KOMPAS

Kliping artikel Opini KOMPAS, sejak 2001

Sunday, April 16, 2006

Konspirasi Bisnis Melawan Teroris

KOMPAS, Senin, 11 Agustus 2003

MELEDAKNYA bom di Hotel JW Marriott, Jakarta, tak mampu melumpuhkan bisnis di Indonesia. Kemampuan belajar (learning capacity) perekonomian kita cukup teruji pada kasus bom Bali yang dampaknya jauh lebih besar. Jika menghadapi bom Bali saja pemulihan cepat terjadi, apalagi sekarang yang skalanya relatif lebih kecil. Benarkah kesimpulan ini? Dari potret makro, tampaknya begitu. Akan tetapi, secara mikro, persoalannya jauh lebih rumit.

Dibandingkan dengan kasus bom Bali, pengaruh peristiwa Marriott relatif lebih moderat. Bom Bali mengakibatkan penurunan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sebesar 38,991 poin (10,36 persen), bom Marriott hanya 15,413 poin 3,058 persen). Demikian juga dampaknya terhadap nilai tukar. Bom Marriott sempat menurunkan nilai tukar rupiah di pasar spot antarbank 125 poin, sedangkan bom Bali waktu itu merosotkan nilai rupiah hingga 320 poin (Kompas, 10/8/2003).

Melihat data kasatmata ini, para pejabat segera menarik kesimpulan, perekonomian Indonesia sudah mulai resisten terhadap persoalan politik dan sosial. Telah terjadi pemisahan antara persoalan ekonomi dan persoalan sosial-politik. Jadi, andaikata bom akan meledak lagi, business must go on! Optimisme para birokrat dan analis pasar ini identik dengan pengakuan seorang turis Australia, "Kita tidak tahu bom akan meledak di mana lagi, mungkin di tempat yang kita anggap paling aman. Jadi, mengapa mesti takut datang ke Bali? Toh, bom tetap bisa meledak di mana pun!"

Sederhananya, bisnis tak akan pernah pergi seberapa pun risiko yang harus di dihadapi, semasa kemungkinan untuk mendapatkan laba masih tetap tersedia. Justru estimasi perolehan laba akan semakin besar apabila risikonya besar. Inilah prinsip dasar dalam teori investasi.

Konspirasi bisnis

Asumsi tulisan ini adalah apabila teroris selalu dianggap sebagai jaringan konspirasi, perilaku yang sama juga terjadi pada jaringan bisnis. Bisnis bisa berperilaku amat konspiratif. Jika ditanya mana yang lebih dahulu, konspirasi bisnis atau teroris, jawabannya pasti sulit. Pada dasarnya, keduanya telah sama-sama ada serta sama tuanya dengan umur peradaban manusia itu sendiri. Mungkin kita akan tergoda untuk membuat asumsi, "konspirasi teroris" adalah bagian dari respons atas "konspirasi bisnis".

Paralel dengan peristiwa 11 September di Amerika Serikat (AS) beberapa waktu lalu, hampir seluruh pemberitaan tentang teroris identik dengan cerita komik anak-anak yang berkisah tentang pertempuran antara "si jahat" dan "si baik". Di akhir cerita, Sang Pahlawan akan selalu membawa kemenangan gemilang.

Dalam komik tragedi 11 september di AS, cerita utamanya adalah pertempuran antara tokoh besar Bush (AS) dan Bin Laden (Al Qaeda). Sementara dalam peristiwa Bali dan Marriott, kita tergoda membuat penokohan yang sama, yaitu Jemaah Islamiyah (franchise Al Qaeda di Indonesia) melawan kepentingan AS. Pola ini terlegitimasi dengan tawaran Bush kepada Presiden Megawati untuk membantu memerangi teroris di Indonesia.

Tulisan ini sama sekali tidak bermaksud membela jaringan teroris dan mengutuk konspirasi bisnis. Tetapi juga tidak serta-merta sebaliknya lewat kausalitas sederhana dengan menggunakan logika supersederhana (naif) "si jahat" dan "si baik". Memang apa pun alasannya, tindakan teroris tidak termaafkan, tetapi menangkap para pelaku dan mengadilinya hanyalah salah satu bagian penyelesaian saja. Hal yang lebih mendasar adalah mencari akar masalah yang membuat teroris berkembang biak.

John DeBoer, konsultan Kementerian Pertanian Indonesia dari Belanda, mengatakan, bom di Marriott hanyalah simptom dari persoalan rumit (symptomatic of the problem) yang harus dihadapi pemerintah dan bangsa Indonesia (Businessweek, 18-25/8/2003).

Peristiwa itu telah menimbulkan kerugian jangka pendek yang signifikan, misalnya penurunan IHSG sekitar tiga persen dan kontraksi nilai tukar rupiah sebesar dua persen. Sementara dampak menengah-panjang akan menimpa nilai investasi asing yang diperkirakan akan merosot tajam.

Situasi pasar yang murung ini akan berdampak terhadap beberapa kebijakan pemerintah, seperti target penjualan saham-saham BUMN dan rencana divestasi aset BPPN. Risiko pasar ini akan dijadikan alasan bagi partner strategis asing untuk membeli aset-aset kita dengan harga supermurah. Begitu juga para pelaku bisnis dan investor asing akan punya alasan untuk meminta berbagai fasilitas yang menguntungkan mereka, dan mau tidak mau kita menuruti permintaan mereka. Pendek kata, daya tawar (bargaining power) kita merosot seiring dengan guncangan pasar yang diakibatkan aksi para teroris.

Skenario

Berkaitan dengan peledakan bom di JW Marriott, majalah Far Eastern Economic Review (FEER, 14/8/2003) mengambil sudut pemberitaan menarik dengan memberi judul "Time to Get Tough". Seakan mau dikatakan, aksi terorisme bisa ditafsirkan sebagai "pesan moral" terhadap dominasi Barat yang telah menimbulkan berbagai dampak ketimpangan sosial.

Jika orang Jepang identik dengan Hotel Nikko, JW Marriott identik dengan orang AS. Dan di tempat inilah deal-deal bisnis berlangsung, baik dilakukan para pelaku bisnis maupun para politisi Barat. Setelah Bali dan Marriott, target berikutnya adalah simbol-simbol Barat yang tampak di mal perbelanjaan, restoran, dan tempat- tempat berkumpul orang-orang kaya. Ada pertanyaan menarik yang patut direnungkan, mengapa terorisme relatif subur di Indonesia dan bukan di negara lain. Mungkin kita tergoda untuk mengaitkannya dengan data-data berikut.

Tahun ini, PT Citra Langgeng Otomotif (agen Ferrari di Jakarta) menargetkan penjualan mobil Ferrari 10 unit dan 4 Maseratis. Ferrari menerapkan sistem jatah 10 unit per tahun dari total produksi 4.000 unit per tahun untuk seluruh dunia. Jangankan 10, 20 unit saja jika tersedia, pasti akan ludes dibeli orang, begitu pemilik agen Ferrari di Indonesia memperkirakan. Sementara itu, berderet merek mobil mewah lain, seperti Jaguar, Lamborghini, Bentleys, Mercedes, dan BWM terus mengalir deras ke pasar domestik.

Demikian juga dengan hunian-hunian supermewah dengan harga antara satu juta dollar AS hingga dua juta dollar AS dan tetap laku terjual. Apartemen mewah itu, 40 persen di antaranya dibeli sebagai tempat hunian kedua, sementara 60 persen lain digunakan sebagai investasi (FEER, 14/8/2003). Belum lagi rencana pembangunan kompleks hotel, apartemen Ritz-Carlton dan kawasan belanja superelite persis di sebelah JW Marriott yang diperkirakan selesai dibangun tahun 2004. Menurut pengelolanya, lebih dari 80 persen dari apartemen yang sedang dibangun sudah habis dipesan. Sementara itu, Apartemen DaVinci di ruas Jalan Jenderal Sudirman juga akan segera diselesaikan pembangunannya.

Hubungan antara data ketimpangan dan gerakan teroris merupakan kesimpulan karikatural. Meski demikian, harus disadari bagaimana pun konspirasi bisnis telah memasuki fase ketidakpastian yang amat tinggi (high uncertainties), tidak saja di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia.

Jadi, menghindari masalah di satu tempat dan pergi ke tempat lain tidak lebih hanya akan memperluas persoalan. Sudah saatnya dunia bisnis mengembangkan perencanaan multidisiplin yang melibatkan strategi bersifat skenario (scenario planning) yang membuka kemungkinan terjadinya partisipasi untuk membangun masyarakat, bukan selalu menghindarinya dengan berperilaku oportunis.

Itulah sebabnya, corporate social responsibility (CSR) menjadi dagangan laris bagi korporasi bisnis. Semoga kebijakan ini bukan hanya gincu belaka!


A Prasetyantoko Pengajar Strategic Management & Business Policy, Universitas Atma Jaya, Jakarta

0 Comments:

Post a Comment

<< Home