Bisnis Pasca Orde Baru
(KOMPAS, 11 Maret 2002)
Jalan tiada ujung. Ungkapan ini mungkin tepat untuk menjelaskan krisis yang sudah memasuki tahun ke-lima di negara kita ini. Di AS, setelah peristiwa skandal keungan Enron, para mantan CEO ternama diminta membantu pemerintah membenahi sistem bisnis. Misalnya saja, Jack Welch (General Electric), Roger Enrico (PepsiCo.), Louis Gerstner Jr. (IBM) dll. Di Indonesia, sejak krisis datang sampai sekarang, silih berganti tim ekonomi menanganinya, namun seperti yang kita lihat, krisis masih juga enggan pergi. Konon kabarnya, tim ekonomi yang kini akan banyak berperan adalah tim dari kantor wakil presiden.
Persoalan yang dihadapi perekonomian Indonesia memang sudah sangat rumit dan akut. Satu persoalan terkait dengan yang lainnya, dan satu kebijakan di sektor tertentu berdampak sebaliknya pada sektor yang lain. Kalau sudah begini, dengan setelah frustasi kita akan mengatakan bahwa semua kerusakan dan kebobrokan ini adalah karena Orde Baru. Sampai-sampai, banjir di Jakarta pun akibat kesalahan Orde Baru. Tetapi siapa Orde Baru? Apakah Soeharto yang sampai sekarang tidak pernah diadili? Anthek-anthek-nya yang sampai sekarang masih berkeliaran baik di pemerintahan maupun di legislatif? Militer yang petingginya sulit dihadirkan dalam pemeriksaan hukum? Atau malah IMF yang telah menyokong secara finansial?
Menuduh Orde Baru hanyalah menabrak awan yang ternyata kosong, tidak ada siapa-siapa. Karena Orde Baru memang segumpal awan yang ketika suhu dingin menjadi mendung, dan manakala suhu memanas menyebar ke seluruh permukaan langit. Dari kaca mata neo-institusionalisme, Orde Baru adalah “roh” (cara pandang, nilai, keyakinan dan aturan) yang menjadi sumber lagitimasi perilaku para aktor. Dengan begitu menata kembali perekonomian pasca-Orde Baru sine qua non (tidak bisa tidak) harus menegakkan kembali roh yang telah compang-camping dirobek oleh ganasnya institusi Orde Baru tersebut.
Pendekatan Organisasi
Bagi para teoritisi neo-institusionalis, peranan organisasi dalam peradapan modern adalah sentral. Herbert Simon, penerima nobel ekonomi, menyatakan “Bukankah istilah ekonomi keorganisasian lebih tepat digunakan daripada ekonomi pasar?”. Pernyataan ini sekaligus menggugah minat untuk mempersoalkan kembali legitimasi pendekatan pasar yang mendominasi analisis ekonomi.
Sudah sejak dua dasawarsa terakhir ini, peranan organisasi berangsur-angsur menjadi sentral. Meskipun begitu, para ekonom dan teoritisi bisnis masih lebih condong pada pendekatan pasar dalam membuat model ekonomi (Coleman, 1992). Pendekatan ekonomi keorganisasian, sebenarnya sangat dekat dengan ide Joseph Schumpeter (1934) yang menganggap bahwa perekonomian adalah basis dari perubahan yang bersifat kreatif (creative destruction). Bagi Schumpeter (école d’Austria) pokok persoalan ekonomi bukan pada struktur persaingan, melainkan pada peningkatan mutu internal melalui proses kreatif penciptaan nilai dan kewirausahaan.
Paradigma inovasi-kewirausahaan à la Schumpeterian ini tidak berkembang, karena sudah sejak lama pemikiran ekonomi dan bisnis didominasi oleh paradigma kelangkaan (scarcity) faktor produksi. Paradigma ini mengambil ide David Ricardo yang menekankan pada faktor keunggulan komparatif (comparative advantage) terhadap sumber daya. Menurut Ricardo, organisasi yang unggul dalam persaingan adalah yang mampu menguasai (memonopoli) sumber daya yang bersifat langka.
Sama-sama menaruh perhatian terhadap sumber daya, paradigma “Ricardian” lebih menitikberatkan pada persoalan kelangkaan, sementara “Schumpeterian” lebih menonjolkan faktor inovasi. Paul Romer (1990) adalah salah satu ekonom yang menerapkan paradigma Schumpeterian dalam model pertumbuhan ekonomi, dengan menekankan pada faktor endogen –seperti perkembangan teknologi dan sumber daya manusia- sebagai penggerak utama pertumbuhan ekonomi.
Dalam teori bisnis, cara pandang seperti ini sudah dikembangkan oleh para pemikir yang beraliran resource-based view (RBV) di tahun 1990-an. Aliran pemikir ini menyakini bahwa dibandingkan dengan struktur industri, sumber daya yang dimiliki, dikembangkan dan digunakan oleh organisasi jauh lebih penting artinya. Pemikiran ini sekaligus memberi alternatif terhadap cara pandang klasik yang selalu mengandalkan struktur pasar dan struktur industri (Porter, 1980) dalam menganalisis daya saing bisnis.
Dalam konteks teori bisnis, dikotomi internal (schumpeterian) dan eksternal (ricardian) ini sudah lama menjadi pusat perdebatan teoritis. Sayangnya, dalam level ekonomi makro perdebatan paradigma ini masih sangat miskin. Padahal, persoalan kelangkaan bukan masalah yang menyangkut organisasi bisnis saja, tetapi juga menyangkut masyarakat secara keseluruhan (Hayek, 1945).
Inovasi
Meski sudah dengan berbagai paket kebijakan, siklus bisnis (business cycle) yang menjadi bagian sentral dari pemulihan perekonomian tidak juga mulai bekerja. Asset-asset di BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) tidak juga selesai diurus. Sementera para debitur, baik debitur kakap, UKM (Usaha Kecil & Menengah) maupun KUT (Kredit Usaha Tani), masih juga tidak mampu membayar utang. Jadi beban negara, yang artinya beban rakyat juga, semakin hari kian berat.
Dalam paket stimulus ekonomi di bawah komando Wapres, rencana untuk memulihkan perekonomian akan dilakukan secara menyeluruh dan bersamaan. Misalnya saja, di sektor riil akan meningkatkan pemberdayaan BUMN, peningkatan PMA (Penanaman Modal Asing), peningkatan UKM (Usaha Kecil & Menengah), ketahanan pangan, ketenagakerjaan, pemberdayaan sumber daya alam (pertanian) dll.
Dalam kaca mata inovasi-kewirausahaan, pemulihan ekonomi hanya akan menghasilkan dampak yang berarti jika dilakukan dalam rangka “perombakan yang kreatif” terhadap sumber daya ekonomi, agar bisa dimanfaatkan secara lebih efektif. Karena, sumber daya ekonomi bukan lagi bersifat “kelangkaan”, tetapi “inovasi”. Salah satu prinsip inovasi adalah akumulasi pengalaman (path-dependent) yang membentuk kebiasaan. Misalnya saja, karena tingkat ketrampilan tenaga kerja kita masih relatif rendah, maka jenis industri yang dikembangkan adalah industri yang sederhana. Maka tidak memilih industri pesawat terbang dari pada pabrik sepeda. Atau lebih memilih pabrik bajaj ketimbang sedan mewah.
Orde Baru memang telah meninggalkan rongsokan yang luar biasa. Dan sekarang beban kita adalah memanfaatkan secara kreatif rongsokan ekonomi tersebut menjadi sesuatu yang lebih berharga. Untuk itu, orientasinya bukan pertama-tama pada hasil yang akan dicapai, tetapi pada cara pandang yang dipakai untuk mengembangkan bisnis dalam rangka pemulihan ekonomi tersebut. Karena, jika pemulihan ekonomi masih tetap menggunakan cara pandang lama, maka krisis hanya akan berbalik arah untuk kemudian datang kembali.
Dan dalam rangka membangun sistem bisnis dengan cara pandang baru ini, salah satu yang harus diperkuat adalah sistem “kelembagaan” yang menjadi landasan bagi bekerjanya sistem bisnis dan mekanisme ekonomi. Karena jangan lupa, krisis menjadi begitu lama, karena persis perakaranya terletak pada landasan nilai-nilai kelembagaannya, bukan semata-mata pada struktur industri dan struktur pasarnya.
Kesalahan di masa lampau adalah membiarkan bisnis berkembang dengan logikanya sendiri. Pada hal dari kaca mata neo-institusionalis, keberadaan institusi bisnis tidak bisa dilepaskan dari institusi negara (public interest) dan masyarakat. Jadi membenahi krisis hanya akan membawa hasil, jika diarahkan pada usaha untuk menegakkan kembali “satu bangunan tiga pilar” yang telah runtuh bersama lengser-nya Orde Baru tersebut**.
Pengamat Bisnis, sedang menyelesaikan program Master
Strategic Management di Perancis
0 Comments:
Post a Comment
<< Home