Bisnis di Musim Gugur
Selasa, 20 November 2001
MUSIM gugur adalah pertanda bahwa kehidupan akan segera terhenti. Semuanya murung, tak ada gairah, dan sebentar kemudian adalah kematian.
Akhir-akhir ini dunia bisnis dilanda musim gugur yang ganas. Krisis finansial tahun 1987 (stock-market crash), peristiwa terguncangnya LTCM (Long-Term Capital Management) tahun 1998, dan terakhir serangan teroris pada Gedung Kembar WTC (World Trade Center) di jantung bisnis dunia. Terutama karena serangan teroris ini, semua orang mengira, musim gugur akan segera berganti dengan kebekuan musim dingin yang hebat. Tetapi, buktinya tidak.
Hanya beberapa hari setelah serangan teroris, perusahaan yang berkantor di WTC sudah bisa membuka usahanya kembali di tempat lain. Teroris hanya bisa menghancurkan Gedung WTC, tetapi bukan "roh" bisnis yang ditopang semua peralatan berteknologi tinggi untuk menyimpan data dan mengatur semua mekanisme kerja.
Dan dunia bisnis telah berkembang menjadi "entitas cerdas", dengan berbagai slogan, seperti e-economy, digitalized economy atau knowledge economy. Seperti dikatakan John Stuart Mill, pengetahuan dan keterampilan adalah motor utama penggerak pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran. Bukan tanah, apalagi gedung.
***
STAN O'Neal (Presiden Merrill Lynch & Co) berujar, "Kalaupun dunia ini berakhir, kita tetap menjadi pebisnis yang menjalankan bisnis". Ungkapan moral ini disampaikan saat membuka kembali kantornya di kawasan Manhattan setelah penyerangan 11 September.
O'Neal tentu tidak sendiri. Tidak lama setelah serangan teroris, para perusahaan jasa penyimpanan data segera sibuk mengatur pembukaan kembali kantor di tempat lain. Sementara perusahaan asuransi sibuk menghitung kerugian yang harus dibayar akibat serangan teroris. Setelah itu, hampir semua kantor segera membuka kembali usahanya.
Atas bantuan sistem teknologi, semua risiko bisa diminimalisasi (di-hedging) sedemikian rupa sehingga sebuah tatanan bisnis modern tidak mudah dilumpuhkan begitu saja. Inilah potret metamorfose bisnis kontemporer.
Para teoritisi bisnis hingga kini masih memperdebatkan eksistensi perusahaan dari dua pendekatan utama. Sebagian meyakini, keberadaan organisasi perusahaan lebih ditentukan oleh faktor lingkungan eksternalnya (competition). Sementara lainnya lebih menekankan pada sisi internalnya (competence). Pandangan kompetisi melihat hidup matinya perusahaan dari "lingkungan industrial"-nya (Porter, 1985), atau dari ekologi populasi (population ecology), atau dari darwinisme sosialnya (Dertouzos, 1989). Sedangkan pandangan kompetensi lebih melihat kekuatan internal perusahaan (resources-based view) yang menganggap hidup matinya perusahaan tergantung dari kemampuannya mentransformasi diri (Prahalad, 1987, Doz, 1990).
Kedua sudut pandang ini dianggap memiliki kebuntuan dari kacamata ekonomi-politik. Karena keputusan strategik pada level organisasi perusahaan sebenarnya telah diangkat pada level kebijakan negara. Sebagaimana diungkap Ulrich Beck (Le Monde, 10/10/2001), maraknya dunia bisnis bagaimanapun tidak bisa lepas dari kebijakan neoliberalisme negara yang bertumpu pada tiga pilar utama (deregulasi, liberalisasi, dan privatisasi).
Peran negara untuk menuntun dunia bisnis tampak dalam pola kebijakan pascaserangan teroris. Poros kebijakan utama yang dikembangkan negara adalah konsumsi. Penurunan suku bunga agar masyarakat memilih membelanjakan uangnya di pasar ketimbang menyimpannya di bank, atau dengan penurunan pajak agar kemampuan membeli masyarakat meningkat.
Dari sudut pandang ini, negara yang sebenarnya menciptakan sebuah iklim, di mana bisnis bisa muncul, berkembang, dan bertahan. Persoalan akan segera muncul, karena negara membuka seluruh kemungkinan bagi muncul, berkembang, dan bertahannya bisnis, sementara di lain pihak mengesampingkan persoalan sosial.
Sebagaimana ditunjukkan Ulrich, faham neoliberal yang dikembangkan negara terlalu menekankan pada peran dunia usaha sehingga bisnis berkembang bukan lagi karena masyarakat membutuhkan, tetapi lebih karena efek spiral akumulasi modal yang bertambah hari bertambah besar. Dan yang terjadi sebaliknya, dunia usaha yang membutuhkan konsumsi.
Berangkat dari fakta ini, krisis terjadi manakala ekspektasi pasar terlalu tinggi, sementara kebutuhan riil sudah tertinggal jauh. Dengan demikian, dunia bisnis benar-benar telah menjadi realitas maya yang berjalan di atas awan (walking in the clouds).
Rontoknya perusahaan yang berbasis teknologi tinggi, krisis finansial, serta mergernya banyak perusahaan besar adalah fenomena kesenjangan itu. Paul Krugman (1997) menjulukinya dengan istilah buble economy.
***
PADA level internasional, berkembangnya dunia bisnis juga tidak semata-mata karena revolusi teknologi dan ilmu pengetahuan, tetapi karena kepemimpinan ekonomi pasar yang dikembangkan negara.
Persoalan kesenjangan utara selatan, sebagaimana muncul dalam pertemuan puncak WTO (World Trade Organization) di Doha, Qatar, baru-baru ini, juga tidak lepas dari peranan dunia usaha.
Perusahaan multinasional adalah garda terdepan (avant-garde) dalam menciptakan persoalan kesenjangan. Joseph E Stiglitz mengatakan, liberalisasi komersial menyumbang degradasi ekonomi banyak negara sedang berkembang. Mantan ekonom Bank Dunia ini memenangkan Nobel Ekonomi 2001 karena teori "informasi yang tidak simetris". Dalam konteks perkembangan bisnis, teori ini menjelaskan banyak hal.
Kemajuan teknologi dan sistem komunikasi tidak saja membuat bisnis mampu mentransformasi diri dengan lebih baik, tetapi juga mempertahankan posisi asimetri informasi itu sendiri. Karenanya, dunia bisnis tetap punya posisi superior dibanding masyarakat, juga negara.
Tiga pilar kebijakan neoliberal (deregulasi, liberalisasi, privatisasi) adalah kerangka yang dikembangkan negara untuk mengintroduksi dunia usaha mengembangkan jaringan usahanya. Di lain pihak negara tidak berminat memikirkan masalah keamanan transaksi, perlindungan konsumen, dan proteksi terhadap kepentingan umum.
Pembukaan kembali New York Stock Exchange (NYSC), 17 september lalu, ditandai makin ketatnya transaksi keuangan. Sebagaimana diingatkan Jeffrey E Garten, era baru pasar finansial harus dimulai dalam membangun sistem transaksi keuangan yang lebih baik. Sejak akhir tahun 1990-an, krisis finansial global yang dimulai dengan rontoknya saham teknologi tinggi telah menuntut diberlakukannya regulasi yang lebih ketat dan punya standar etis lebih tinggi. (Business Week, 12/11/2001)
Regulasi, tanggung jawab publik, dan standar etis adalah hal yang mahal dalam perkembangan bisnis.
Lepasnya dunia bisnis dari dua poros lainnya, masyarakat dan negara, terjadi karena mulanya negara menopangnya, lalu masyarakat melegitimasinya. Penyebabnya adalah absennya pertimbangan etis, regulasi yang lemah dan keberadaan informasi yang asimetri.
Mengingat hal ini, tidak ada pilihan lain bagi masyarakat untuk menguatkan posisinya agar konspirasi negara dan bisnis tidak menjadi hal yang terlegitimasi. Momentum kelesuan ekonomi dan melambatnya siklus bisnis, meski itu bukan berarti musim gugur bagi dunia usaha, menjadi pertanda harus berakhirnya sistem bisnis yang totaliter.
Dan bagi gerakan prodemokrasi, realitas totaliter bukan semata entitas negara, tetapi juga dunia usaha.
* A Prasetyantoko, sedang belajar di Universiti des Sciences et Technologies de Lille (USTL), Perancis.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home