Menanti Fajar Baru
(KOMPAS, 31 Oktober 2001)
Kini, amat sulit membuat perkiraan tentang masa depan ekonomi dunia, khususnya setelah aksi militer AS atas Afganistan, menyusul serangan teroris terhadap Gedung World Trade Center (WTC) 11 September lalu. Krisis ekonomi di ambang pintu, tetapi untuk mengatakannya masih diliputi beribu keraguan.
Bayangan krisis itu tampak jelas setelah George W Bush mencanangkan "perang besar yang pertama di abad XXI" ini. Melawan terorisme. Sementara para politisi AS sibuk menyusun koalisi untuk melancarkan aksi militer, para pejabat di IMF dan Bank Dunia sibuk mengatasi "krisis besar yang pertama di abad XXI". Faktanya, kekuatan ekonomi berkumpul bersama kekuatan politik. Dan krisis ekonomi terjadi bersama dengan kemelut politik.
The Economist pernah menulis tajuk America`s world (October 1999), dan mengemukakan, sebagai bangsa, AS memiliki segalanya, dan sebagai kekuatan dia luar biasa. Dia mendominasi bisnis, perdagangan, komunikasi, dan militer. Dia bisa melakukan apa saja, terhadap siapa saja, tanpa harus mendapat izin dari siapa pun.
Kini kekuatan besar itu sedang di ambang krisis. Krisis yang akan meruntuhkan harapan bangsa-bangsa di dunia karena pengaruhnya yang besar. Inilah krisis besar pertama yang terjadi di era globalisasi.
Runtuhnya pasar
Pasar AS dan pasar dunia tengah diliputi kelesuan luar biasa. Meski Federal Reserve kembali menurunkan tingkat suku bunga untuk kedelapan kalinya di tahun ini, tingkat konsumsi AS tak juga beranjak naik. Tingkat suku bunga AS, kini sudah berada pada tingkat paling rendah sejak 40 tahun terakhir, yaitu sebesar 2,5 persen. Sementara IMF tetap memberi proyeksi tingkat pertumbuhan ekonomi yang rendah, 1,3 persen di tahun 2001 ini. Sementara pengangguran diperkirakan meningkat menjadi enam persen di akhir tahun ini.
Saat ini bangsa AS tengah mengundang bentuk "patriotisme baru" bagi masyarakatnya, dengan cara mengonsumsi barang dan jasa yang tersedia di pasar. "Sore ini saya mengajak istri saya makan malam di restoran, dengan tujuan menggugah minat masyarakat untuk melakukan hal yang sama," kata Presiden Bush dalam wawancara dengan wartawan. Konsumsi. Itulah kata kunci penting bagi perekonomian AS saat ini.
Sejak peristiwa 11 September lalu, kehidupan kota-kota besar di AS, khususnya New York dan Washington, seperti mati. Tidak ada lagi orang bermalam minggu di bar. Tidak ada lagi orang membeli mobil, menginap di hotel, dan sebagainya. Efek berantai berhentinya tingkat konsumsi ini membuat perekonomian AS mengalami kemandekan.
Parahnya, kemandekan ekonomi AS ini mempengaruhi dinamika ekonomi dunia. Yang amat jelas terkena dampaknya adalah sektor penerbangan. Hanya dalam beberapa hari, mereka ditimpa kerugian luar biasa, akibat berhentinya jalur penerbangan ke AS. Tak kurang Pemerintah Inggris secara resmi mengumumkan uluran tangan untuk membantu sektor penerbangan dari kebangkrutan massal.
Begitu pula dengan sektor industri. Legris Inc, sebuah perusahaan mekanik di Perancis, nilainya turun 57 persen di bursa saham. Sementara Alshtom mengalami kemerosotan 26,8 persen dan Vivendi Universal turun 11,99 persen. Bagi para pemetik untung dari bursa saham, sekarang ini adalah musim kering yang tidak menjanjikan apa-apa. Dan bagi para analis pasar, sekarang adalah masa yang jelas untuk mendefinisikan "krisis pasar", karena tingkat penurunan nilai saham sudah mencapai lebih dari 20 persen secara rata-rata.
Sebagaimana dikutip Le Monde, James D Wolfensohn (Presiden Bank Dunia) tengah membangun koalisi untuk mengatasi resesi dunia. Dia mengajak seluruh bangsa agar menaikkan tingkat konsumsi masyarakatnya dengan cara menurunkan tingkat suku bunga agar tercipta pertumbuhan ekonomi. Hal ini juga digarisbawahi dalam pertemuan para menteri keuangan negara G7 di Washington, 6 oktober lalu. Paul O'Neill sebagai juru bicara selain menyatakan sikap perang terhadap jaringan keuangan para teroris, juga mencoba meyakinkan pasar, krisis dunia tidak akan terjadi, dengan catatan masing-masing negara mengambil peran untuk menanggulanginya. Salah satunya adalah meningkatkan konsumsi.
Hadirnya negara
Banyak pengamat mengatakan, sekarang ini adalah saatnya untuk kembali menghadirkan negara dalam kancah ekonomi pasar. Pasar tidak lagi mampu menanggung beban, jika dibiarkan berjalan sendiri. Negara dibutuhkan untuk menggairahkan dinamika ekonomi yang praktis mengalami kemandekan. Situasi ini mirip peristiwa tahun 1930 ketika terjadi krisis ekonomi besar (malaise).
Adalah ekonom Inggris, John Maynard Keynes yang mengusulkan intervensi negara terhadap pasar. Teori intervensionisme ini diterapkan AS pada zaman Presiden Franklin D Roosevelt dengan politik New Deal-nya tahun 1933. Roosevelt adalah salah seorang yang tidak sepenuhnya percaya kapitalisme liberal. Campur tangan pemerintah tetap dibutuhkan, apalagi terhadap sektor yang tidak kompetitif di pasar.
Dengan Agricultural Adjustment Act, Roosevelt melakukan semacam landreform dengan cara memberi kesempatan petani yang tingkat produksinya rendah. Demikian juga melalui pemungutan suara di National Industrial Recovery Act (NIRA), kebijakan ekonomi AS diarahkan untuk membangun tatanan sosial yang memperhatikan prinsip keadilan dan persamaan.
Berpijak dari keputusan ini, pemerintah memberi 500 juta dollar AS untuk mendukung kerja publik administrasi pemerintahan. Selain itu, anggaran sebesar 3.500 juta dollar AS diberikan guna membangun prasarana publik. Salah satu proyek yang terwujud adalah membangun jalan 1.500 km di Tennessee Valley. Inilah kebijakan publik AS mengatasi persoalan kemandekan ekonomi tahun 1930-an.
Teori campur tangan pemerintah yang melucuti kesahihan teori ekonomi klasik-liberal ini tidak bertahan lama. Saat krisis ekonomi tahun 1970-an (krisis minyak), para pemikir ekonomi kembali berpaling pada teori klasik, dengan memunculkan kembali alairan neo-klasik/ neo-liberal. Prinsip dasarnya adalah mengurangi peran negara dalam mekanisme pasar, sampai titik paling rendah. Semboyan yang paling terkenal adalah "negara yang paling baik adalah negara yang tidak melakukan apa-apa". Dari prinsip dasar ini, muncul sindiran, "mekanisme pasar yang paling efisien adalah di malam hari, ketika semua orang tidur, sehingga tidak ada intervensi pasar".
Demam deregulasi sedang dimulai dan pasar mengalami transformasi luar biasa. Muncul rezim pasar bebas dan perekonomian global. Tetapi fakta yang belakangan muncul, pasar tidak bisa dibiarkan berjalan begitu saja. Hilangnya batas negara dan hambatan modal telah memunculkan praktik peredaran uang gelap dan proses pencucian uang. Prinsip kerahasian bank telah melindungi aliran modal para teroris. Kini para pemimpin negara maju tengah memikirkan cara untuk mengatasi persoalan itu.
Beberapa waktu lalu Perdana Menteri (PM) Perancis Lionel Jospin mengusulkan, penerapan kembali Tax Tobin. Tujuannya, untuk menanggulangi ekses aliran modal yang tidak terkendali. Caranya, mengenakan pajak atas transaksi modal jangka pendek. Usul ini masih menjadi diskusi di kalangan terbatas, tetapi paling kurang ada sebuah lembaga yang secara serius menggarapnya.
Dengan kejadian yang menimpa perekonomian dunia belakangan ini, beberapa kalangan dan kritikus mempertanyakan kembali legitimasi teori neo-liberal, sekaligus kesahihan teori dalam dua hal.
Pertama, mengenai asumsi cateris-paribus-nya. Bahwa sebuah kejadian terjadi dengan asumsi kejadian yang lain tetap. Orang memahami serangan teroris hanya sebagai sebuah aksi terhadap AS. Sementara peristiwa lain, misalnya bagaimana AS bersikap terhadap negara lain tidak pernah dipersoalkan. Padahal, mungkin ada korelasi antara sikap AS terhadap negara lain, dengan aksi teroris itu.
Kedua, teori neo-klasik memberi tempat terlalu besar bagi para aktor individu bahwa seluruh dinamika dan aksi dalam sistem sosial bermuara dari inisiatif individu. Individu adalah person yang bebas dan selalu bertindak rasional dalam melakukan aksi untuk mencapai hasil paling maksimal. Asumsi ini lalu menurunkan hukum pasar, di mana individu harus diberi kebebasan sebesar-besarnya. Mengenai korupsi misalnya, para penganut neo-liberal mengganggap kalau sistem pasar akan mengikis dengan sendirinya praktik korupsi. Padahal, dalam sistem paling liberal sekalipun, korupsi tetap ada.
Dunia akhir-akhir ini murung. Konsumi mandek, pertumbuhan melambat, terorisme merajalela. Sementara itu, AS tetap merasa nomor satu, penganut sistem pasar tetap merasa benar, dan berbagai persoalan tidak ditangani mendasar. Apakah neo-liberalisme akan mampu menyelesaikan persoalan yang diciptakan sendiri? Kita hanya bisa menunggu dan berharap.
A Prasetyantoko, Mahasiswa pascasarjana Universiti des Sciences et Technologies de Lille (USTL) Perancis,
Staf pengajar Unika Atma Jaya Jakarta.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home