KOMPAS

Kliping artikel Opini KOMPAS, sejak 2001

Sunday, April 16, 2006

Menanti Bergeraknya Bisnis

KOMPAS, Senin, 25 Agustus 2003

BISNIS amat diharapkan menjadi pemicu pergerakan ekonomi di masa depan. Begitulah salah satu implikasi Nota Keuangan dan RAPBN 2004 yang dibacakan Presiden Megawati Soekarnoputri beberapa waktu lalu. Sayang, dunia bisnis justru kian terbenam dalam kubangan risiko yang makin sulit dihindari.

Daya saing negeri kita kian hari kian menurun, sementara dalam hal terorisme, negeri kita masuk risiko utama (prime-risk) di ranking ke-7. Sementara itu, dari sisi anggaran terjadi tekanan berat akibat rencana pemerintah keluar dari program IMF. Secara teknis, kita harus membayar utang Rp 44,891 triliun (2,2 persen dari PDB). Meski kita juga memperoleh keuntungan dengan adanya pengurangan beban bunga atas utang yang telah dilunasi itu, sebesar Rp 13,4 triliun.

Kenyataan ini menjadi trade-off yang harus diterima. Akibat tekanan anggaran, pemerintah tak sanggup memberi stimulasi kepada dunia usaha. Bisnis harus bergerak sendiri. Apalagi, dengan menipisnya sumber anggaran dari luar negeri, bisnis harus mampu mendorong pendapatan pemerintah dengan mendongkrak pemasukan anggaran.

Peluang dan risiko

Dalam sebuah wawancara mendalam yang saya lakukan tahun lalu dengan salah seorang direktur eksekutif BNP Paribas di Jakarta, terungkap pernyataan ini, "Pada dasarnya, kami tidak berpikir untuk mengembangkan bisnis di Indonesia, karena faktor risiko yang penuh dengan ketidakpastian. Meski demikian, kami tidak bermaksud meninggalkannya, karena ternyata masih tetap menarik dalam jangka panjang".

Satu tahun lalu, narasi ini menggambarkan kondisi lingkungan bisnis kita yang stagnan, sulit dikembangkan tetapi sayang ditinggalkan. Sementara di pihak lain, bisnis adalah persoalan melihat serta memanfaatkan setiap peluang yang ada, guna mendatangkan keuntungan.

Dalam kasus BNP Paribas yang semula bergerak di bidang kredit korporasi, krisis telah membuat mereka mengalihkan bisnis intinya (core-business) ke bidang asuransi. Tingginya tingkat ketidakpastian akan menciptakan kebutuhan di bidang asuransi. Strategi baru ini telah membuat para petinggi Bank di kantor pusatnya di Paris memutuskan untuk mempertahankan investasinya di Indonesia.

Bagi sementara kalangan pelaku usaha, lingkungan bisnis Indonesia adalah sesuatu yang menantang, karena meski risikonya tinggi (high risk) tetapi potensi keuntungannya juga besar (high return). Mereka sering menggambarkan bisnis di Indonesia sebagai perlombaan lari maraton, bukan pertandingan lari jarak pendek (sprint). Siapa yang napasnya panjang akan memenangkan pertandingan.

Semakin pulihnya lingkungan ekonomi makro (macro-environment) akhir-akhir ini memberi harapan positif bagi dunia usaha. Namun, tetap saja ada agenda masalah yang harus segera ditindaklanjuti, yaitu mengupayakan agar lingkungan mikro ekonomi (micro-environment) bisa kian mantap sehingga siklus bisnis (business cycle) bisa bergerak kembali.

Agar keberlanjutan (sustainability) pemulihan ekonomi bisa terjadi, hubungan antara lingkungan makro dan mikro (macro-micro linkages) harus menjadi sebuah jaringan yang kokoh dalam wujud fundamental ekonomi. Sekarang ini adalah momentum paling tepat untuk melanjutkan perhatian kita bukan saja pada stabilitas ekonomi makro, tetapi juga ekonomi mikro yang akan menentukan kuat tidaknya struktur industri dan lingkungan bisnis kita dalam jangka panjang.

Sejak setahun ini, prospek pemulihan makro ekonomi mengarah pada jalur yang diharapkan, meski masih tetap belum begitu memuaskan. Stabilitas makro itu tercermin pula dalam RAPBN 2004. Ekspektasi pertumbuhan ekonomi 4,5 persen adalah angka moderat. Sementara inflasi ditargetkan tujuh persen, dan nilai tukar dipatok pada level Rp 8.500 per dollar AS. Berita bagus yang mendinginkan ekonomi makro juga ditunjukkan dengan kian menurunnya Suku Bunga Bank Indonesia (SBI) di bawah sembilan persen.

Dalam kondisi lingkungan makro yang relatif stabil seperti ini, seharusnya sektor riil bisa segera menggerakkan siklusnya kembali. Namun, harapan ini tidak begitu saja bisa terwujud. Meski ekonomi makro sudah menunjukkan tanda-tanda perbaikan, sektor mikro ternyata tidak serta-merta mampu bergerak sesuai harapan. Salah satu indikasinya, kurang berfungsinya perbankan sebagai lembaga perantara (intermediary) antara tabungan dan investasi.

Meski SBI sudah turun mengarah pada level sembilan persen, tetapi bunga kredit pada sektor riil masih di atas 15 persen. Sementara, kredit konsumsi masih tetap menjadi andalan perbankan dalam menyalurkan kreditnya. Padahal, konsumsi tidak akan mendorong pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Perekonomian yang digerakkan oleh konsumsi, pertumbuhannya akan bersifat sementara. Karena bagaimanapun daya beli masyarakat akan menurun jika tidak dibarengi pengembangan investasi.

Sektor riil sedang mengalami kemandegan berlarut-larut. Hal itu dapat dilihat dari komitmen kredit bank yang belum diwujudkan dunia usaha. Sedikitnya Rp 42 triliun komitmen kredit dari 10 bank rekap tidak dimanfaatkan oleh dunia usaha sampai Desember 2002. Dengan demikian, dana itu menjadi kapasitas menganggur (idle capacity) yang tidak memberi nilai tambah (added-value), bagi dunia usaha sektor riil maupun perbankan.

Dunia usaha mengeluh karena tingginya bunga kredit yang membuat mereka enggan mengajukan pinjaman. Masalahnya ada pada dua sisi saling berhubungan. Di satu sisi, risiko yang tinggi pada sektor riil membuat dunia perbankan enggan menurunkan kreditnya, apalagi setelah trauma kredit macet di masa lalu. Sisi lain, tidak efisiennya operasional bank membuat mereka tidak kompetitif dalam menyalurkan kredit pada dunia usaha.

Agenda mikro

Secara sederhana, agenda terpenting bagi pemulihan ekonomi kita ke depan ada pada sektor mikro. Seandainya sektor riil tidak segera menggerakkan siklus bisnisnya secara progresif, pertumbuhan ekonomi dan pendapatan nasional akan melambat. Salah satu cara untuk menopang keberlanjutan pemulihan ekonomi makro yang sudah mulai terlihat adalah menindaklanjutinya dengan reformasi struktural di sektor riil.

Michael Porter, profesor strategi dari Harvard University menyatakan, stabilitas fiskal, moneter, dan perekonomian serta kuatnya kelembagaan sosial politik umumnya adalah sesuatu yang dibutuhkan (necessary) tetapi sama sekali tidak mencukupi (sufficient). Tanpa ada landasan ekonomi mikro, pertumbuhan, stabilitas ekonomi, dan kemakmuran akan terjadi dengan semu belaka.

Dari survei yang dilakukan Porter dkk., tahun 2002 ini Indonesia hanya menempati ranking ke-64 dalam indeks kompetisi (the current competitiveness index). Sementara di tahun 2001 menempati urutan ke-55 dan di tahun 2000 ada di posisi ke-47. Kriteria untuk menentukan peringkat ditentukan dengan model microeconomic business environment yang terdiri dari faktor input (input conditions), konteks strategi dan persaingan dunia usaha (context for firm strategy and rivalry), permintaan (demand conditions), serta industri pendukung (related and supporting industries).

Dengan demikian, jika pemerintah dan dunia usaha serius mengupayakan terciptanya landasan mikro yang kuat bagi pertumbuhan dan kemakmuran yang berkelanjutan, diperlukan usaha untuk mendorong kompetisi yang sehat di sektor mikro (riil). Keempat pilar itu sebenarnya mengandaikan terciptanya iklim bisnis yang kondusif bagi aktivitas bisnis yang fair dan efisien.

Pekerjaan ini tidak menjadi tanggung jawab bagian per-bagian, orang per-orang atau departemen per-departemen, tetapi seluruh elemen yang ada sehingga membangun sebuah jaringan yang saling mengait satu sama lain.

A Prasetyantoko Pengajar Strategic Management di Atma Jaya–Jakarta; staf pada CFPS (Center for Financial Policy Studies)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home