KOMPAS

Kliping artikel Opini KOMPAS, sejak 2001

Sunday, April 16, 2006

Wajah Baru KKN

Kamis, 23 Mei 2002

BANYAK orang berpendapat, di era-Orde Reformasi ini, korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) tetap hidup dan bahkan makin berkembang. Pemilihan pejabat publik, baik di pemerintahan maupun BUMN, masih menggunakan cara lama: siapa dekat, dia dapat. Pertimbangan profesional bukan acuan utama. Akibat KKN ini, harta republik telah menjadi "barang jarahan" yang hanya menguntungkan sedikit orang, sementara sebagian besar pihak lain harus membayar dengan sangat mahal.


Dalam tradisi bisnis Cina, transaksi hanya dilakukan oleh para aktor dalam sebuah jaringan yang bersifat tertutup. Biasanya kelompok yang masuk dalam jaringan itu adalah anggota keluarga yang masih memiliki hubungan darah. Granovetter (1985), seorang ahli sosiologi-ekonomi, membenarkan fenomena ini dengan berasumsi, jaringan (network) akan menurunkan tingkat oportunisme para aktor karena di dalamnya ada kepercayaan (trust).

Suksesnya jaringan bisnis Cina di Asia Tenggara adalah salah satu bukti ampuhnya transaksi eksklusif yang dibangun atas dasar kepercayaan dalam sistem jaringan antarkeluarga itu. Tetapi jangan lupa, kebangkrutan ekonomi Asia juga disebabkan tertutupnya akses bisnis yang hanya dikuasai sekelompok elite. Rupanya dalam hal ini tidak ada prinsip (teori) yang universal, semuanya tergantung konteks masing-masing.


***
Berbicara tentang konteks, aliran kelembagaan (institutionalism) mengusulkan sebuah cara pandang bahwa perilaku seseorang tidak bisa dilepaskan dari "ruang" dan "waktu" yang membatasi sekaligus membentuk aksi/ tindakannya. Konteks adalah sesuatu yang terjadi begitu saja (taken for granted) dan muncul dalam aksi individu. Dari cara pandang ini, kita akan mencoba menemukan jawaban atas pertanyaan "Mengapa KKN tetap ada, bahkan di zaman reformasi ini?"

Kembali pada persoalan oportunisme, kabarnya saat Orde Baru (Orba) runtuh, praktik KKN justru merajalela, semua orang berperilaku oportunis. Bahkan, para pejuang demokrasi di lembaga-lembaga berwajah humanis pun turut dalam permainan kotor untuk menjarah harta republik. Menyedihkan. Jika ditanya, mereka akan menjawab "Gimana tidak ikut, kalau semua orang dengan leluasa melakukannya?"

Legitimasi untuk melakukan tindakan penjarahan terjadi karena lingkungan sosialnya mendukung perilaku itu. Jika semua orang melakukannya tanpa ada sanksi, maka praktik KKN sedang direproduksi dan dilanggengkan. Perilaku KKN tetap ada karena memang dibiarkan ada. Dalam tradisi institusionalisme (DiMaggio and Powell, 1983), suatu praktik sosial bisa terjadi dan langgeng hanya jika mendapatkan pengakuan atau legitimasi dari lingkungan sosialnya. Sumber legitimasi itu sendiri ada tiga, yaitu alasan profesional (normative isomorphism), alasan tekanan (coersive isomorphism) atau sekadar meniru saja (mimetic isomorphism).

Dulu ketika Orba berkuasa, praktik KKN dianggap sebagai anak kandung sistem negara yang otoriter. Artinya, orang berperilaku KKN karena dilindungi negara yang kuat. Tetapi, pada masa transisi, saat negara tidak lagi kuat, justru semua orang melakukannya. Sumber legitimasi KKN bukan hanya bersifat koersif saja, tetapi juga bersifat profesional dan efek meniru. KKN sudah menjadi virus menular yang sangat ganas, karena orang yang berperilaku KKN semakin banyak. Kalau sudah begini, tidak mudah menghentikannya.

KKN sudah menjadi "struktur" di masyarakat. Tentang perubahan struktur ini, para ilmuwan sosial masuk perdebatan melelahkan, hampir tidak terselesaikan. Dari kaca mata strukturalisme, perilaku individu akan ditentukan oleh kondisi strukturalnya (structure conduct performance). Sebaliknya, dari kaca mata individualisme, struktur adalah hasil perilaku para aktor. Titik tengahnya adalah menganggap bahwa aksi para individu dan struktur adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan (dualitas). Aksi individu hanya bisa dipahami dari strukturnya, dan sebaliknya struktur hanya bisa dijelaskan dari aksi para individunya (Giddens, 1984).

Dalam kaca mata strukturasi ini, tiap individu memiliki kebebasan untuk melakukan aksi, tetapi dalam kerangka "aturan main" tertentu yang mempengaruhinya. Dalam pengertian neo-institusionalisme, ada "roh" yang mempengaruhi cara pandang (sense making) para individu yang akan menghalangi (contraining) atau mendorong (enabling) tindakan tertentu. Weick (1979) menyebut lingkungan sosial sebagai sesuatu yang mendorong (enactment) aksi individu.

Dalam kasus KKN, reproduksi akan dilakukan jika terus mendapatkan legitimasi, baik secara koersif, profesional, maupun sekadar meniru. Bagaimana mungkin pejabat pada tingkat lebih bawah tidak melakukan KKN, bila yang atas juga melakukannya. Sistem birokrasi itu telah memberi peluang (melegitimasi) munculnya tindakan KKN.

Dalam sistem birokrasi yang amat menjunjung tinggi reputasi, jika ada calon pejabat yang masih ada hubungan keluarga dengan pejabat di atasnya justru tidak akan dipilih. Alasannya, untuk menunjukkan pada publik bahwa pemerintah punya niat baik untuk menegakkan reputasi. Tetapi dalam sistem birokrasi yang tidak punya reputasi, jika ada beberapa calon yang sama-sama lulus uji kelayakan (fit and proper test), maka yang akan dipilih adalah calon yang punya hubungan keluarga.

Bukankah fenomena ini sama seperti perilaku di jalan raya. Jika seorang pengemudi kendaraan bermotor menghadapi lampu kuning, dia tidak menginjak rem untuk berhenti, tetapi menarik gas untuk lolos dari lampu merah. Jika belum ada lampu merah, apa pun masih bisa dilakukan. Sayang, dalam soal KKN batas lampu merah itu tidak ada. Meski sudah terindikasi KKN pun, tetap saja seorang pejabat tinggi punya legitimasi untuk memimpin lembaga publik, bahkan yang prestisius sekalipun.


***
SUDAH sejak lama, perilaku oportunis menjadi pusat perhatian para (neo)-institusionalis. Williamson (1985) menganggap, semua individu adalah oportunis, maka dibutuhkan hierarki untuk menekannya. Transaksi akan berbiaya rendah jika dilakukan di bawah otoritas dan ruang lingkup organisasi. Kritik dari para pembaharu neo-institusionalis adalah bahwa baik mekanisme pasar maupun hierarki sama-sama tidak mampu menjawab persoalan. Kepercayaan adalah landasan paling baik untuk melakukan transaksi. Sementara kepercayaan dan reputasi adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan.

Sistem jaringan amat mengedepankan reputasi, kepercayaan, dan kesalingtergantungan, sehingga tidak saling mengeksploitasi. Jaringan bukan justru memberi kesempatan pada pihak tertentu untuk berperilaku oportunis, melainkan menunjukkan reputasinya.

Sayang, sampai saat ini kita tidak pernah melihat contoh yang baik tentang penegakan perilaku KKN. Masih banyak birokrat dan pejabat tinggi negara yang dengan terang-terangan melakukan praktik ini. Sehingga tidak mengherankan bila semua orang berlomba-lomba untuk melakukan hal yang sama. Sementara itu, aturan main tetap bisa dimanipulasi dengan berbagai macam pembenaran yang tampaknya bersifat profesional.

Dengan demikian, perilaku KKN sedang terus dilanggengkan. Dalam situasi di mana perilaku KKN mendapat perlindungan (terlegitimasi), maka amat logis bila perilaku itu akan terus berkembang. KKN akan terus-menerus ditiru sebagai cara hidup (life style) sehingga semakin menstruktur.

Kesimpulannya, KKN sedang bermetamorfosis menjadi praktik yang terus berusaha mendapatkan legitimasi baru. Hanya jika rakyat menuntut haknya kembali untuk melawan segala macam praktik KKN, kita akan menemukan wajah baru tanpa KKN. Sudah waktunya KKN jadi musuh bersama. Tidak ada kompromi lagi bagi semua perilaku berbau KKN.

A Prasetyantoko, Dosen Unika Atma Jaya Jakarta, sedang belajar di Perancis

0 Comments:

Post a Comment

<< Home