KOMPAS

Kliping artikel Opini KOMPAS, sejak 2001

Sunday, April 16, 2006

Dari Strategi Menuju Konspirasi

KOMPAS, Selasa, 15 April 2003

BELUM juga korban perang usai dikebumikan, para penangguk untung sudah berancang-ancang menggali laba dari proyek jutaan dollar AS guna merekonstruksi Irak pascaperang. Tampaknya, isu ini akan menjadi salah satu perdebatan penting berikutnya.

Sebelum perang digelar, Pemerintah Perancis amat aktif mengusahakan agar perang jangan sampai terjadi. Kini, TotalFinaElf salah satu perusahaan raksasa Perancis justru amat antusias untuk ikut berperan dalam proyek pemulihan itu.

Menurut laporan UNDP (United Nations Development Program), proyek pemulihan Irak akan membutuhkan dana lebih dari 30 miliar dollar AS. Proyek itu terutama menyangkut pemulihan kilang-kilang minyak yang dibakar tentara Irak, selain merehabilitasi berbagai fasilitas publik yang rusak karena perang.

Begitu kemenangan di depan mata, para politikus segera sibuk membicarakan siapa yang akan bertanggung jawab dalam masa transisi setelah Irak berhasil dikuasai. Pihak Amerika Serikat (AS) tentu menginginkan dirinya menjadi penguasa di masa transisi itu. Sementara Perancis dan Rusia mendorong agar PBB yang bertanggung jawab. Persoalannya tidak berhenti di situ. Realitas tentang siapa yang akan menduduki Irak di masa transisi akan mengandung implikasi pada perusahaan-perusahaan swasta mana yang berhak mendapat proyek jutaan dollar AS itu.

Yang lebih penting, proyek rekonstruksi itu hanya pintu masuk yang akan membuka pintu gerbang investasi yang menggelontor ke kawasan Irak dan Timur Tengah di masa datang.

Strategi

Sekian lama, para ahli strategi dan organisasi memperdebatkan, siapa sebenarnya yang harus bertanggung jawab merancang strategi perusahaan. Semula, tugas ini dibebankan kepada para manajer keuangan. Alasannya, bisnis di masa depan adalah fungsi dari bisnis di masa lalu, jadi perencanaan adalah fungsi dari pengeluaran tahun lalu.

Namun, bisnis bukan fungsi masa lalu, sebaliknya, ia fungsi dari masa depan. Untuk itu, perangkat yang dimiliki para pengelola keuangan perusahaan jelas tidak mencukupi untuk memotret masa depan yang dilumuri ketidakpastian yang begitu tinggi. Laporan historis keuangan hanya akan membuat para pengelola perusahaan berpikir sempit (myopic).

Pendek kata, perumus strategi perusahaan tidak lagi hanya berbekal perangkat analisis yang sederhana dan konvensional. Selain perhitungan kuantitatif yang matang, tak jarang pendekatan kualitatif yang mengandalkan perasaan (sense) juga amat dibutuhkan. Inilah fase di mana lingkungan bisnis tingkat kerumitannya paling tinggi karena antara perubahan (change), kompleksitas persoalan (complexity), dan ketidakjelasan (ambiguity) terjadi secara bersamaan.

Di luar semua itu, faktor perebutan kekuasaan (power struggle) harus diakui kadang menjadi babak penting dalam perumusan strategi bisnis. Sayang, perangkat teknis manajerial lebih sering tidak menjangkau wilayah itu.

Seorang ahli strategi yang agak terpengaruh dengan paham semiotika pernah mengemukakan, strategi tak lain adalah permainan drama teatrikal. Selain sutradara, realitas juga ditentukan oleh para aktor dan penonton. Strategi adalah kisah yang mengalir dalam alur skenario yang amat terbuka. Para pemain dan penonton bukan partisipan pasif yang sekadar merealisasi skenario yang sudah ditulis sang sutradara. Mereka juga berhak menentukan isi alur cerita itu.

Henry Mintzberg, salah satu tokoh strategi dan organisasi kontemporer dari McGill University, Canada, pernah memberi ilustrasi menarik. Para ahli strategi adalah mirip orang-orang buta yang tengah mencoba menafsirkan seekor gajah. Ketika mereka memegang ekor, mereka akan berteriak, "Strategi adalah sesuatu yang lincah, kecil, dan selalu bergerak". Sementara ketika mereka menemukan kakinya, berujarlah mereka, "Strategi haruslah sesuatu yang kokoh, menopang badan yang besar dan statis".

Dengan memahami strategi adalah wilayah besar dan beragam, tak terlalu berlebihan bahwa strategi kadang mengait masalah konspirasi. Artinya, strategi adalah fungsi dari kepentingan pada tingkat lebih atas, yaitu pergeseran kekuasaan.

Fenomena belakangan ini bisa menjadi ilustrasi. Ketika Perancis menolak perang, rakyat AS marah dengan menamai kentang goreng ala Perancis sebagai Freedom fries, bukan French fries lagi. Demikian pula para demonstran di daratan Eropa mengolok-olok mobilisasi tentara gabungan hanya untuk mengamankan sumur-sumur minyak di Timur Tengah.

Kemarahan AS atas Perancis yang tidak mendukung agresi militer dibalas dengan tidak memberi kesempatan perusahaan Perancis berpartisipasi dalam proyek pemulihan Irak. Apa dampaknya? Harga saham perusahaan TotalFinaElf melorot drastis, sebesar 11 persen. Di antara harga saham perusahaan-perusahaan minyak dunia, seperti Shell, BP, Chevron, atau ExxonMobil, TotalFinaElf ada di papan bawah (Kompas, 1/4/2003).

Nilai korporasi telah ditentukan sikap politik pemerintahnya. Dan yang menarik, pasar telah digerakkan sentimen yang bersifat emosional, bukan rasional, apalagi hanya berbasis perhitungan fundamental dan teknikal belaka. Dengan begitu, pasar bukan lagi mekanisme natural yang beku dan hanya ditentukan oleh tangan yang tidak kelihatan (the invisible hand), tetapi digerakkan pula oleh denyut psikologi yang amat manusiawi.

Konspirasi

Fenomena konspiratif ini sebenarnya bukan hal baru. Konspirasi sama tuanya dengan usia bisnis itu sendiri. Di tahun 1970-an, saat McDonald sedang meniti karier cemerlang, tiba-tiba dihantam gosip bahwa mereka tak menggunakan daging yang sehat. Memang sempat terjadi kegusaran sesaat, tetapi kepercayaan segera bisa dipulihkan kembali. Konspirasi sering sengaja dimainkan guna menantang para pemain baru yang spektakuler.

Dalam bagi-bagi proyek pasca-invasi ke Irak, siapa yang mendapat jatah paling besar? Anak-anak perusahaan Halliburton Co. yang menurut beberapa sumber, perusahaan inilah yang telah menyetor puluhan ribu dollar AS dalam pemilihan presiden dan wakil presiden, Bush dan Cheney (Kompas, 1/4/2003).

Jika mau ditarik pada persoalan domestik, tidak terlalu sulit menemukan contoh bernada konspiratif. Sebelum seluruh kesadaran kita diarahkan pada realitas perang, di Tanah Air sedang terjadi beberapa masalah penting. Misalnya konflik Tommy Winata dan Tempo, atau PT Bank Lippo Tbk. Kedua soal ini lalu tenggelam karena kalah dengan isu lain yang lebih memiliki nilai jual bagi para pekerja pers. Tetapi, dengan cukup jelas, tetap bisa dibaca bentuk konspirasinya.

Karakter pasar yang konspiratif tidak selalu harus diartikan sebagai sesuatu yang negatif. Pada dirinya, pasar sering berperilaku konspiratif dalam arti tidak semata bersandar pada perhitungan fundamental ekonomi. Begitu ada optimisme bahwa pasukan gabungan akan segera menguasai Irak, investor kembali bergairah di bursa-bursa saham. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Jakarta melonjak 4,4 persen. Begitu juga perdagangan di bursa saham dunia, Wall Street, London, dan indeks Nikkei.

Bagi para pengambil kebijakan strategik, pasar bisa berkarakter konspiratif karena digerakkan oleh ikatan kepentingan praktis dan pragmatis. Ketika AS memutuskan untuk menyerang Irak, pasar sempat bergairah positif, tetapi begitu tentara gabungan mendapat banyak masalah pasar tertekan.

Juga saat kecanggihan teknologi perang AS yang diyakini bisa segera menyelesaikan perang, pasar kembali mengalami peningkatan (rebound).

Fluktuasi ini tidak hanya didasari perhitungan fundamental ekonomi, tetapi juga faktor persepsi, asumsi, dan ekspektasi. Bukan juga berarti, bursa bergerak dari rel ekonomi makro, tetapi bahwa faktor psikologi berperan amat menentukan. Konsekuensinya, para pengambil kebijakan bisnis tak bisa hanya memperhitungkan kekuatan strategi yang obyektif, rasional, dan empiris. Kadang sisi gelap konspiratif yang berbau kekuasaan adalah kunci dari seluruh gerak manajerial itu.


A Prasetyantoko Pengajar Strategic Management di Unika Atma Jaya Jakarta.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home