KOMPAS

Kliping artikel Opini KOMPAS, sejak 2001

Sunday, April 16, 2006

Institusi Ekonomi Pasca-IMF

KOMPAS, Selasa, 27 Mei 2003

TERHADAP penguatan rupiah yang terus terjadi belakangan ini, sederet argumen teoretis tak selalu manjur menjelaskannya. Bagaimanapun, sentimen yang bersifat emosional adalah bara yang juga turut menggerakkan gerak laju ekonomi.

Beberapa saat lalu, muncul perdebatan tentang strategi keluar (exit strategy) dari program IMF. Meski hampir ada kata sepakat untuk segera keluar, tetapi masih saja ada pendapat yang cenderung ingin mempertahankannya. Mengapa? Karena keberadaannya amat dibutuhkan untuk meningkatkan sentimen positif bagi para investor dan pelaku bisnis.

Pendapat itu berasumsi, eksistensi IMF identik kepercayaan. Sedangkan kepercayaan adalah roh seluruh gerak modal. Jika IMF bertahan, kepercayaan akan kuat, dan kepercayaan yang kuat akan menyedot modal. Dengan demikian, akan ada proses pengembangan (akumulasi) kapital. Begitulah logikanya. Tak salah memang, meski tak sepenuhnya benar. Apakah jika tidak ada IMF, serta merta kepercayaan akan hilang? Jawabannya bisa ya, bisa tidak. Tergantung faktor-faktor lain karena dalam hal ini tidak berlaku hukum ceteris paribus (menganggap hal-hal lain tidak berubah).

Keyakinan (credo), IMF identik kepercayaan, sama naifnya dengan anggapan bahwa perginya IMF akan membuat perekonomian kita bangkit dari krisis. Pada dasarnya, ada atau tidaknya IMF di Indonesia adalah sesuatu yang lain dengan membaik atau memburuknya perekonomian kita. Memang IMF adalah faktor yang signifikan, tetapi bukan berarti satu-satunya alasan.

Selain masalah sentimen, pada dasarnya ekonomi tak lain adalah sebuah bangunan institusional. Jadi masalah utama yang sebenarnya bukanlah semata-mata mengusir atau mempertahankan IMF demi sentimen positif, tetapi yang lebih penting adalah memikirkan institusi ekonomi setelah kepergian IMF itu sendiri.

Pendekatan institusional

Tulisan ini tidak berpretensi membahas persoalan IMF dari sudut pandang ekonomi makro-apalagi politik-tetapi dari pendekatan organisasi. Dari sudut pandang ini, pertanyaan yang layak diajukan adalah, masih punya legitimasikah IMF di negeri kita?

Salah satu sumbangan penting dari para ekonom vokal yang menyusun strategi "Indonesia Bangkit" (pemulihan ekonomi tanpa IMF) adalah keberaniannya mendobrak sebuah cara pandang yang sudah sekian lama melekat di benak hampir semua orang, bahwa tanpa IMF kita akan mati. Menurut mereka, justru tanpa IMF kita akan menjadi lebih baik. Benar atau salah kesimpulan ini, tergantung menurut siapa logika ini diterjemahkan.

Dengan kata lain, legitimasi IMF di Indonesia tidak semata-mata ditentukan oleh perhitungan teknis-ekonomis, tetapi juga alasan cara pandang (paradigma). Dan posisi paradigmatik inilah yang akan membedakan kalkulasi perhitungan teknis. Terhadap fakta yang sama, kesimpulannya bisa bertolak belakang. Dan semuanya sama-sama benar.

Dalam bahasa yang berbau postmodernis, realitas tidak semata-mata ditentukan oleh dirinya sendiri, tetapi oleh sebuah wacana yang memberi interpretasi atas realitas yang terjadi.

Sistem interpretasi memainkan peran penting dalam membangun realitas. Sayangnya, seperti dikatakan Herbert A Simon, rasionalitas seseorang cenderung terbatasi sesuatu di luar dirinya (bounded rationality).

Dari perspektif organisasi ini, dapat dipahami, IMF sering diperlukan bukan karena secara riil kehadirannya memang membantu, tetapi karena seluruh cara pandang dan kesadaran kita telanjur meyakini IMF harus ada (dalam wacana), tak peduli realitasnya seperti apa.

Para penganut teori institusional meyakini, sebuah organisasi hanya akan bertahan jika ia mendapat legitimasi, dukungan sosial, dan persetujuan dari lingkungan eksternalnya (Meyer and Rowan, 1977; DiMaggio and Powell, 1983).

Dalam hal ini, prasyarat pentingnya adalah kesesuaian (conformity) organisasi terhadap ekspektasi dan norma sosial di sekelilingnya. Selain itu, harus ada alasan-alasan rasional yang tetap perlu dikemukakan agar publik percaya akan kehadirannya.

Tampaknya legitimasi IMF sedang menderita kekeringan luar biasa. Tidak hanya dalam konteks domestik negara kita saja, tetapi juga dalam komunitas internasional. Dunia mulai mempertanyakan legitimasi IMF selain Bank Dunia sebagai dua pilar perekonomian dunia.

Realitas ekonomi

Bagi para ekonom yang mendukung IMF tetap tinggal, salah satu argumen rasionalnya adalah sebagai berikut, dana segar dari IMF akan memperkuat neraca pembayaran (balance of payment) pada pos cadangan devisa. Dana itu tidak masuk APBN yang bisa digunakan untuk kegiatan rutin pembangunan, tetapi kehadirannya amat diperlukan untuk menjaga stabilitas rupiah.

Jika stabilitas rupiah terjadi, peredaran uang bisa dikontrol dan inflasi bisa dikendalikan. Dengan begitu suku bunga bisa diturunkan akibatnya sektor riil segera bisa bergerak kembali. Harapannya, ekonomi pun segera pulih kembali.

Menurut logika ini, IMF diperlukan kehadirannya karena akan memperkokoh posisi neraca pembayaran sekaligus kepercayaan negeri kita sehingga proses pemulihan ekonomi bisa berjalan baik. Benarkah?

Logika ini segera dipatahkan dengan argumen, stabilitas rupiah akan lebih ditentukan stabilitas politik dan faktor global lainnya. Sektor riil akan lebih digerakkan investasi asing yang hanya akan datang jika ada iklim yang mendukung.

Buktinya, kini, meski gugatan untuk keluar dari IMF tetap kuat-bahkan terjadi perang Aceh-rupiah tetap perkasa. Jadi lebih baik membiarkan IMF pergi dengan memperkuat institusi ekonomi dan politik kita, atau tetap mempertahankan IMF, tetapi institusi ekonomi dan politik dibiarkan carut-marut?

Pilihan paling buruk adalah kemungkinan ketiga, yaitu IMF dibiarkan pergi, sementara institusi ekonomi dan politik merayakan panen politik uang (money politics) menyongsong Pemilu 2004.

Tampaknya, kemungkinan inilah yang akan terjadi. Pemilu 2004 sudah di ambang pintu, dan amat rasional jika semua partai berlomba mengumpulkan uang demi satu kepentingan, perebutan kekuasaan. Tak peduli berapa biaya ekonomi yang harus dikeluarkan.

Jika mau ditegaskan kembali, sederetan persoalan yang berbelit-belit itu muaranya tetap pada satu hal, perebutan kekuasaan (power struggle). Dan inilah harga yang harus dibayar oleh sebuah sistem demokrasi yang belum matang.

Kesimpulan ini juga dibuat lembaga pemeringkat Standard & Poor’s (Kompas, 13/5/2003) beberapa waktu lalu. Dengan demikian, konsensus yang bersifat politik menjadi jauh lebih penting ketimbang urusan sederhana mengenai dilanjutkan- tidaknya kontrak dengan IMF.

Membangun institusi ekonomi yang didukung institusi politik adalah bagian dari usaha untuk membuat negeri ini mampu bertahan. Dengan begitu, investasi akan masuk, sektor riil akan bergerak, pendapatan akan meningkat, pengangguran akan terserap, dan kepercayaan akan segera pulih. Dengan kepercayaan, rupiah akan menguat, inflasi terkendali, dan pertumbuhan ekonomi akan terpelihara.

Demikian rumusan rasional atas siklus ekonomi makro yang selalu menjadi pusat perdebatan. Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap perhitungan teknis-rasional itu, persoalan cara pandang adalah bagian lain yang perlu mendapat perhatian.


A Prasetyantoko Pengamat Bisnis, dosen Strategi & Organisasi

0 Comments:

Post a Comment

<< Home