Corporate Governance
(KOMPAS, 12 Desember 2001)
Hanya ada satu tanggung jawab sosial perusahaan, yaitu menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya. Begitu kata Milton Friedman, pelopor neo-liberalisme.
Dalam peradapan modern, institusi bisnis memainkan peranan yang sangat penting. Karena, kemunculannya persis terjadi ketika institusi-institusi yang lain, seperti negara, politik, agama, dan bahkan keluarga, mengalami pembusukan. Melalui sebuah proses transformasi besar (Polanyi, 1957), bisnis lalu menjadi institusi legitim yang keberadaannya mempengaruhi cara masyarakat mentata dirinya.
Dalam kaitannya dengan keuntungan, Friedman memang menambahkan bahwa untuk mencapainya harus dilakukan sesuai dengan aturan main (rule of the game) tertentu. Tapi aturan main yang mana? Regulasi, etik dan moral adalah sesuatu yang maya, sementara keuntungan sudah jelas bersifat nyata. Maka wajar jika seluruh gerak dan dinamika bisnis modern bermuara pada kekuatan nyata tersebut. Mengejar keuntungan.
Belakangan ini, terutama setelah peristiwa serangan teroris 11 september, sebagian kalangan teoritisi bisnis berupaya menafsirkan ulang eksistensi bisnis dalam hubungannya dengan masyarakat. Dan tema corporate governance menjadi wacana penting dalam menggagas arah dan masa depan dunia bisnis.
***
Siapa yang mengira bahwa gedung WTC (World Trade Centre) di Manhattan -yang menjadi simbol peradapan bisnis modern itu- akan menjadi puing-puing? Apalagi, bagi para pelaku bisnis yang setiap hari hilir-mudik di kawasan tersebut, pasti bayangan tersebut tidak pernah muncul di benak mereka.
Dalam sebuah pelatihan bisnis yang diselenggarakan oleh Booz Allen Hamilton bagi para manajer tingkat atas, ada simulasi berikut ini. Para peserta diberi pertanyaan, “Apa yang akan anda lakukan, jika perusahaan anda tiba-tiba mengalami ledakan besar, sebagian besar karyawan menjadi korban, dan anda kehilangan sebagian besar aset perusahaan?”. Jawaban pertama yang muncul secara spontan adalah, “Tidak mungkin kejadian itu menimpa kami” dan kemudian “Kami tidak tahu harus melakukan apa”.
Menurut Eric Pelletier (vice president Booz Allen Hamilton) para praktisi bisnis, bagaimanapun, masih terbelenggu oleh metodologi klasik yang terlalu mengarahkan perhatian pada sebab, dan bukan pada akibat dari suatu masalah. Sehingga, kejadian seperti serangan teroris 11 september lalu, benar-benar fenomena yang jauh dari benak para pelaku bisnis.
Sebagai ilustrasi, Peter Schwartz penulis buku “The Art of the Long View” dan seorang ahli di bidang scenario planning semula bermaksud mengadakan seminar pada 12 september 2001. Akibat serangan teroris 11 september, tentu saja seminar yang bertema “The Big Surprise” tersebut ditunda. Hal yang mengherankan, sebulan kemudian ketika konferensi tersebut jadi diselenggarakan, justru pesertanya melonjak 50% dari pendaftar semula.
Serangan teroris telah membuka mata para pelaku bisnis untuk lebih luas memandang persoalan bisnis, bukan semata-mata sebagai fungsi dari kalkulasi keuntungan. Dan bahwa persoalan yang dihadapi oleh dunia bisnis ternyata sangat luas dan multidimensi. Mereka semakin sadar, bahwa di masa depan tingkat ketidakpastian dunia bisnis bukan saja ditentukan oleh variabel ekonomi dan bisnis, tetapi juga persoalan konflik peradapan.
Berangkat dari fakta ketidakpastian ini, masa depan dunia bisnis bisa ditangkap dalam dua arah utama. Arah pertama adalah kecenderungan yang terus mendorong gerakan bisnis pada progresivitas tidak terbatas. Dan kedua, memilih bersikap regresif dengan menggagas keberadaan bisnis sebagai bagian dari entitas yang memiliki aturan dan tanggungjawab sosial tertentu.
Dalam logika pertama, perluasan gerak deregulasi, privatisasi dan liberalisasi akan bersinergi dengan pengembangan kompetensi yang didukung oleh sistem teknologi dan model komunikasi baru. Arah yang akan dituju adalah globalisme yang diyakini akan membawa dampak kemakmuran bagi semua pihak.
Gerakan ini mandapatkan pembenaran dari epistemologi neo-liberalisme yang menganggap bahwa kekuatan pasar adalah solusi paling baik dan alamiah, karena bersikap paling adil dalam membagi sumber daya ekonomi.
Merujuk pada perkembangan terakhir yang terjadi di AS, prinsip ini sudah tidak layak dipertahankan. Pasar bukan sesuatu yang tidak bertendensi. Dia bisa digerakkan dengan alasan patriotisme. Gerakan nasionalisme baru yang dikampanyekan pemerintah untuk mendorong tingkat konsumsi adalah bagian dari bagaimana mekanisme pasar ditentukan oleh sebuah tata aturan dan kepentingan tertentu (governance), yang dalam hal ini adalah alasan nasionalisme.
Jadi melihat hal ini, bukankah tidak lebih baik mengarahkan perkembangan pasar dalam logika yang kedua? Membangun sebuah tata aturan tertentu yang me’regulasi’ pasar dan institusi bisnis.
Corporate governance adalah mekanisme bagaimana sumber daya perusahaan dialokasikan menurut suatu aturan ‘hak’ dan ‘kuasa’ tertentu. Dia mengarahkan aksi individu dalam organisasi dan kegiatan rutin tertentu pada suatu muara. Dan muara itu bisa berupa menghasilkan laba sebesar-besarnya, atau etika sosial.
Ini adalah perkara strukturasi (Giddens, 1984), yaitu aturan/tatanan (struktur) macam apa yang menggerakkan aksi para individu dan kegiatan rutin tertentu dalam organisasi. Dan sebaliknya, aturan/tatanan/struktur macam apa yang kemudian terbentuk akibat dari aksi individu dan kegiatan berulang tersebut. Jadi corporate governance adalah ‘sumber’ sekaligus ‘hasil’ dari aksi individu dan rutin tertentu dalam organisasi.
Dalam praktiknya, persoalan corporate governance bukanlah perkara sederhana, karena menyangkut banyak dimensi yang mengkerangkai perilaku organisasi. Seperti, dimensi hukum (Barclay & Holderness, 1992), finansial (Fama & Jansen, 1983), ekonomi (Williamson, 1975), kelembagaan (Hollingswort & Boyer, 1997) dan dimensi manajerial (Lorsch, 1995).
***
Sudah pasti, arah dan masa depan bisnis tidak akan begitu saja berubah dalam waktu singkat. Tetapi paling kurang, arah perkembangan ke depan telah sedikit banyak diwarnai oleh big surprise, yang membangunkan tidur indah para pelaku bisnis.
Dalam hal ini, metodologi neo-klasik yang hanya menawarkan satu pilihan solusi (one best way) terhadap persoalan multidimensi sudah tidak layak dipertahankan lagi. Dan hanya menggunakan logika pasar dalam membangun ‘regulasi’ (governance) bagi institusi bisnis jelas akan menimbulkan banyak persoalan di kemudian hari.
Sebagaimana diungkapan oleh Herbert Simon bahwa masyarakat modern bukan pertama-tama pasar, tetapi juga organisasi. Dan nilai tidak semata-mata diciptakan oleh transaksi individual di pasar, tetapi juga oleh organisasi, yang di dalamnya mengandung aksi sekelompok individu yang memiliki kepentingan, nilai dan dalam rasionalitas yang bersifat terbatas (bounded rationality).
Dan dunia bisnis bukan lagi kekuatan yang hanya mengabdi pada kekuatan pasar, tetapi –sebagaimana diungkapan oleh Matsushita- lebih terbuka untuk menciptakan masyarakat yang kaya secara spiritual dan berkelimpahan secara material.
Dari semua itu, arah gerakan dunia bisnis yang masih terus bergumul dengan realitas nyata pengejaran keuntungan, harus dikawal dengan kekuatan nyata pula agar mekanisme pengalokasian sumber daya tidak hanya diabdikan pada logika keuntungan pasar semata. Dorongan untuk menerapkan corporate governance juga harus menjadi sebuah kekuatan nyata. Sehingga apa yang dikatakan oleh John Kenneth Galbraith sebagai kekuatan pembanding dari pasar, yaitu pemerintah dan asosiasi publik (unions), harus menjalankan fungsinya dengan baik.
Baru kemudian setelah itu, akan muncul generasi bisnis yang memiliki tanggung jawab sosial lebih besar. Keuntungan bukan satu-satunya tujuan utama, dan aturan bukan sesuatu yang maya**.
Penulis sedang belajar di Universite des Sciences et
Technologies de Lille (USTL), Perancis
0 Comments:
Post a Comment
<< Home