KOMPAS

Kliping artikel Opini KOMPAS, sejak 2001

Sunday, April 16, 2006

Misteri Skandal Perbankan

KOMPAS, Jumat, 05 Desember 2003

SELAIN berisi gosip seputar selebriti dan acara berbau misteri, dunia televisi kita juga sarat berita kriminalitas. Sebut acara Buser, Patroli, Investigasi, Sidik Jari, dan sejenisnya yang semuanya menunjukkan betapa kejahatan yang diiringi kekerasan sudah menjadi keseharian. Sebagaimana kriminalitas telah terjadi di jalanan, kejahatan yang dilakukan orang-orang berdasi (white collar crime) juga kian menggejala akhir-akhir ini.

Sederet skandal perbankan adalah buktinya. Belum juga kasus bombastis BNI yang melibatkan dana Rp 1,7 triliun selesai ditelisik, mencuat kasus baru di BRI yang melibatkan Rp 294 miliar (Kompas Cyber Media, 03/12/). Bahkan pembobolan BNI bukan yang pertama. Sebelumnya BNI sempat didera skandal Rp 200 miliar. Bank Mandiri sebagai bank terbesar di Indonesia juga pernah terancam menderita kerugian akibat transaksi ilegal negotiable certificate deposit (NCD) Rp 50 miliar. Juga Bank Lippo cabang Kudus kebobolan Rp 1,5 miliar.

Skandal BNI dan BRI akan meninggalkan jejak yang menodai reputasi bank pemerintah papan atas. Dalam hal penguasaan aset, BNI menempati posisi kedua di bawah Bank Mandiri (total aset Rp 250 triliun), dengan total aset sebesar Rp 125 triliun. Sementara BRI di posisi keempat dengan total aset Rp 86 triliun.

Dalam hal Kredit Usaha Kecil dan Menengah (UKM), kedua bank ini adalah andalannya. Bahkan, saat BNI sudah babak belur didera skandal sekalipun, Bank Indonesia masih memercayainya sebagai penyalur Kredit UKM bersama BRI.

Menurut sumber dari kalangan auditor independen, terbongkarnya beberapa skandal hanyalah puncak dari gunung es. Artinya, masih akan ada banyak kasus serupa yang terungkap. Dengan penuh waswas, kita sedang menanti babak berikut dari skandal perbankan. Jika skandal mendorong munculnya krisis perbankan jilid kedua (reload), ini tentu berbeda dengan kisah sukses film Matrix Revolution, lanjutan edisi sebelumnya.

Kejahatan kerah putih

Di Amerika Serikat (AS)-seperti dilaporkan ACFE (Association of Certified Fraud Examines)-kerugian yang diakibatkan kejahatan kerah putih sebesar 200-600 juta dollar AS setiap tahun. Bandingkan dengan tingkat kerugian yang diciptakan berbagai praktik kejahatan di jalanan sepanjang tahun, yang hanya mencapai 3–4 juta dollar AS. Menurut laporan Bureau of Justice Statistic AS, kerugian total akibat berbagai praktik kriminalitas di seluruh negeri sepanjang satu tahun hanya 15,6 juta dollar AS.

Kejahatan kerah putih jauh lebih banyak mengeruk kerugian daripada total kejahatan di jalan. Para pelakunya pun masih banyak yang terus berdasi dan berdandan rapi, tanpa menanggung akibatnya. Inilah ironi luar biasa yang sedang terjadi di tengah-tengah kita.

Survei terhadap unit-unit perusahaan menemukan, dampak kejahatan kerah putih terhadap setiap unit korporasi besarnya kira-kira setara dengan 1-6 persen dari tingkat penjualan per tahun (annual sales). Sebuah angka yang fantastis. Sementara studi lain menemukan, sebesar 30 persen kegagalan bisnis baru disebabkan inefisiensi karena perilaku kejahatan kerah putih.

Secara sederhana dapat disimpulkan, kejahatan kerah putih secara sistematis telah menggerogoti daya saing, baik pada level korporasi, struktur industri, maupun makro ekonomi. Rupanya, antara praktik korupsi, daya saing ekonomi, dan kejahatan kerah putih terjadi hubungan searah (linear). Praktik korupsi yang merajalela salah satunya ditunjukkan dengan banyaknya praktik kejahatan kerah putih. Sementara korupsi mengakibatkan penurunan daya saing ekonomi.

"Operational governance"

Jika pembicaraan diarahkan pada level paling sempit, yaitu level korporasi, kita sedang menghadapi persoalan besar mengenai tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance/GCG). Selama ini, pembicaraan tentang GCG masih berhenti pada level besar, yaitu pada level Corporate Governance. Padahal, inti masalah sebenarnya justru meletak pada hal-hal lebih teknis dan mikro (Operational Governance). Jika Corporate Governance (CG) menaruh perhatian pada hubungan antara pemegang saham, dewan pengawas, dan eksekutif, Operational Governance (OG) menekankan kontrol pada praktik manajerialnya.

Perdebatan CG yang mendapat inspirasi dari teori Agensi (agency theory), masih ada pada level makro, sementara hal-hal yang berhubungan dengan praktik keseharian manajerial diserahkan begitu saja pada otoritas manajemen (executives). Demikian juga dengan studi soal kejahatan kerah putih, masih dikaitkan faktor-faktor makro itu, seperti struktur kepemilikan saham, sistem penggajian CEO, atau peran dewan pengawas. Salah satu studi pernah dilakukan terhadap 78 perusahaan publik dalam periode 1984-1990 di AS. Kesimpulannya, kejahatan kerah putih akan kian berkurang jika pembagian saham kepada karyawan kian besar (Alexander & Cohen, 1999).

Selain dipengaruhi faktor-faktor makro itu, kejahatan kerah putih juga amat ditentukan oleh aneka perangkat mikro yang diciptakan dalam kontrol manajerial (managerial control). Solusi ini ditawarkan mengingat adanya sebuah asumsi tertentu tentang perilaku karyawan. Beberapa studi menyimpulkan, dalam sebuah organisasi korporasi, umumnya, 30 persen karyawannya memiliki rencana/keinginan untuk (willing to) melakukan tindak kejahatan terhadap perusahaan dalam berbagai bentuk. Sebanyak 30 persen lain sesekali tergoda melakukannya. Dan hanya 40 persen yang tegas menolak melakukannya.

Dalam komposisi ini, paling kurang, ada 30 persen dari total karyawan yang masih bisa dipengaruhi agar tidak melakukan kejahatan terhadap perusahaan (kelompok yang sesekali tergoda melakukan kejahatan). Untuk itu, dibutuhkan seperangkat kontrol yang di sisi lain tidak membuat seluruh sistem terpenjara. Kontrol terhadap perilaku karyawan paling kurang muncul dalam dua hal besar, yaitu sistem akuntansi (accounting system) dan paket kebijakan dan prosedur (policies & procedures) perusahaan.

Korporasi adalah entitas yang rumit karena selain menyimpan mekanisme teknis dan prosedural, juga dipenuhi aktor yang pada dasarnya bebas memainkan perannya. Dalam sebuah lingkungan yang dipenuhi tindakan kriminal, korporasi juga bisa menjadi bagian tak terpisahkan.

Menghadapi masalah kejahatan kerah putih di dunia perbankan, paling kurang ada tiga level ruang lingkup masalah. Yaitu, prosedur teknis dalam organisasi perusahaan. Berikutnya, lingkup pengambil kebijakan bisnis (business policy) yang menyangkut keputusan-keputusan politis di tingkat korporasi. Misalnya, apakah perusahaan akan bertahan atau meninggalkan investasi dalam situasi transisi sosial, ekonomi dan politik. Level paling atas adalah konspirasi di tingkat makro (ekonomi-politik).

Kadang, kontrol yang dilakukan pengambil kebijakan tingkat korporasi tidak cukup untuk menghentikan terjadinya skandal, apalagi hanya lewat kontrol prosedural teknis. Pada gilirannya, skandal keuangan lebih menyangkut perkara politik tingkat tinggi yang melibatkan pemain-pemain kelas kakap yang sulit ditunjuk batang hidungnya. Semuanya gelap karena tiap indikasi ditepis dengan kemampuan berkelit yang luar biasa.

Jangan-jangan sederet skandal perbankan ini akan ditutup dengan kesimpulan sumir dan tidak jelas, persis seperti kisah misteri yang sedang digandrungi di layar TV kita. Sulit dipercaya, tetapi ada. Dan menelusuri kejahatan kerah putih akan menyerupai pencarian alam gaib.


A Prasetyantoko Staf Pengajar Universitas Atma Jaya, Jakarta

0 Comments:

Post a Comment

<< Home