dibuat lembaga itu. Jadi, sumber legitimasi kehadiran IMF di Indonesia selain karena didukung negara yang kuat (power isomorphism) saat itu, dilegitimasi para teknokrat (professional isomorphism), juga karena pembenaran yang berasal dari seragamnya cara pandang yang tercipta dengan alasan meniru begitu saja (mimetic isomorphism).

Sudah sekian lama kita menjadi tergantung, dan kian lama ketergantungan itu makin tinggi. Kini, ketergantungan kita terhadap IMF sudah menjadi "hitam atas putih" sebagai dirinci dalam letter of intent (LoI). Berkelit apalagi menolak dari ketergantungan terhadap IMF sepertinya sudah tak mungkin lagi.

Namun demikian, tetap saja ada cara untuk mencoba melepaskan ketergantungan itu. Salah satunya dengan mengubah sudut pandang proses bernalar kita sendiri. Pertama-tama paradigma berpikir kita yang harus diubah bahwa IMF bukan segala-galanya bagi kita. Lalu, dalam tataran empiris (material) ketergantungan kita bisa diturunkan jika pemerintah bersungguh-sungguh mencari dan menemukan alternatif terhadap sumber daya penting yang selama ini hanya didapat dari IMF saja. Dan lagi, setidaknya pemerintah memiliki keputusan-keputusan (discretion) yang meski berseberangan dengan kemauan IMF, tetapi dilakukan dengan orientasi yang jelassehingga menunjukkan bangsa kita memang memiliki karakter yang kuat.


***
SETIDAKNYA, Kwik Kian Gie dalam kapasitasnya sebagai pribadi, juga Sjafruddin Temenggung sebagai Kepala BPPN telah menunjukkan, IMF bukan "dewa penyelamat" yang serta-merta harus dituruti. Apalagi sikap kritis terhadap IMF juga sudah berjangkit pada nalar para ekonom kita. Dengan demikian, kehadirannya diperdebatkan sumber legitimasinya. Paling kurang, kita harus berani menggunakan cara pandang yang lain dan tidak hanya membeo setiap kali ada pembenaran dari pemerintah dan ahli (teknokrat) atas kehadiran IMF.

Dari titik pijak inilah kita bisa menemukan solusi tentang bagaimana ketergantungan sumber daya yang sudah terjadi selama sekian lama itu bisa diatasi. Kerja keras dari pejabat, ekonom, lembaga nonpemerintah, dan rakyat amat dibutuhkan untuk mencari solusi bagi persoalan ketergantungan ini. Bila tidak, kita hanya akan mewariskan republik yang tergantung pada IMF pada anak cucu kita. Dengan demikian, kita hanya akan memberi sebuah rongsokan yang bernama republik Indonesia bagi penerus kita.



A Prasetyantoko Dosen Unika Atma Jaya Jakarta, sedang belajar di USTL Perancis.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home